Urusan Makan Sebab Jalan Kesalehan atau Kezaliman Sosial
Arief Juniarto: Dosen Institut Teknologi Sumatera, Lampung
Aktivitas makan adalah naluri manusia yang lumrah terjadi. Bagi sebagian besar orang, urusan makan adalah hal yang mudah dan sederhana, tapi terkadang nikmat tersebut sering lupa disyukuri. Sejatinya, setiap orang punya nikmat dan selera makan yang luar biasa, bahkan yang terasa pahit, orang-orang mampu menikmatinya seperti kopi pahit, pare, dan daun pepaya. Urusan makan mungkin terlihat sederhana bagi sebagian besar orang. Namun, dengan mengingat tentang makan, maka kita akan mendapatkan hikmah untuk bersyukur.
Makan adalah kebutuhan paling penting yang membuat mereka aman secara fisiologis, karena kebutuhan dasar untuk hidup. Lantas bagaimana bila ada orang-orang yang memiliki kelapangan rezeki yang lebih besar dibanding sekadar urusan makanan, maka rasa syukurnya berpotensi jauh lebih besar. Oleh karena itu, urusan syukur tidak dimulai dari hal yang besar, tetapi bisa dimulai dengan mensyukuri setiap hari yang kita makan.
Berkaitan dengan makanan, banyak perbuatan yang menunjukkan hikmah ibadah Islam berkaitan dengan makanan. Misal, saat ramadhan saling berbagi makanan untuk buka maupun sahur merupakan perbuatan memberi makan yang berpahala dan peduli sesama muslim. Selain itu, ibadah berupa zakat fitrah, qurban, dan fidyah juga dekat dengan urusan makan. Karena kepedulian berupa makanan adalah hikmah untuk berbagi bersama guna meningkatkan iman dan taqwa. Bahkan urusan denda berupa membayar kafarat baik saat haji (dam dengan seekor kambing) atau denda akibat berhubungan seks saat puasa ramadhan membayar denda dengan urusan makanan (memberi makan 60 orang miskin).
Urusan makan juga menjadi jalan syukur sebagaimana Maryam yang menerima makanan dari Allah dan menjalankan rasa syukur ketika di mihrab. Hal ini dijelaskan dalam QS Ali Imran 37 yaitu 'Makanan itu dari sisi Allah'. Sesungguhnya, Allah memberi rezeki, kepada siapa yang dikehendaki-Nya, tanpa hisab." Namun sebaliknya, makanan juga sebab mendustakan nikmat Allah seperti kaum bani Israel. Manna Salwa, dua hidangan yang tidak pernah habis meski dikonsumsi setiap hari. Karena itu, Bani Israil tidak perlu bekerja keras, bersusah payah dan saling berebut untuk mendapatkannya. Akhirnya, mereka jadikan makanan itu tidak bersyukur dan berbuat zalim.
Oleh sebab itu, hikmah dibalik urusan makanan dalam kehidupan beragama seorang muslim adalah jalan kesalehan sosial tetapi juga berpotensi jalan kezaliman sosial. Hal ini diperkuat dengan perkataan Rasulullah SAW yang mengajarkan, “Sesungguhnya orang terbaik di antara kalian adalah orang yang memberi makan" (HR. Thabrani). Ini menjelaskan bukan tentang menu makanan apa yang akan kita makan, tetapi apakah orang-orang sekitar kita juga mendapatkan makanan secara cukup, aman dan layak.
Pada petunjuk hadist yang lain juga disebutkan bahwa ada seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah, "Perbuatan apa yang terbaik di dalam Islam?" kemudian Rasulullah menjawab, "Kamu memberi makan kepada orang lain." (HR.Bukhari dan Muslim). Ini menjelaskan secara eksplisit bahwa memberi makan, mentraktir makan atau memberikan makan merupakan perbuatan mulia bagi sesama.
Negara, Sumber Daya, dan Makanan
Jangan lupa, pelajaran penting dari pemimpin besar, Umar bin Khatab ra tentang negara dan perannya terhadap urusan makanan. Saat musim paceklik di zaman kekhalifahan Umar bin Khatab, Umar selaku amirul mukminin patroli melihat kondisi umatnya. Ketika melewati rumah warganya, Umar mendengar suara tangis anak seorang janda. Setelah mendekati, Khalifah mendapati seorang ibu yang duduk di depan perapian sambil terus mengaduk-aduk bejana yang ternyata sedang memasak batu. Hal ini dilakukan hanya untuk menghibur anaknya, sehingga anaknya bisa bersabar atau tertidur karena lelah menunggu. Singkat cerita, Khalifah sendiri lah yang memikul gandum di punggungnya. Beliau sangat sedih mendapati rakyatnya tidak bisa makan. Beliau sangat takut akan aduan orang-orang lemah yang terdhalimi ketika di hadapan persidangan Allah SWT nanti.
Seandainya kita refleksikan pada hari ini, maka inilah contoh teladan yang patut ditiru oleh semua yang memegang kewenangan negara, atau pun akses pemanfaatan sumber daya alam. Karena perlu untuk memastikan warganya, masyarakat disekitarnya merasakan manfaat memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup yaitu kecukupan makanan. Makan siang gratis merupakan program bagus, karena menurut penulis mengurangi siswa yang kelaparan saat di sekolah, karena tidak sempat makan atau tidak ada makanan di rumah. Pernyataan Menko PMK, Muhadjir Effendy menyebutkan bahwa sebanyak 41 persen anak-anak di Indonesia masuk sekolah dalam kondisi kelaparan. Namun, jangan sampai ini menjadi ajang bancakan keuntungan bagi-bagi mereka yang sudah sangat berlebih urusan makanan.
Seandainya kita merefleksikan pada sumber daya alam berupa hutan, laut, dan hasil bumi lainnya, maka kawasan-kawasan yang telah dieksploitasi untuk diambil nilai ekonominya seharusnya mampu mendorong peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat sekitar. Namun, fenomena itu bisa berbanding terbalik, seperti dalam bukunya Nancy Peluso, Rich Forest Poor People. Buku yang menjelaskan dinamika penggunaan hutan di Jawa sebagai produk untuk menguasai sumber daya antara pemegang birokrasi negara, di satu sisi, dan petani pedesaan Jawa/masyarakat sekitar hutan, di sisi lainnya.
Berawal pada masa Belanda, birokrasi kehutanan berusaha mempertahankan hak istimewa eksploitasi kekayaan Jawa terutama jati dengan membatasi akses petani terhadap sumber daya hutan. Petani yang sepenuhnya bergantung pada sumber daya ini untuk penghidupan mereka menentang keras kontrol akses sumber daya tersebut. Sering kali keberadaan hutan yang kaya belum mampu menjadi pemenuhan sumber kebutuhan dasar manusia sekitar hutan karena ada batasan akses dan konflik. Fakta-fakta tentang ketidakharmonisan antara ‘tetangga’ sekitar sumber daya alam dengan pengelola sumber daya alam yang bernilai tinggi sering terjadi di berbagai wilayah Indonesia.
Tentu petunjuk dari Rasulullah SAW ini merupakan teguran keras terhadap fenomena ini, beliau bersabda: "Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani). Jika kita tarik dalam terjemahan bebas kontemporer sekarang, dapat diartikan: Tidaklah beriman kepadaKu orang yang kenyang semalaman bagi mereka pengelola, pemilik, pemegang kewenangan SDA, sedangkan tetangganya, dalam hal ini masyarakat sekitar SDA dalam kondisi kelaparan dan tidak mengakses pangan yang layak. Ia mengetahui potensi manfaat yang besar yang ia dapatkan tetapi masyarakat sekitar SDA yang lebih dekat untuk memenuhi kebutuhan makan masih sulit. Meski tidak selalu menyediakan ‘ikan’nya, tetapi memfasilitasi ‘kail’ untuk mendapatkan ikan adalah jalan terbaik dan bermartabat.