Merawat Sampai Akhir Hayat
Oleh: Babay Parid Wazdi, Kader Muhammadiyah & Aktifis IPM 1988-1991
Ada kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan jabatan, pangkat, atau harta. Kebahagiaan sederhana saat bisa memeluk ibu, menatap wajahnya yang mulai renta, dan membisikkan doa di telinganya.
Tahun 2017 hingga 2018, ketika aku masih bekerja di Bank BJB, setiap Jumat sore atau Sabtu pagi aku selalu menyempatkan diri pulang dari Bandung menuju Jakarta. Dalam seminggu sekali, apa pun kesibukannya, aku harus menengok ibu. Tubuhnya sudah mulai bungkuk, tapi wajahnya tetap teduh, ceria, dan penuh syukur atas segala pencapaian anak-anaknya.
Suatu sore di penghujung tahun 2018, aku bercerita kepadanya bahwa aku melamar posisi Direksi di Bank DKI. Ibu tersenyum lembut dan menengadahkan tangan. Ia berdoa agar aku sukses, diberikan keselamatan dalam bekerja, menjadi pemimpin yang dicintai anak buah dan berguna bagi masyarakat. “Yang penting kau tetap jadi orang baik,” katanya.
Doa itu melekat di dadaku seperti pakaian yang tak pernah kulepaskan.
Aku membawanya hingga ke Padang Arafah, dan mengulanginya di depan Ka’bah, semoga Allah menjadikan pekerjaanku sebagai jalan keberkahan, bukan sekadar kemuliaan dunia.
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاس
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Itulah kompas hidupku: menjadi manusia yang berguna untuk orang lain.
Dan kini, dalam keadaan terkurung dan terpuruk, aku ingin menulis agar kisah-kisah pengabdian ini tidak hilang. Mungkin tulisan ini kecil, tapi semoga kelak menjadi bagian dari sejarah bangsa ini, tentang perjuangan, ketulusan, dan cinta kepada orang tua.
Menemani Ibu yang Sakit
Tahun 2020 menjadi tahun penuh ujian. Ibu mulai sakit ginjal. Tubuhnya melemah, harus menjalani cuci darah, dipasangi selang di tangan dan leher. Tapi semangatnya tidak pernah padam. Aku tetap datang tiap minggu; menemaninya, memijat kakinya, menuntunnya berbincang agar tidak larut dalam kesedihan.
Kadang aku menginap di rumah. Ibu tidur di ranjang, aku di lantai beralaskan tikar atau kasur tipis. Kata adikku, ibu senang kalau aku tidur di sampingnya. Setiap malam sebelum terlelap, ia bertanya, “Kapan kau datang lagi, Nak?”
Aku pun sering mendampinginya ke rumah sakit, menemani saat cuci darah, bahkan larut malam sekalipun. Kami bercanda kecil agar ia tetap tenang. Aku tahu, waktu kami tak akan lama. Tapi setiap detik bersamanya adalah doa yang hidup.
Ketika pandemi Covid-19 datang, ketegangan makin terasa. Ibu makin lemah, sementara kami dihantui ketakutan akan wabah. Untunglah dua adikku merawatnya dengan penuh kesetiaan, ditemani menantu kesayangan ibu, Asep dan Budi yang selalu sigap jika ibu memanggil namanya.
Hari-hari Terakhir
Bulan April hingga Juni 2020 menjadi masa paling berat. Ibu sering bolak-balik rumah sakit. Tubuhnya makin lemah, kesadarannya kian menurun. Rumah sakit di Karawang akhirnya menyerah dan menyarankan agar dibawa pulang. Tapi aku merasa bersalah bila menyerah begitu saja. Kami lalu membawanya ke RS Awal Bros di Bekasi.
Di ruang ICU, ibu terbaring dengan berbagai alat bantu napas. Sekitar sepuluh hari kami menunggu dalam cemas. Di hari terakhirnya, dokter memberi tindakan untuk jantung. Ajaib, ibu tersadar penuh. Aku segera mendekat, menggenggam tangannya, memintanya hampura, maaf atas segala salahku. Ibu mengangguk pelan. Itulah pertemuan terakhir kami dalam kesadaran penuh.
Beberapa jam kemudian, kabar itu datang. Sabtu pagi, 13 Juni 2020, ibu berpulang ke hadirat Allah. Air mata kami menetes, tapi di balik duka, ada rasa syukur yang mendalam: aku sempat merawatnya, menemaninya, dan menutup matanya dengan doa.
Menjaga Doa agar Tetap Hidup
Sejak itu aku berjanji menjaga tiga amal yang diajarkan Rasulullah ﷺ: “Apabila manusia wafat, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan orang tuanya.”
Aku ingin menjadi anak yang doanya tetap sampai pada ibuku. Karena itu, dalam setiap langkahku, aku berusaha menjaga integritas, tidak korup, tidak bermain dalam abu-abu, tidak menjual nurani. Sebab jika aku berbuat curang, maka doa untuk ibuku akan tertolak di langit.
Dan kini, ketika aku menghadapi ujian hidup yang berat, aku bertawasul melalui amal pengabdianku kepada ibu: merawatnya dengan kasih, menemani di masa sakitnya, dan mengantarkannya hingga akhir hayat.
Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim. Dengan mengamalkan ajaran Nabi-Mu tentang tawasul, aku memohon melalui amal bakti kepada orang tuaku: jadikanlah pengabdianku kepadanya sebagai perantara rahmat-Mu.
Bebaskan aku dari fitnah, tuntutan, dan dakwaan yang menzalimi. Lembutkan hati para penegak hukum agar melihat kebenaran-Mu.
Ya Allah, jadikanlah kami; aku, istriku, anak-anakku, orang-orang yang selalu lulus dalam setiap ujian. Anugerahkan keikhlasan, kesabaran, dan petunjuk agar kami keluar dari segala cobaan dengan hati yang bersih. Kabulkan segala doa kami, ya Rabb.
Karena Engkau Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan doa.
Salam, Sang Burung Pipit
Salemba, 4 Oktober 2025
Penulis adalah Direksi Bank DKI (2018 sd 2022) & Dirut Bank Sumut (2023 sd 2025). Esay ini di ketik ulang dari tulisan tangan ayahku yang berada di rutan Salemba & Esay ini bagian dari Manifesto Tawasul Sang Burung Pipit (The Bright Way to Freedom and Faith), salam Ahmad Raihan Hakim (Alumni SMA Muh 3 Jkt 2018)

