Masjid Kobe dan Fajar Islam di Jepang

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
225
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Masjid Kobe dan Fajar Islam di Jepang

Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam

Kobe kini dikenal sebagai salah satu kota pelabuan tersibuk di Jepang. Kota terbesar ketujuh di Jepang ini merupakan ibukota dari Prefektur Hyogo dan terletak di sebelah selatan Pulau Honshu, pulau terbesar dan terpadat di Jepang. Walaupun terletak jauh dari jantung dunia Islam, Kobe memiliki salah satu warisan budaya Islam yang menjadi penanda jejak sejarah kehadiran Islam di kota itu: Masjid Kobe. Mulai dibangun sejak tahun 1928 dan akhirnya bisa dibuka untuk umum pada tahun 1935, masjid yang terletak di kawasan bersejarah dan destinasi pariwisata di Kobe, Distrik Kitano-chō, ini masih digunakan sebagai tempat ibadah umat Islam di Jepang hingga kini.

Sejarah pembangunan Masjid Kobe berkaitan erat dengan sejarah kehadiran Islam di Jepang. Kehadiran kaum Muslim di Jepang bisa dilacak hingga ke hubungan yang terbangun antara Jepang dengan Turki Usmani pada akhir abad 19. Sejarahnya dibuka dengan usaha saling pendekatan antara Kesultanan Usmani dengan Jepang, yang ditandai dengan pengiriman kapal perang Angkatan Laut Usmani, Ertugrul, ke Jepang. 

Usaha ini merupakan sebuah bentuk pembukaan hubungan persahabatan yang diwarnai oleh sebuah tragedi. Langkah diplomatik ini terjadi pada tahun 1889, dan kapal itu berhasil melaksanakan misi utamanya di Jepang. Tapi, kapal ini mengalami permasalahan saat akan kembali ke Turki. Kapal ini mengalami kerusakan parah dan akhirnya tenggelam akibat sebuah badai di perairan Jepang, tepatnya di sekitar Prefektur Wakayama.

Akibatnya, ratusan pelaut Turki meninggal. Sisanya diselamatkan oleh kapal Jepang dan akhirnya dikembalikan ke Turki. Kapal itu, dan sebagian besar krunya, memang tidak bisa kembali ke Turki, namun peristiwa tenggelamnya kapal Ertugrul menjadi titik penting dalam menguatnya hubungan Jepang dengan Usmani, dan juga dengan dunia Islam secara umum.

Setelah peristiwa menyedihkan yang menimpa Ertugrul, Islam datang dalam bentuk lain ke Jepang. Antara tahun 1917-1923, jauh di utara Jepang, tepatnya di Rusia, terjadi sebuah revolusi. Dikenal sebagai Revolusi Rusia, peristiwa ini mengakhiri kekuasaan kaum bangsawan di Rusia dan munculnya kaum Bolshevik yang berhaluan Marxis. Perang saudara yang terjadi kala itu mengakibatkan banyak orang Rusia menjadi korban. Salah satu yang menjadi korban revolusi adalah kaum Muslim di yang berasal dari kawasan Tatar, di Rusia barat.

Wilayah Tatar dikuasai pasukan Bolshevik, yang kehadirannya ditolak oleh penduduk setempat. Berbagai tekanan akibat perang memaksa kaum Muslim Tatar untuk bertahan hidup, termasuk dengan mencari perlindungan ke luar Rusia. Jepang merupakan salah satu tempat pengungsian mereka. Jumlah mereka cukup banyak sehingga pada era 1930an kaum Muslim Tatar menempati posisi sebagai etnis Muslim terbesar di Jepang.

Pemerintahan di era Meiji di Jepang (berlangsung antara 1868-1912) memperbolehkan kebebasan dalam beragama dan ini membantu kaum Muslim yang berasal dari luar Jepang untuk datang dan menyiarkan Islam di sana. Bagi kaum Muslim dari luar Jepang, negara ini dianggap sebagai salah satu negara termaju dan paling industrialis di Asia Timur, dan ini mendorong munculnya migrasi ke Jepang. Kaum Muslim non-Jepang yang bermigrasi ke Jepang antara lain berasal dari dunia Arab, Persia, Afghanistan dan Tatar.

Komunitas-komunitas Islam yang baru muncul di Jepang membutuhkan masjid sebagai tempat ibadah dan pusat kegiatan sosial-keagamaan. Sejumlah tempat beribadah untuk umat Islam didirikan di beberapa wilayah di Jepang, misalnya di Prefektur Osaka sebuah tempat ibadah sederhana didirikan pada tahun 1905 (namun bangunannya kini sudah tidak ada lagi), di Nagoya sebuah masjid lain dibangun pada tahun 1931, dan di ibukota Tokyo kaum Muslim asal Tatar mendirikan sebuah masjid pada tahun 1938.

Di Kobe, usaha untuk mendirikan sebuah masjid bagi umat Islam dimulai sejak tahun 1928. Dengan demikian, masjid ini bisa dikatakan sebagai masjid tertua di Jepang. Kobe pada paroh kedua dekade 1920an itu dihuni oleh komunitas Muslim asal India, Turki dan Tatar. Mereka pada umumnya berprofesi sebagai pedagang, dan masuk ke Kobe mengingat posisi kota itu sebagai salah satu kota pelabuhan yang terbuka menerima orang asing. Dengan meningkatnya jumlah umat Islam dari luar Jepang di Kobe, sebuah usaha dilakukan untuk membangun masjid.

Lewat sebuah proses panjang, umat Islam Kobe meminta izin pembangunan masjid kepada pemerintah Jepang dan mengumpulkan sumbangan dari berbagai pihak. Arsitek masjid ini, Jan Josef Švagr, adalah seorang perancang bangunan yang berasal dari Ceko. Dari segi arsitektur, gaya yang dipakai adalah dari India. Adapun di bagian interiornya, pengaruh Turkilah yang sangat terasa. Bangunan masjid ini terdiri atas tiga lantai, yang semuanya dapat digunakan untuk shalat. Masjid ini dilengkapi pula dengan kubah dan menara.

Pembangunan Masjid Kobe harus melewati waktu selama bertahun-tahun. Untuk mewujudkan pendirian masjid tersebut didirikanlah Komite Masjid Islam yang terdiri atas umat Islam Kobe yang umumnya merupakan kalangan imigran. Kaum Muslim membutuhkan waktu selama enam tahun untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk pembangunan masjid tersebut. Total dana pembangunannya mencapai 60.000 Yen, dan berasal dari berbagai donatur yang menyumbang angka yang bervariasi. Perusahaan konstruksi Takenaka ditunjuk sebagai desainer dan pembangun masjid ini.

Masjid Kobe dibuka untuk pertama kalinya bagi publik pada tahun 1935. Apresiasi terhadap kehadiran masjid ini tidak hanya datang dari umat Islam Kobe, tapi juga dari walikota Kobe saat itu, Ginjiro Katsuda. Katsuda memberi selamat kepada komite pembangunan masjid atas dibukanya masjid pertama di Jepang tersebut. Profesor Sejarah Global di Universitas California, Los Angeles, Nile Green, dalam bukunya, Terrains of Exchange: Religious Economies of Global Islam, menyebut bahwa media cetak Jepang kala itu juga menyambut hangat pembukaan Masjid Kobe dengan memuji eksotisme desain masjid itu, yang memberi warna baru bagi pemandangan pada langit Kota Kobe.

Masjid Kobe tidak hanya menempati posisi spesial bagi sejarah kehadiran Islam di Jepang, tapi juga mempunyai tempat khusus bagi masyarakat Jepang. Oleh masyarakat Jepang, Masjid Kobe diberi julukan sebagai masjid yang memiliki ‘keajaiban’. Ini berkaitan dengan kemampuan masjid ini untuk bertahan dari berbagai bencana dan konflik yang terjadi di Kobe di abad ke-20, termasuk banjir besar di Kobe pada tahun 1938, Perang Dunia Kedua pada 1945 dan gempa bumi tahun 1995. Sementara Kota Kobe mengalami kerusakan parah karena berbagai bencana alam dan bencana manusia ini, struktur Masjid Kobe secara umum tetap kokoh bertahan. 

Pada Perang Dunia Kedua, Kobe merupakan salah satu kota di Jepang yang dibombardir pasukan Amerika Serikat. Masjid ini berhasil bertahan, dengan kerusakan yang minim dalam bentuk kaca yang pecah dan dinding yang retak. Padahal, bangunan-bangunan di sekitarnya nyaris hancur total. Bahkan, masjid ini digunakan sebagai salah satu tempat pengungsian warga kota. Setelah perang usai, masjid ini direnovasi. 

Pada tahun 1995, Kobe dihantam gempa bumi berkekuatan 6,9 skala Richter. Ini adalah gempa terbesar kedua di Jepang pada abad ke-20, dan gempa ini mengakibatkan lebih dari 6.434 orang, termasuk lebih dari 4.000 warga Kobe, meninggal dunia. Di tengah hancurnya Kota Kobe, masjid ini hanya mengalami kerusakan kecil. 

Menurut Yushi Utaka, ahli arsitektur dan desain urban dari Universitas Hyogo, Jepang, dalam tulisannya, ‘The Kobe Muslim Mosque: Experience of “Miracles” – 1945 Air Raid and 1995 Earthquake’, kemampuan bertahan luar biasa yang ditunjukkan masjid ini ditopang oleh fakta bahwa bangunannya berdiri di atas tanah yang stabil dan juga lantaran pilihan arsiteknya, Jan Josef Švagr, untuk membangun struktur masjid ini dengan lebih kuat. Švgar sendiri pernah menyaksikan kerusakan akibat sebuah gempa lain di Yokohama, dan mungkin ia menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran untuknya membuat bangunan yang lebih kokoh, yang kemudian ia terapkan dalam mendesain struktur Masjid Kobe. Utaka menyebut penyebab lain kuatnya struktur masjid ini: manajemen dan pemeliharaan yang dilakuan dengan rutin dan baik.

Kini, di seluruh Jepang terdapat 80 masjid, dan Masjid Kobe adalah salah satunya. Walaupun bukan yang terbesar (yang paling besar adalah Masjid Tokyo Camii), Masjid Kobe menjadi saksi sejarah penting kehadiran Islam di Jepang, sebuah negara yang jarang diasosiasikan dengan Islam, serta menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah masyarakat Jepang baik dalam hal toleransi beragama, seni arsitektur bangunan keagamaan, maupun sejarah kebencanaan dan perang dan pemulihan pascatragedi di Jepang. Dan, dengan sejarah panjang dan kiprahnya yang mengesankan bagi Kobe, tidak salah kiranya bila Utaka menyebut bahwa Masjid Kobe merupakan ‘an important Kobe’s urban cultural legacy’ (warisan budaya urban penting di Kobe).

Sumber: Majalah SM Edisi 12 Tahun 2021


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Kemunculan Madzhab dan Kedudukan Hadits (Bagian ke-2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Buda....

Suara Muhammadiyah

12 December 2023

Khazanah

Imam Malik: Pengawal Tradisi Madinah Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas An....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Khazanah

Serangan Mongol (Bagian ke-3) Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas P....

Suara Muhammadiyah

20 December 2023

Khazanah

Al Ghazali dan Inkoherensi (Bagian ke-1) Oleh: Donny Syofyan Kata-kata seperti aljabar, algoritma,....

Suara Muhammadiyah

6 November 2023

Khazanah

Tiga Alasan Ijazah Muallimin Dulu Itu Ampuh Oleh Mu’arif Ampuh alias sakti! Itulah kesan sep....

Suara Muhammadiyah

14 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah