Oleh: Suko Wahyudi
Kehidupan dunia adalah sementara, yang kekal hanyalah kehidupan akhirat. Namun, kehidupan yang sementara ini adalah penentu kebahagiaan atau kesengsaraan seorang manusia di kehidupan akhirat kelak. Karenanya Al-Qur'an melalui ayat-ayatnya berulang kali mengingatkan pentingnya mempersiapkan diri untuk menyambut kehidupan akhirat.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi. (Al-Qashshash [28]: 77)
Kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah senda gurau dan permainan. Sesungguhnya negeri akhirat itulah kehidupan yang sebenarnya seandainya mereka mengetahui. (Al-Ankabut [29]: 64)
Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwa Ibnu Mas'ud berkata, “Aku memasuki rumah Rasulullah dan beliau usai tidur di atas tikar hingga kelihatan bekas pada punggungnya. Aku berkata kepadanya, 'Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kami taruh di atas tikar itu alas lagi agar engkau terpelihara dari bekas itu.' Rasulullah menjawab, 'Apa peduliku dengan dunia, ia bagiku bagaikan pengendara yang sedang berteduh di bawah pohon kemudian segera pergi meninggalkannya.'”
Demikianlah Nabi SAW mengumpamakan dunia dan manusia. Ia adalah pendendara yang berkelana, sedang pohon adalah dunia ini. Di antara mereka ada yang berteduh satu jam kemudian meninggalkannya, pulang ke akhirat. Yang lain ada yang lebih lama, namun hakikatnya adalah bahwa semuanya akan meninggalkan pohon itu untuk meneruskan petualangannya menuju akhirat.
Prinsip bahwa manusia pasti meninggalkan dunia ini hendaknya selalu terpatri dan jiwa setiap muslim. Para penyair seringkali menyifati manusia di muka bumi ini sebagai musafir, orang berteduh, atau penyeberang jalan. Abu Ittahiyah, salah seorang penyair terkemuka, menngambarkan manusia di muka bumi ini sebagai petualang.
Manusia di muka bumi ini dalam pengembaraan
Di dekat mereka, sebentar lagi petualangan kan berakhir
Di antara mereka ada yang puas, rela dengan kehidupannya
Yang lain hidup serba gampang, sementara hatinya papa
Jiwa takkan kenyang jika tak tersentuh qona'ah
Walau beribu purnama dimilikinya
Terkadang ia terasa kenyang namun dikembalikan lagi
Pada kelaparan oleh cinta dunia dan kenikmatan
Seseorang hidup tak memiliki kembaran, yang takkan mati,
ia meninggalkan bekas di dunia
Orang yang berbuat kebaikan,
jika jasadnya telah mati,
kenangannya tak akan sirna
di antara manusia
Ia telah meninggalkan kesan baik di dunia
Baginya, enyahlah dunia!
Bukanlah ia negeri sejati, hanyalah istirahat di negeri keabadian
Waktu enggan beringsut
kecuali dengan cepat menggerogoti jasad
pada malam dan siang
Dunia hanya tipuan bagai kilatan mutiara di tanah gersang
Wahai hamba Allah, segalanya akan berakhir
Kita telah tertuang, pada taqdir yang bersanding menunggu.
Akhirat adalah kata dari bahasa arab yang secara literal, ia adalah kata bentuk feminin dari kata “akhir” yang berarti ‘terakhir, yang terakhir. Akhirat adalah istilah dalam agama Islam yang artinya ruang abadi yang menjadi rumah kita yang terakhir yang akan kita tuju setelah dunia ini dan disebut “hari kemudian”, “kehidupan setelah kematian di dunia”
Meskipun hidup akan berakhir pada kematian, kita harus mengisinya dengan menyiapkan bekal. Karena, Allah SwT sebagai Maha Pencipta telah mengabarkan melaui firman-Nya bahwa setelah kematian, manusia akan dihidupkan kembali dalam frekuensi alam yang berbeda. Alam yang baru ini tidak serta merta terlepas dengan alam yang kita tempat saat ini. Keduanya saling bertautan. Artinya, apa yang kita lakukan hari ini di dunia akan menentukan bagaimana kehidupan kita nanti di akhirat.
Dan barang siapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang yang usahanya dibalas dengan baik. (Al-Isra [17]: 19)
Kematian Awal Kehidupan Akhirat
Kehidupan dunia hanyalah sementara dan akhirat selamanya, karenanya meyakini adanya kehidupan akhirat adalah sebuah keniscayaan. Bahkan, dalam ajaran Islam meyakini adanya kehidupan akhirat merupakan bagian dari aqidah yang wajib untuk diimani.
Dan sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, Kami sediakan bagi mereka azab yang pedih. (Al-Isra [17]: 10)
Kehidupan akhirat diawali dengan kematian. Kematian itu pasti terjadi dan kematian merupakan suatu ketentuan Allah yang wajib diimani. Kematian adalah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan oleh siapapun. Sama seperti terjadinya siang dan malam yang tidak seorang pun mampu mengendalikannya. Meskipun tubuh manusia telah diamanahkan untuk manusia itu sendiri, akan tetapi seluruh tubuhnya, terutama jantung yang berdetak di dalam tubuh mereka adalah milik Allah. Ketika jantung diminta Allah untuk berhenti berdetak, maka akan berhenti berdetak. Manusia harus mengalami kematian untuk memenuhi aturan Allah.
Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Jumu’ah [62]: 8).
Berkaitan dengan ayat yang agung ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'di, seorang pakar tafsir abad 14 H menjelaskan, Begitulah, meski mereka tidak mengharapkan kematian karena perbuatan yang mereka lakukan bahkan mereka akan lari dari kematian sejauh mungkin, tapi hal itu tidak bisa menyelamatkan mereka, karena kematian pasti menemui mereka karena telah ditentukan dan dituliskan oleh Allah pada para hambaNya. Kemudian setelah kematian dan sempurnanya ajal, semua manusia dikembalikan pada Hari Kiamat menuju Allah Yang Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata kemudian akan memberitahukan amal perbuatan mereka, baik dan buruknya, sedikit dan banyaknya.
Kematian merupakan sesuatu peristiwa keluarnya ruh dari jasad manusia. Dalam Islam, kematian menjadi awal perpindahan dari alam dunia ke alam barzah, roh manusia yang wafat akan tinggal di alam barzah hingga kebangkitan manusia dari kuburnya saat kiamat kelak. Kematian menjadi permulaan menuju alam akhirat yang kekal, setelah kematian pun masih melewati masa pertanggung jawaban atas semua apa yang kita lakukan dan perbuat di dunia.
Di dunia, orang cenderung bebas melakukan hal apapun. Baik yang bersifat baik maupun buruk. Ini terjadi karena tidak akan ada yang menghitung dan menilai setiap perbuatan manusia di dunia. Namun berbeda dengan setelah kematian, sekecil apapun perbuatan di dunia akan dipertanggungjawabkan.
Setelah kematian datang, tidak ada satupun yang bisa mengungkapkan alasannya dalam berperilaku selama hidup di dunia. Ia akan menanggung segala dosa maupun pahala yang dikumpulkan selama masa hidupnya.
(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang diantara mereka, dia berkata ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku dapat berbuat kebaikan yang telah aku tinggalkan’. Sekali-kali tidak! Sungguh itu adalah dalih yang diucapkannya saja. Dan dihadapan mereka ada barzakh sampai pada hari mereka dibangkitkan. (Al-Mu’minun [23]: 99-100)
Membicarakan misteri kehidupan setelah kematian, sama halnya dengan membicarakan akidah atau iman kepada hari akhir. Hal ini perlu tertanam dalam hati dan pikiran tiap-tiap umat Muslim.
Rasulullah SAW bersabda, “perbanyaklah mengingat sesuatu yang memutuskan kenikmatan, yaitu kematian” (HR. Ibnu Majah). Bahkan kepada para sahabat, Nabi berpesan agar mengingat kematian ini lebih dari shalat yang pengerjaanya sebanyak lima kali dalam sehari.
Mengingat kehidupan setelah kematian telah menjadi kebiasaan baik bagi Nabi maupun para sahabat. Nabi Muhammad SAW tidak pernah berhenti untuk mengingatkan tentang adanya surga dan neraka. Bahkan saking seringnya hari akhir ini menjadi perbincangan dalam majelis, para sahabat bahkan menganggap kehadiran surga dan neraka ini seperti kasat mata. Mereka mampu melihat di depan mata kepala mereka meski hal ini masih menjadi rahasia Allah SWT.
Amal Shaleh sebagai Bekal
Hidup di dunia itu sementara. Ia harus digunakan untuk mencari sebanyak-banyaknya bekal untuk menghadapi kehidupan akhirat yang selamanya. Karenanya, memperbanyak amal shaleh amatlah penting untuk dikerjakan di kehidupan dunia sebagai bekal menuju alam akhirat. Allah SWT berfirman:
Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. (Al-Mulk [67]: 2)
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, seorang ulama kontemporer, mengatakan: “Kematian adalah pintu gerbang menuju kehidupan abadi. Persiapkanlah dirimu dengan amal saleh sebelum kematian datang.”
Allah SWT melalui Al-Quran selalu meotivasi orang-orang beriman untuk bersemangat dan konsisten dalam beramal sebagai bekal meraih kebahagiaan hidup di alam keabadian. Di antaranya Allah Berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga 'Adn. Itulah kemenangan yang besar. (Ash-Shaff [61]: 10-12)
Melalui ayat ini Allah SWT memotivasi seorang mukmin agar membara semangatnya dalam melakukan amal kebaikan. Ada banyak amal kebaikan yang bisa dilakukan di dunia untuk bekal menuju kehidupan akhirat. Amal saleh adalah perbuatan baik yang bernilai ibadah. Maka dari itu, amal saleh sangat luas yang mencakup seluruh perbuatan baik yang dilakukan untuk diri sendiri, orang tua, keluarga, bahkan hingga lingkungan sekitar.
Amal Shaleh menurut Hasybi Ash-Shiddieqy ialah semua pekerjaan dan upaya berwujud tenaga, pikiran, maupun harta yang memberikan kebaikan kepada diri sendiri, keluaraga, dan masyarakat luas. Jelasnya, semua pekerjaan yang mendatangkan kebaikan, baik bagi kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak.
Mengisi hari-hari dengan amal saleh sangat penting agar seseorang tidak melakukan keburukan. Pasalnya, jika sudah sibuk dengan kebaikan, maka kamu tidak akan punya waktu lagi untuk melakukan keburukan. Dengan melakukan amal shaleh seseorang akan memperoleh keselamatan di dunia maupun akhirat.
Amal saleh juga dikaitkan dengan amal jariyah, yaitu perbuatan yang pahalanya akan terus mengalir meski kamu sudah meninggal dunia. Nabi Muhammad dalam sabdanya pernah menjelaskan tentang amal jariyah ini, yaitu:
Apabila anak Adam (manusia) telah meninggal, maka terputuslah darinya semua pahala amal kebaikannya kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya. (HR. Muslim)
Setiap muslim diberi kesempatan yang luas untuk melakukan amal shaleh, baik mereka yang kaya maupun miskin, yang tua maupun yang muda, rakyat biasa maupun yang bertahta. Tidak ada alasan untuk enggan melakukan amal shaleh, juga tidak ada kelas sosial untuk beramal shaleh.
Dikisahkan bahwa suatu hari Abu Dzar Al-Ghifari datang menemui Rasulullah SAW dan bertanya tentang beberapa hal. “Apa yang menyelamatkan seseorang dari api neraka?”, tanya Abu Dzar. Rasulullah bersabda, “Iman kepada Allah”. Abu Dzar, “Wahai Rasulullah apakah amal bersama keimanan itu?”. Rasulullah, “Engkau memberikan sebagian dari yang Allah telah anugerahkan dan rezekikan kepadamu.”
Abu Dzarr bertanya lagi, “Wahai Nabi Allah, bagaimana jika ia miskin dan tidak memilki apa-apa untuk diberikan?”. Rasulullah menjawab, “Ia perintahkan yang makruf dan mencegah yang munkar.” Abu Dzarr, “Bagaimana jika tidak dapat melakukan amar makruf dan nahi munkar”. Rasulullah, “Hendaklah ia membantu yang tidak pandai berbuat baik”. Abu Dzarr, “Bagaimana jika ia sendiri tidak pandai berbuat baik?”. Rasulullah, “Hendaklah ia membantu orang yang teraniaya”.
Abu Dzarr masih bertanya, “Wahai Nabi Allah, bagaimana jika ia sendiri lemah hingga tidak dapat membantu yang teraniaya”. Rasulullah, “Jangan engkau biarkan temanmu tidak berbuat baik, agar ia dapat menahan diri dari menyakiti orang lain”. Abu Dzarr, “Wahai Rasulullah, apakah menurut engkau jika melakukan hal tersebut ia bakal masuk surga?”. Rasulullah menutup sabdanya, “Seorang hamba beriman yang memiliki satu dari sekian sifat-sifat itu, ia (Nabi) akan menggandeng tangannya dan memasukkannya ke dalam surga”.
Dari kisah Abu Dzarr ini maka tidak ada alasan lagi untuk enggan beramal shaleh. Jika ada seorang beriman yang ingin meraih kebahagiaan akhirat tetapi tidak mau beramal shaleh selama hidup di dunia, maka keinginannya itu hanya sekedar angan-angan belaka. Akhirat tidak akan diraih tanpa melalui dunia. Maka yang paling baik ialah beramal shaleh sebanyak mungkin sewaktu di dunia, demi meraih kebahagiaan di dunia maupun akhirat.