Ketika Proses yang Buruk Dianggap Jalan Kebaikan
Oleh: Rusydi Umar, Dosen FTI UAD, Anggota MPI PPM (2015-2022)
Beberapa waktu lalu publik dikejutkan oleh pernyataan seorang tokoh besar: “Sogokan untuk mendapatkan hak—sebagian ulama membolehkannya.” Kalimat itu viral, menjadi bahan perdebatan di ruang-ruang digital. Di satu sisi, sebagian orang merasa lega—seolah ada legitimasi agama untuk praktik yang selama ini tersembunyi. Di sisi lain, banyak yang justru makin khawatir: jika cara buruk dianggap sah demi tujuan baik, apa yang tersisa dari integritas sebuah bangsa?
Pernyataan seperti ini mudah diterjemahkan secara liar. Dalam masa pemilu, misalnya, ada tim sukses yang membenarkan pembelian suara demi memenangkan calon yang dianggap “lebih saleh” atau “kurang korup” dibanding lawannya. “Toh ini untuk kebaikan jangka panjang,” begitu alasan yang sering terdengar. Di arena lain, dalam proses perekrutan institusi, dalam percakapan publik, sering terdengar dugaan bahwa untuk menjadi polisi, pegawai negeri, atau pejabat tertentu, seseorang harus menyuap. Dan bila muncul seorang kandidat yang dinilai jujur, punya visi reformasi, tapi tak punya akses uang, ada saja yang mengatakan: “Kasihan kalau dia kalah. Sudahlah, bantu saja. Nanti setelah masuk, dia akan memperbaiki sistem dari dalam.”
Niatnya terdengar mulia. Tetapi logikanya rapuh. Ini seperti berharap bunga mekar dari tanah berlumpur yang kita kotori sendiri. Sulit membayangkan seorang pemimpin lahir dari kubangan, lalu secara ajaib menjadi mata air kebersihan. Proses membentuk watak. Cara menanam memengaruhi buah yang dipanen. Dan dalam etika Islam, proses bukan sekadar pelengkap dari hasil, ia adalah bagian dari nilai itu sendiri.
Islam tidak berdiri di atas logika “hasil membenarkan cara”. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu Mahabaik dan tidak menerima kecuali yang baik.” Ini prinsip yang sangat jernih: kebaikan tidak lahir dari proses yang kotor. Bahkan ketika niat seseorang bagus, langkah-langkah buruk tetap menodai tujuan. Al-Qur’an mengingatkan: “Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (QS. Al-Ma’idah: 2). Larangan ini bukan hanya tentang perbuatan jahat yang tujuannya jahat, tetapi juga perbuatan keliru yang dibungkus kebaikan.
Dalam hadits lain, Rasulullah melaknat pemberi suap, penerima suap, dan perantara keduanya. Laknat berarti keharaman tingkat berat. Ulama menjelaskan bahwa risywah merusak keadilan, menghilangkan hak orang yang lebih berkompeten, dan menciptakan rantai ketidakjujuran yang sulit diputus. Bahkan ketika seseorang menyuap demi mendapatkan “hak”-nya, mayoritas ulama tetap memberi batas ketat: dibolehkan hanya ketika benar-benar darurat, yakni ancaman terhadap jiwa, agama, atau kehormatan, bukan demi pekerjaan, jabatan, atau kemenangan politik.
Pertanyaannya: apakah “tidak lolos seleksi polisi”, “tidak jadi bupati”, atau “kalah dukungan” adalah darurat? Tidak. Itu bukan bahaya syar’i. Itu sekadar keinginan kuat yang dibungkus kepentingan moral. Dalam logika maqashid al-syari‘ah, darurat tidak ditetapkan oleh perasaan, tetapi oleh realitas bahaya yang tak bisa dihindari kecuali melanggar.
Lebih jauh lagi, pengalaman sejarah menunjukkan bahwa orang yang masuk ke ruang kekuasaan melalui jalan kotor, akan kesulitan besar memutus mata rantai kekotoran. Pertama, ia membawa utang moral kepada pihak yang dibayar. Kedua, ia kehilangan legitimasi untuk melawan praktik yang sama. Ketiga, sistem yang kotor lebih kuat daripada individu yang masuk dengan kompromi. Keberanian moral justru lahir ketika seseorang masuk ke posisi dengan cara yang bersih.
Persoalan ini pada dasarnya adalah soal nilai proses. Islam mengajarkan bahwa amal itu dinilai bukan hanya oleh apa yang dicapai, tetapi bagaimana ia ditempuh. Kita tidak boleh mencuri untuk membantu orang miskin. Tidak boleh menipu untuk mendirikan masjid. Tidak boleh menyuap demi “memperbaiki institusi”. Karena di titik itu, kita telah merusak akar dengan alasan ingin memperbaiki cabangnya.
Masyarakat Indonesia sering kali terjebak pada logika praktis: “Yang penting hasilnya baik.” Tetapi agama mengajarkan jalan yang lebih panjang, lebih berat, dan lebih mulia, bahwa sesuatu menjadi baik bukan saja karena tujuannya, tetapi karena prosesnya diridhai. Pemimpin yang lahir dari proses bersih lebih kuat dan lebih tegak berdiri dibanding pemimpin yang lahir dari transaksi. Institusi yang direformasi dari luar secara moral jauh lebih kokoh daripada reformasi yang dimulai dari pelanggaran pertama.
Akhirnya, kita harus kembali pada prinsip paling terang dalam etika Islam: kebaikan tidak pernah lahir dari dosa. Tidak ada pembangunan karakter yang berangkat dari kebohongan. Tidak ada keadilan lahir dari suap. Tidak ada keberkahan tumbuh dari proses yang merusak.
Karena itu, ketika bangsa ini ingin melahirkan pemimpin dan lembaga yang bersih, ia harus berani memilih jalan yang kadang lebih panjang, tetapi lebih terang. Jalan di mana proses adalah ibadah, dan hasil adalah buah dari kejujuran.


