Logika Profetik dalam Merespon Musibah Banjir Sumatera
Oleh: Dr. M. Samson Fajar, M.Sos.I (Sekretaris BPH & Dosen UM Metro)
Musibah banjir yang melanda Sumatera kembali menggugah kesadaran kolektif kita tentang hubungan manusia dengan alam, dengan sesama, dan dengan Allah. Dalam pandangan profetik, setiap musibah bukan hanya peristiwa ekologis, tetapi juga pesan moral dan spiritual yang mengajak manusia untuk membaca realitas secara lebih dalam. Banjir bukan sekadar naiknya debit air; ia adalah ayat kauniyah—tanda yang mengandung hikmah, teguran, bahkan cinta-Nya.
Al-Qur’an sejak awal telah memberi kerangka berpikir tentang musibah. Ketika Allah berfirman, “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia” (QS. Ar-Rum: 41), ayat ini bukan kutukan, melainkan pengakuan jujur bahwa kerusakan ekologis adalah hasil dari kelalaian manusia mengelola amanah bumi. Deforestasi, alih fungsi lahan tanpa regulasi yang matang, hilangnya daerah resapan air, serta lemahnya tata ruang kota—semuanya terakumulasi menjadi bencana yang kita saksikan hari ini. Dalam kerangka tauhid, musibah bukan murka semata, tetapi bagian dari sunnatullah yang bekerja sesuai hukum alam. Ketika hukum itu dilanggar manusia, konsekuensinya tak dapat dihindari.
Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa iman bukan hanya ucapan, tetapi tanggung jawab sosial. Hadis beliau, “Tidak beriman seseorang hingga ia mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri” (HR. Bukhari Muslim), mencerminkan etika profetik bahwa respons pertama terhadap musibah adalah empati yang berbuah tindakan. Banjir menguji sejauh mana masyarakat, pemerintah, dan lembaga sosial mampu bergerak bersama membantu korban, memulihkan kehidupan mereka, dan menguatkan mereka yang kehilangan. Solidaritas dalam musibah adalah cermin kedalaman iman.
Namun logika profetik tidak berhenti pada empati. Ia menuntut keberanian moral untuk mengakui kesalahan kolektif. Sabda Nabi, “Kalian semua adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban” (HR. Bukhari), menyadarkan kita bahwa kegagalan tata kelola lingkungan bukanlah kesalahan satu pihak saja. Izin industri yang longgar, penegakan hukum yang lemah, serta pola pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam adalah bagian dari dosa sosial yang harus ditanggung bersama. Kesadaran profetik mengubah respons emosional menjadi perbaikan struktural.
Dalam kerangka transformasi profetik, musibah menjadi titik balik. Al-Qur’an menegaskan, “Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri” (QS. Ar-Ra’d: 11). Ayat ini menjadi energi perubahan: bahwa banjir harus menjadi momentum revisi besar-besaran dalam kebijakan tata ruang, reformasi pengelolaan hutan, penataan kembali daerah aliran sungai, serta penguatan mitigasi bencana yang berbasis data ilmiah dan keadilan ekologis. Spirit profetik mengajarkan bahwa memperbaiki sistem sama pentingnya dengan doa; keduanya adalah bentuk ibadah.
Musibah juga memiliki dimensi spiritual yang dalam. Allah menyebut tanda-tanda itu sebagai pengingat, “Kami tidak mengirimkan tanda-tanda itu melainkan untuk menggugah kesadaran” (QS. Al-Isra’: 59). Maka banjir bukan semata penderitaan, tetapi undangan Ilahi agar manusia kembali pada kesadaran fitri: bahwa bumi bukan objek eksploitasi, melainkan amanah. Bahwa manusia bukan penguasa semena-mena, tetapi khalifah yang menjaga keseimbangan. Firman-Nya, “Dialah yang menjadikan kamu khalifah di bumi” (QS. Fathir: 39), menggariskan identitas dasar manusia: penjaga, bukan perusak.
Dengan demikian, musibah banjir Sumatera, betapapun menyakitkan, sesungguhnya menyimpan pesan cinta-Nya. Sebab cinta tidak selalu hadir dalam kelembutan; kadang ia datang dalam bentuk peringatan agar kita tidak tersesat lebih jauh. Dalam logika profetik, musibah adalah “panggil pulang”—mengajak kita untuk kembali pada etika ekologis, solidaritas sosial, dan spiritualitas tauhid yang menyatukan manusia dengan alam dan Tuhannya.
Banjir bukan hanya tragedi, melainkan momentum kebangkitan. Momentum untuk memperbaiki diri, membenahi struktur, dan membangun relasi yang lebih beradab dengan alam. Bila pesan ini kita tangkap, maka musibah berubah menjadi titik awal peradaban yang lebih profetik—lebih manusiawi, lebih ekologis, dan lebih ilahi.



