Menyeimbangkan Akal dan Wahyu
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Menyeimbangkan akal dan wahyu diperlukan bagi umat Islam. Saya sebelumnya menulis tentang fakta bahwa tidak semua isi Al-Qur`an dipahami secara literal, tetapi kita juga perlu memahami sejauh mana kita dapat menggunakan akal dalam menafsirkan teks Al-Qur`an? Akal yang tegak atau dibiarkan sendiri bisa mengarah pada kesimpulan yang baik, tetapi juga bisa berdampak buruk. Begitu juga wahyu yang dipahami sebagaimana adanya, secara literal tanpa penerapan akal, juga bisa mengarah pada kesimpulan yang salah. Ini bukan karena Al-Qur`an mengatakan sesuatu yang salah, tetapi karena orang-orang salah memahami apa yang sebenarnya dikatakan Al-Qur`an.
Untuk mencapai kesimpulan yang tepat, kita perlu keseimbangan antara keduanya, perpaduan antara akal dan wahyu. Di satu sisi, akal menggunakan kemampuan yang telah diberikan Allah kepada kita dan wahyu di sisi lain sebagai petunjuk yang telah diturunkan kepada kita. Al-Qur`an mengingatkan kita tentang kemampuan yang dianugerahkan Allah untuk menafsirkan Al-Qur`an. Kegagalan menerapkan prinsip ini telah menghasilkan kesalahan besar.
Ketika menafsirkan teks-teks Al-Qur`an, tidak sedikit yang memasukkan kisah-kisah. Mereka memberikan penafsiran ayat, memahami sesuatu secara literal, dan bahkan memberikan makna yang hampir tidak masuk akal pada teks Al-Qur`an bagi orang-orang di zaman modern. Kelompok seperti ini cenderung ngotot atau bersikeras agar semua mengikuti tafsir mereka atau tidak sama sekali. Orang-orang dipaksa oleh kekuasaan atau tekanan masyarakat untuk mengikuti apa yang dikatakan. Bagi mereka inilah yang dimaksud Al-Qur`an dan seorang Muslim harus menuruti.
Sekarang kita berada dalam situasi di mana anak-anak muda dan non-Muslim mengajukan pertanyaan kepada kita. Dan kita harus bisa memberikan penjelasan masuk akal kepada mereka—para pemuda dan juga non-Muslim. Agar bisa diterima nalar bagi semua orang dan juga untuk diri kita sendiri, kita juga harus jujur pada diri sendiri. Maka kita harus menerapkan akal sehat dalam kadar tertentu. Karenanya kita perlu memahami dan menjelaskan Al-Qur`an dengan cara-cara yang rasional.
Al-Qur`an menegaskan agar Mukmin percaya pada hal-hal yang gaib, tidak terlihat. Kita wajib percaya kepada Tuhan yang tidak bisa kita lihat. Kita juga mesti percaya pada malaikat yang juga tak terlihat. Tetapi pada saat yang sama, Al-Qur`an melarang kita untuk memercayai sesuatu yang tidak rasional. Jadi ada perbedaan antara sesuatu yang tidak rasional dan sesuatu yang di luar nalar. Sesuatu di luar nalar berarti indra kita tidak bisa sampai di sana. Adapun sesuatu yang tidak rasional bermakna itu bertentangan dengan akal.
Misalnya, kita berpikir bahwa Tuhan itu ada dan malaikat juga ada. Itu masalah keyakinan. Jadi itu di luar nalar. Sementara berbicara tentang sesuatu yang tidak rasional seperti mengungkapkan bahwa dua tambah dua sama dengan lima. Kita tahu jawaban itu tidak rasional, tidak mungkin. Di luar nalar, kita masih bisa mempercayainya.
Jika seseorang menampilkan ayat tertentu dari Al-Qur`an dan berkata bahwa ayat ini berarti A, B, C. Ia berkata Anda harus percaya A, B, C, karena itulah yang dikatakan Al-Qur`an. Sekarang kita harus mempertanyakannya karena jika itu adalah sesuatu yang diklaim tidak rasional atau tidak masuk akal, kita perlu menjawab, "Tunggu. Mari kita lihat kembali ayat itu. Apakah ayat itu benar-benar mengatakan A, B, C? Atau apakah itu konstruksi Anda sendiri terhadap ayat tersebut?"
Jika itu di luar nalar, berarti akal tidak bisa menembus sejauh itu. Kita bisa menerimanya, bahwa ayat itu berarti demikian dan itu adalah sesuatu yang di luar nalar kita. Kita menerimanya dengan iman. Tapi kita tak bisa menerima atas nama iman hal-hal yang tidak rasional atau bertentangan dengan akal.
Saya ingin memberikan contoh tentang ini. Salah satu kitab tafsir klasik yang luar biasa adalah Tafsir Al-Qurthubi. Dia seorang mufassir yang sangat dihormati di kalangan Sunni. Saya mengutip penjelasannya ayat ke-22 dari surah Al-Ma`idah di mana dikatakan Musa dan kaumnya diperintahkan untuk pergi ke suatu negeri. Umatnya mengeluh kepadanya, "Mereka menjawab, "Wahai Musa! Sungguh di sana ada kaum yang sangat zalim, maka kami sekali-kali tidak akan masuk ke sana sampai mereka keluar. Jika mereka keluar, niscaya kami akan masuk!" (QS 5: 22).
Jadi, siapakah orang-orang yang zalim ini? Ada yang menerjemahkannya sebagai raksasa. Beberapa terjemahan Al-Qur`an menyebut kaum zalim ini raksasa. Kaum Musa mengira orang-orang itu adalah para raksasa. Para mufassir klasik juga berpikir ada raksasa, begitu pula Imam Qurthubi. Beliau mencoba menjelaskan ukuran orang-orang atau para raksasa ini.
Mereka sangat besar sehingga ketika tim pengintaian yang dikirim oleh Musa keluar, mereka ditangkap oleh salah satu raksasa ini. Raksasa itu cukup menangkap mereka dengan tangan. Mereka sangat kecil dibandingkan dengan tubuh para raksasa. Raksasa ini mengenakan pakaian yang memiliki ujung sampai bawah. Dia bisa memasukkan dua dari umat Musa ke dalam ujung bawah pakaiannya.
Imam Qurthubi menyebutkan secara khusus salah satu raksasan ini, namanya Og. Menurut Imam Qurthubi, orang ini mungkin yang tertinggi di antara mereka. Seberapa tinggi dia? Menurut Imam Qurthubi, tingginya adalah 3333 hasta. Satu hasta sekitar 18 inci.
Jadi jika kita berbicara tentang 3333 hasta, kita berbicara sekitar 5.000 kaki. Orang ini punya ketinggian 5000 kaki. Setiap kali ingin makan, dia akan menjulurkan tangannya ke laut untuk menangkap seekor ikan. Lalu dia akan meraih ke langit dan menggoreng ikan di permukaan matahari itu sendiri. Tentu orang setinggi 5000 kaki tidak cukup tinggi untuk mencapai matahari. Sains menemukan bahwa matahari berjarak 83 juta mil dari bumi. Raksasa dengan ketinggian 5000 kaki mustahil mencapai matahari. Tinggi 5.000 kaki ini secara ilmiah tidak mungkin.
Ketika kita memahami ayat-ayat Al-Qur`an, cara terbaik untuk memahami ayat ke-22 surah Al-Ma`idah ini bukanlah dengan mengatakan mereka adalah raksasa, seperti dalam cerita "Jack and the Beanstalk.” Jika kita mengatakan raksasa, itu sangat berlebihan untuk manusia yang tingginya sedikit di atas rata-rata. Jika rata-rata manusia setinggi lima atau enam kaki, kita masih bisa mengatakan bahwa orang-orang ini setinggi enam kaki, tetapi masih dalam ranah kemungkinan untuk manusia. Sebetulnya jauh lebih baik dan tepat mengatakan mereka bukan orang yang berbadan tinggi, tetapi mereka adalah orang-orang yang zalim. Itulah sebabnya Bani Israil takut memasuki kota tersebut karena mereka takut bakal ditindas oleh orang zalim.
Kita harus menafsirkan Al-Qur`an dengan dosis rasionalisme yang sehat. Jika tidak, maka kita bakal secara buta mengikuti cara mufassir klasik tanpa penerapan akal budi modern yang memadai. Kita bisa saja menerima hal-hal yang dapat diterima oleh masyarakat di masa lalu. Mereka tidak memiliki masalah yang kita hadapi sekarang, saat kaum muda mempertanyakan berbagai hal dan di mana non-Muslim mengajukan pertanyaan kepada kita tentang apa yang kita yakini.
Tidak ada masalah bagi generasi sebelumnya. Mereka selamat dengan semua ini. Bagi kita hal ini menjadi beban masa lalu. Kita perlu bertanya apakah kita harus terus memikul beban ini sehingga persoalan keimanan kurang menarik bagi para pemuda kita dan orang luar Islam? Atau haruskah kita menerapkan komponen akal budi yang sehat sehingga kita menyeimbangkan akal dan wahyu. Al-Qur`an adalah wahyu Allah dan mendayagunakan akal untuk menafsirkan dan memahami Kitabullah adalah pemberian Ilahiah.