Korupsi dan Bencana Ekologi

Publish

9 December 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
111
pixabay

pixabay

Korupsi dan Bencana Ekologi

Oleh: Habib Iman Nurdin Sholeh, Dosen UIN Salatiga, Majelis Hukum dan HAM Muhammadiyah Jawa Tengah

Pada sekitar tahun 1950-an, seorang sastrawan yang memiliki panggilan akrab Pram, atau nama aslinya Pramoedya Ananta Toer, menulis sebuah novel yang menceritakan tentang korupsi. Menurut Sumardjo (1999: 77), novel ini sebagai ungkapan Pram untuk menggambarkan masyarakat Indonesia pada masa pasca kemerdekaan.

Novel ini menceritakan seorang pegawai negeri yang korup - sebut saja namanya Bakir - merasa jenuh dengan kehidupan yang miskin walau telah bekerja selama puluhan tahun dalam sunyi, disiplin dan penuh kebanggaan. Ia hidup dalam ilusi kehormatan birokrasi - keyakinan bahwa seragam, meja kantor, dan stempel negara adalah warisan moral dari ayah dan kakeknya. Baginya, menjadi pegawai negeri bukan hanya pekerjaan, namun identitas sosial dan simbol harga diri.

Namun, kehormatan itu tidak pernah cukup untuk membayar kebutuhan hidup. Rumahnya menyempit karena sebagian lahan disewakan, dan istrinya, Mariam, terpaksa menjual kain-kain demi mencukupi hidup. Pada titik ini, yang runtuh bukan hanya ekonomi, tetapi imajinasi keadilan.

Korupsi dalam hidup Bakir tidak lahir dari keserakahan semata, melainkan dari rasa “pantas”. Ia merasa sudah terlalu lama mengabdi hidup dalam sempit dan hina. Maka ia memulai dari batas paling kecil: menjual kertas dan alat tulis kantor. Nilainya tak seberapa, tetapi maknanya luas - ia telah menyebrangi garis moral yang selama ini dijaganya sendiri. Dari situ, ia belajar bahwa negara bisa diambil sedikit demi sedikit tanpa risiko langsung.

Langkah berikutnya adalah komisi pengadaan. Bakir bertransformasi dari pegawai menjadi simpul kekuasaan. Tanda tangannya memiliki nominal. Jabatannya digunakan sebagai alat untuk mencari keuntungan. Korupsi tak lagi terasa seperti pelanggaran, melainkan sebagai mekanisme “wajar” yang beredar diam-diam di dalam sistem.

Konfliknya dengan Mariam kian membuat suasana rumah mencekam. Mariam melihat uang itu sebagai dosa, Bakir melihatnya sebagai hasil jerih payah. Ia merasa tidak dipahami, lalu memutuskan pergi. Lalu, bersama Sutijah - istri kedua - mulai memasuki dunia kemewahan semu: rumah besar, gaya hidup baru, dan pergaulan sesama koruptor.

Ia mengira telah tenang. Namun, seperti semua kekuasaan yang lahir dari kebusukan, hidup Bakir rapuh. Ia ditangkap bukan karena hukum berjalan dengan baik, melainkan kecurigaan yang tepat sasaran. Penjara bukan hanya menelanjanginya, tetapi juga membuka mata: istrinya, anak-anaknya, dan asistennya yang datang bukan untuk menyelamatkannya, melainkan untuk menegaskan bahwa korupsi harus diperangi.

Bakir adalah potret kekuasaan kecil yang lupa batas, lalu negara menormalisasikan itu sebagai bagaian dari kewajaran lalu lintas birokrasi. Hari ini pola yang sama bekerja dalam skala yang lebih besar dan melibatkan aktor-aktor intelektual yang kompleks. 

Kertas kantor yang dijual oleh Bakir di Pasar, barangkali saat ini menjelma menjadi ijin tambang. Komisi kecil dari pengadaan barang itu, barangkali saat ini bisa menjadi bayaran besar dari konsesi hutan seluas jutaan hektar. Layaknya Bakir, para pelakunya memiliki justifikasi moral: demi pembangunan, demi investasi, demi pertumbuhan ekonomi, demi hilirisasi.

Tatkala Bakir menjual kertas kantor, kerusakannya tidak terlalu sistemik. Tapi saat elit negara menjual tanda tangan persetujuan lingkungan, taruhannya adalah kehidupan: aliran sungai berubah, tanah kehilangan haknya menyerap air, hutan mengalami disfungsi, dan masyarakat kehilangan perlindungan alaminya dari bencana.

Bencana ekologis tidak tiba-tiba turun dari langit. Seringkali ia timbul dari meja-meja birokrasi yang diimajinasikan Pramoedya lebih dari setengah abad lalu. Dari rapat pengadaan, stempel izin, hingga rekayasa dokumen. Banjir bandang adalah kejutan logis dari korupsi struktural. Tanah longsor adalah jejak tanda tangan yang diperdagangkan.

Bencana ekologi berupa banjir dan longsor yang menerjang daerah wilayah Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat pada 25-27 November lalu merupakan bukti nyata bahwa terjadi kesengajaan dalam eksploitasi kekayaan alam hingga terakumulasi menjadi duka bencana.

Menurut data WALHI, rangkaian bencana tersebut merupaan konsekuensi langsung dari meningkatnya kerentanan ekologis yang dipicu oleh perubahan drastis pada batang ekosistem kunci, khususnya kawasan hutan, yang kemudian diperburuk oleh tekanan krisis iklim.

Lebih jauh WALHI mengungkapkan, bahwa dalam kurun waktu 2016-2025, sekitar 1,4 juta hektar hutan di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat mengalami deforestasi. Kerusahakan ini berkaitan dengan aktivitas 631 perusahaan pemegang izin - meliputi pertambangan, HGU perkebunan sawit, PBPH, geothermal, serta izin PLTA dan PLTM - yang beroperasi di wilayah tersebut.

Kerusakan ekologi terjadi karena ada persoalan pada aspek hukum yang lebih melindungi kepentingan ekonomi para korporasi dari pada kepentingan keberlanjutan konservasi yang melindungi ekosistem bumi.

Memori kolektif publik masih merekam jelas bagaimana operasi tangkap tangan (OTT) Jaksa Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung terhadap seorang pada Oktober 2023 lalu, mengungkap kasus mega korupsi dalam tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan PT Timah Tbk untuk 2015-2022, sekaligus menunjukkan betapa rentannya sektor ekstraktif terhadap praktik korupsi yang sistemik.

Akibatnya, kerugian negara dari tragedi penambangan ilegal tersebut mencapai angka 271,069 triliun. Nilai ini bukanlah kerugian finansial langsung, melainkan akumulasi dampak ekologis, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan. 

Jauh sebelum itu, kajian Transparansi Internasional Indonesia (TII) pada 2017 menunjukkan bahwa risiko korupsi pemberian izin tambang terutama bersumber dari politik desentralisasi dan pendanaan kepala daerah yang menjadikan IUP sebagai komoditas tukar politik. Temuan KPK kemudian mengonfirmasi bahwa kombinasi patronase politik, lemahnya regulasi, dan pengawasan rapuh membuat praktik koruptif mengakar di seluruh rantai bisnis pertambangan. 

Reformasi melalui Undang-Undang Ciptakerja (Cilaka) dan revisi UU Minerba pun terbukti tidak mengurangi risiko tersebut; perubahan aturan justru mempersempit akuntabilitas publik dan memperluas celah korupsi dalam tata kelola pertambangan.

Korupsi sumber daya alam berlangsung melalui pola umum seperti suap, gratifikasi, kronisme, dan konflik kepentingan, namun diarahkan untuk memaksimalkan keuntungan dari alam dengan mengorbankan kepentingan publik. 

Praktik ini terjadi dari level daerah hingga nasional - dari pencurian kayu hingga perubahan undang-undang yang memfasilitasi ekspansi konsesi. Di tingkat elit, suap dan gratifikasi memengaruhi penerbitan izin dan pembentukan regulasi, sehingga penguasaan sumber daya semakin terkonsentrasi pada oligarki. Studi WALHI - Auriga (2022) menunjukkan korporasi menguasai 94,8 persen lahan tambang, sawit, dan hutan - sementara rakyat hanya kebagian sebagian kecilnya saja.

Korupsi semacam ini mendorong eksploitasi berlebihan yang mempercepat kerusakan lingkungan dan memicu bencana ekologis. Selain merusak alam, dominasi korporasi yang didukung praktik koruptif juga melemahkan pendapatan negara dan memperburuk kesejahteraan publik. Temuan Indeks Kelestarian Lingkungan (WEF, 2001) menegaskan korelasi kuat antara tingginya korupsi dan merosotnya kualitas lingkungan, sehingga pengendalian korupsi menjadi prasyarat utama bagi keberlanjutan ekologis.

 

 

 


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Dr M Samson Fajar, MSosI Berbicara tentang kepahlawanan dalam SeratKridhawasita yang beriskan....

Suara Muhammadiyah

9 November 2023

Wawasan

Merawat Kemabruran Haji Oleh: Mohammad Fakhrudin Bagi setiap muslim, cita-cita dapat menunaikan li....

Suara Muhammadiyah

12 July 2024

Wawasan

Bahaya ‘Crab Mentality’ dalam Tubuh IMM Oleh: Naufal Abdul Afif S.Sos Crab mentality ....

Suara Muhammadiyah

25 September 2023

Wawasan

Etika Sosial dan Politik dalam Masyarakat Modern Oleh: Jabrohim Fenomena sosial-politik di era ko....

Suara Muhammadiyah

6 April 2025

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (24)  Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tingga....

Suara Muhammadiyah

16 February 2024