Malu sebagai Benteng Iman
Oleh: Miqdam Awwali Hashri
Dalam suatu hadits, disebutkan yang artinya “Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu.’” (HR Bukhari)
Tetapi perlu disadari bahwa memiliki rasa malu yang berlebihan dapat menghasilkan dampak negatif, meskipun sebenarnya malu adalah sikap pertengahan. Jika dia terlalu ke kanan maka akan membentuk rasa minder. Sedangkan jika dia terlalu ke kiri maka akan menimbulkan rasa gengsi. Minder dan gengsi sama-sama merupakan hal negatif.
Rasa minder didasari pada rasa malu yang berdampak tertutupnya potensi diri. Sebagai contoh, ada murid yang merasa minder untuk menjawab pertanyaan guru karena malu jika jawabannya salah akan ditertawakan oleh teman-temannya. Rasa minder itu bisa menutup potensi dirinya karena dia sebetulnya memiliki peluang untuk menjawab benar. Namun karena berlebihan rasa malu sehingga berakibat minder, menyebabkan peluang tersebut tertutup. Ada nasihat yang menyebutkan, bahwa orang yang mau berusaha memiliki peluang berhasil dan gagal sebesar 50:50, tetapi orang yang tidak mau berusaha tidak akan memiliki peluang berhasil.
Berikutnya adalah rasa gengsi. Gengsi yang muncul dari seseorang juga berawal dari rasa malu. Namun bedanya dengan minder, gengsi justru dapat menumbuhkan tindakan nekad. Sebagai contoh, yang pernah diberitakan disuatu media online, ada seorang pelajar yang nekad mencuri uang tetangganya hingga Rp10juta untuk bisa mentraktir teman-temannya demi menjaga gengsi. Atau contoh lain yang sering kita baca dalam Sirah Nabawi, yaitu perilaku Abu Jahl yang memusuhi Nabi Muhammad SAW hingga ingin membunuh beliau, juga disebabkan rasa gengsi.
Supaya malu tidak menimbulkan efek negatif, baik minder maupun gengsi, maka kita perlu memiliki ilmu untuk menjaganya agar tetap sebagai alat kontrol. Rasa malu harus dipelihara dengan baik agar tetap pada koridornya sehingga tidak menimbulkan rasa minder maupun gengsi. Kita bisa mengimplementasikan dari yang pernah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sebagaimana hadits yang artinya, , “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.” (HR Ibnu Majah).
Bagi seorang muslim, rasa malu harus dapat membangkitkan potensi diri. Rasa malu hendaknya dapat membangkitkan akal sehat. Rasa malu juga diperlukan agar manusia tidak melalukan hal-hal nekad dan konyol hanya untuk memuaskan hawa nafsunya. Seorang muslim harus memiliki rasa malu dihadapan Allah sehingga dia selalu berupaya untuk menjadi hamba yang berbakti. Dalam suatu kesempatan Rasulullah SAW berdiskusi dengan para sahabat dengan bersabda, “Malulah kalian kepada Allah dengan malu yang sebenar-benarnya.” Para sahabat berkata, “Kami malu kepada Allah wahai Rasulullah, alhamdulillah.” Nabi SAW bersabda, “Bukan itu, orang yang malu kepada Allah dengan sebenarnya hendaknya menjaga kepala dan yang berada di sekitar kepala, menjaga perut dan apa saja yang masuk ke perut, menjaga kemaluan, dua tangan, dan dua kaki. Dan hendaklah ia mengingat mati dan kehancuran. Barangsiapa yang menginginkan akhirat, niscaya ia meninggalkan perhiasan hidup di dunia dan lebih mementingkan akhirat daripada dunia. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut, maka sungguh ia telah malu kepada Allah dengan sebenarnya.” (HR at-Tirmidzi).
Rasa malu juga dapat membangkitkan kebenarian. Diantara contohnya adalah berani untuk mencari dan mengamalkan ilmu. Dia tidak gengsi jika ada orang yang lebih pintar darinya kemudian mengguruinya. Dia juga tidak minder untuk berbagi ilmu kepada siapapun.
Bagi dia, orang yang mengguruinya adalah orang yang mendukung pemikirannya. Bahkan jika yang diajarkan adalah hal-hal yang belum pernah terpikir olehnya, maka itu adalah jalan untuk memperkaya ilmunya. Begitu juga sebaliknya, dia tidak minder untuk memaparkan ilmunya meskipun masih sedikit. Baginya, meskipun ilmu yang disebarkan masih minim, dia berkeyakinan bahwa kelak Allah akan menyempurnakannya melalui orang-orang yang Allah kehendaki.
Sekali lagi bahwa rasa malu hendaknya selalu ada dalam diri orang yang beriman. Malu adalah benteng iman. Orang yang memiliki rasa malu akan berpikir dua kali sebelum bertindak dengan mempertimbangkan hati dan akalnya. Jangan sampai orang beriman menjadi orang yang malu-maluin akibat dari sikap dan tindakan yang dilakukannya, sebagaimana hadits yang artinya “Iman dan malu merupakan pasangan dalam segala situasi dan ini kondisi. Apabila rasa malu sudah tidak ada, maka iman pun sirna.” (HR. Al Hakim)
Wallahua'lam
Miqdam Awwali Hashri, Anggota Lembaga Dakwah Khusus (LDK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah