Kisah Yusuf as: Kritik Kepakaran dan Paceklik Masa Kini
Oleh: Al-Faiz MR Tarman, M.Ag/Dosen Universitas Muhammadiyah Klaten
Pemaparan kisah dalam Al-Quran bukanlah suatu hal yang nostalgik. Ia adalah pelajaran penting yang mesti direnungkan oleh manusia di setiap zamannya. Seyyed Hossein Nasr dalam Ideals and Realities of Islam menerangkan bahwa al-Quranpada dasarnya mengandung tiga jenis pesan untuk manusia.
Pertama, Al-Quran berisi pesan-pesan doktrinal yang menyangkut kehidupan manusia dalam setiap detailnya. Kedua, Al-Quran berisi kisah-kisah masa lalu. Di dalamnya Al-Quran menceritakan kisah suatu bangsa, suku, raja, nabi dan orang-orang suci selama berabad-abad, tentang ujian yang dihadapi.
Tidak saja untuk masa lalu, pengemasan pesan melalui istilah-istilah sejarah ditujukan kepada jiwa manusia. Tidak hanya tentang orang-orang dan waktu tertentu, tetapi juga menyangkut jiwa di sini dan masa kini. Ketiga, Al-Quran mengandung keajaiban Ilahi (Nasr menyebutnya sebagai suatu kualitas yang sulit untuk diungkapkan dalam bahasamodern).
Senada dengan pandangan Nasr mengenai relevansi kisah terhadap masa kini dan mendatang, Mutawalli Sya’rawi berpendapat bahwa meskipun kisah-kisah di dalam Al-Quran mengandung kebenaran sejarah, pada satu sisi memverifikasi data-data sejarah menjadi hal yang penting, namun tidak kalah penting menyadari bahwa kisah-kisah umat masa lalu dalam Al-Quran bisa jadi berlaku pada setiap orang melampaui ruang dan waktu.
Di samping itu, menurut M. Quraish Shihab dalam salah satu kaidah penafsiran Al-Quran dikatakan bahwa, “apabila al-Quran tidak menyebut secara eksplisit nama tokoh dalam konteks kisahnya, maka peristiwa serupa dapat terulang”. Sebaliknya, “apabila al-Quran
menyebut nama tokohnya, maka peristiwa itu tidak akan terulang”.
Di antara banyaknya kisah-kisah Al-Quran, fragmen kisah Nabi Yusuf as. dan Raja Mesir dalam melewati paceklik panjang negeri Mesir menjadi fokus pembahasan tulisan ini. Fragmen tersebut tercermin dalam Surah Yusuf ayat 47-49 berikut.
(Yusuf) berkata, “Bercocoktanamlah kamu tujuh tahun berturut-turut! Kemudian apa yang kamu tuai, biarkanlah di tangkainya, kecuali sedikit untuk kamu makan; Kemudian, sesudah itu akan datang tujuh (tahun) yang sangat sulit (paceklik) yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya, kecuali sedikit dari apa (bibit gandum) yang kamu simpan; Setelah itu akan datang tahun, ketika manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras (anggur).”
Kemampuan yang dimiliki oleh Nabi Yusuf as., tak lain merupakan anugerah yang Allah berikan kepadanya menjadikan Mesir mampu melewati paceklik yang hebat. Bermula dari mimpi sang raja, sebagaimana pada surah yang sama ayat 43.
Raja berkata (kepada para pemuka kaumnya), “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi yang gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi yang kurus serta tujuh tangkai (gandum) yang hijau (dan tujuh tangkai) lainnya yang kering. Wahai para pemuka kaum, jelaskanlah kepadaku tentang mimpiku itu jika kamu dapat menakwilkannya!”
Variabel demi variabel mimpi raja yang ditafsirkan sebagai paceklik yang akan dihadapi oleh Mesir kala itu menunjukkan posisi Nabi Yusuf tidak saja sebagai nabi, di samping sebagai penasihat raja, juga kepiawaiannya dalam melakukan perencanaan ekonomi
dalam melakukan penyusunan solusi konkret. Ia sendiri yang saat itu secara langsung mengelola hasil panen dan distribusi pangan.
Bahkan menunjukkan kepakaran Nabi Yusuf dalam melakukan efisiensi dengan menerapkan saving economy selama masa subur untuk menghadapi masa paceklik. Meskipun raja Mesir saat itu menjadi pemegang otoritas tertinggi, namun peran penting Nabi Yusuf sebagai eksekutor kebijakan tidak dapat dipungkiri.
Hamka dalam Tafsir Al-Azhar memahami kata da-aban pada ayat ke 47 surah Yusuf, merupakan suatu upaya agar masyarakat mempersiapkan diri dengan bekerja keras, bekerja sama untuk kemarau panjang yang menjadi paceklik sehingga ketahanan pangan
dapat terjaga.
Kritik terhadap Kepakaran
Jika teori tentang kisah Al-Quran di atas diterapkan, setidaknya kisah Nabi Yusuf menjadi kritik yang tajam terhadap kondisi yang relatif kita hadapi akhir-akhir ini. Bahwa ketidakmampuan seseorang yang berkompeten di bidangnya tentu saja berpotensi mengganggu stabilitas nasional. Melalui kisah di atas, Nabi Yusuf as. diberi kewenangan lantaran kompetensinya dalam visi ekonomi dan manajemen krisis, bukan sekadar kedekatan politik.
Sebaliknya, dengan memberikan wewenang kepada pihak yang bukan ahlinya tentu saja dapat memperburuk tata kelola pemerintahan. Kisah Nabi Yusuf di atas memberi refleksi yang sangat penting bahwa setiap orang harus bekerja sesuai kapasitas dan bidangnya. Sehingga teknokrasi sesuai bidangnya, bukan bidang yang terisi oleh pihak-pihak yang secara otomatis naik karena kedekatan politik.
Terang sekali ayat dalam Al-Quran yang mendukung terhadap kepakaran, seperti dalam Surah al-Anbiya ayat 7, “Maka, bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui”.
Paceklik Pada Masa Kini
Jika dalam kisah Nabi Yusuf di atas, paceklik bermakna krisis pangan lantaran kekeringan, dalam konteks kekinian paceklik dapat dimaknai kepada beberapa hal, pertama, paceklik bisa bermakna krisis ekonomi, termasuk tingginya angka pengangguran. Dalam penelusuran penulis, berdasarkan data BPS 2024 menunjukkan bahwa jumlah pengangguran pada Agustus 2024 mencapai 7,47 juta orang, belum lagi perihal pemutusan hubungan kerja yang meningkat dibandingkan tahun sebelumnya.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf bukankah sebuah kebijakan reaktif, melainkan sekaligus menunjukkan kepemimpinan visioner dalam menanggulangi krisis.
Kedua, paceklik dapat dimaknai sebagai krisis ketahanan pangan. Tidak sedikit kerusakan ekologis, perubahan iklim, hal tersebut menyebabkan tidak sedikit negara yang menghadapi ancaman krisis pangan. Sementara apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf
melalui kisah di atas adalah pengupayaan terhadap kebijakan pangan berkelanjutan dan pengelolaan pangan selama masa subur guna menghadapi paceklik.
Ketiga, paceklik kompetensi pemimpin. Saat ini tidak sedikit kebijakan yang dibuat bukan oleh orang yang ahli, tetapi berdasarkan pihak yang berkepentingan politis. Kisah Yusuf menjadi teladan yang sangat luhur, ia diminta raja untuk mengelola ekonomi lantaran keahlian dan integritas, bukan karena pemaksaan penempatan pada sektor strategis berbasis kedekatan dengan raja.
Adapun keempat, paceklik moral dan etika. Poin ini menjadi poin krusial. Paceklik yang melibatkan pemimpin (pejabat) yang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi. Maraknya praktik KKN serta politik transaksional menyebabkan sikap distrust
(ketidakpercayaan) masyarakat. Saat yang sama, pelajaran penting melalui kisah Nabi Yusuf yang bersikap amanah atas titah raja. Dengan demikian, maka kisah Al-Quran, khususnya kisah Nabi Yusuf dalam mengelola paceklik bukanlah kisah yang melangit, atau anggapan kisah masa lalu. Hal tersebut melainkan kisah berharga sebagai pelajaran (juga kritik) terhadap kehidupan pada masa kini, bahkan masa yang akan datang.
Wallahu A’lam Bishawab.