Kitab-Kitab Hadits (Bagian ke-2)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Pada bagian sebelumnya kita memberikan tinjauan terhadap enam kitab kumpulan hadis (Kutubus Sittah). Sekarang kita ingin melihat lebih detail. Bagaimana umat Islam memandang kitab-kitab hadits tersebut, kapan koleksi tersebut ditulis, dan sebagainya. Kita akan mulai dengan Imam Bukhari dan koleksinya.
Imam Bukhari wafat pada tahun 256 Hijriah, artinya 245 tahun setelah wafatnya Rasulullah SAW yang wafat pada tahun 11 Hijriah. Dia mempunyai karya yang luar biasa. Sarjana Muslim memperkirakan dia menghasilkan karyanya itu menjelang akhir hidupnya. Boleh jadi dia sudah memulainya sejak muda dengan mengoleksi hadits dan kemudian menyusunnya menjadi sebuah susunan yang rapi. Ini adalah buah dari kerja keras sepanjang hidupnya.
Jadi koleksi ini sendiri dikumpulkan beberapa ratus tahun setelah wafatnya Nabi SAW. Shahih Bukhari dimaksudkan untuk memberi kita informasi tentang kehidupan Nabi, peristiwa yang terjadi atau hal-hal yang dikatakan 200 tahun sebelumnya. Tapi bagaimana Imam Bukhari mengetahui semua ini? Karena dia mempunyai rantai penghubung yang otentik hingga sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Imam Bukhari mengemukakan hal itu.
Koleksinya dianggap di antara enam koleksi yang paling otentik. Ada ucapan tersohor dari Imam Syafi'i rahimahullah bahwa kitab yang paling shahih setelah Kitabullah adalah Muwaththa’ Imam Malik. Kitab ini mengacu pada kumpulan hadis sebelumnya. Namun Imam al-Syafi'i meninggal dunia sebelum ia melihat Bukhari dan karyanya. Saat ini, para ulama berpendapat bahwa secara umum kumpulan hadis Bukhari itulah yang paling sahih, bahkan melampaui Muwaththa’ Imam Malik.
Bagaimana dengan Imam Muslim? Dibandingkan dengan Shahih Bukhari, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa Shahih Muslim lebih baik, setidaknya dari segi susunannya sebagai kitab petunjuk. Bahkan ada yang berpendapat bahwa kitab hadits Muslim lebih sahih dibandingkan kitab hadits Bukhari. Namun umumnya para sarjana Muslim menganggap koleksi Bukhari lebih otentik.
Seorang ulama di Abad Pertengahan bernama Ibnu Salah menulis sebuah kitab berjudul “Muqaddimah ibn al-Shalâh fî `Ulum al-Hadîts” yang berarti Pengantar Ilmu Hadits. Dalam buku tersebut dia membagi berbagai tingkatan hadis shahih. Jadi tingkat satu adalah yang Bukhari dan Muslim. Level dua, ada di Bukhari tapi tidak di Muslim. Tingkatan ketiga, ada dalam kitab Muslim tetapi tidak dalam kitab Bukhari dan seterusnya. Dia membagi atas banyak tingkatan hingga paling bawah atau rendah.
Yang pasti, jika sebuah hadits hanya ada dalam kitab Bukhari, maka dianggap lebih sahih dibandingkan jika hanya ada dalam salah satu kumpulan hadis yang lain. Ini hanya aturan umum, bisa dikatakan aturan praktis. Kalau tidak, kita harus melihat masing-masing hadits dan menelitinya berdasarkan manfaatnya masing-masing, tidak peduli dari kitab mana hadits itu berasal.
Ada kemungkinan bahwa sebuah hadits ada dalam kitab Bukhari, namun itu bukan hadits yang paling sahih mengenai subyek yang dibahas. Kitab lain mungkin mempunyai hadits yang lebih sahih terkait topik tertentu. Tapi secara umum, karya Bukhari dan Muslim dikenal sebagai shahihain, dua kumpulan sahih.
Kitab-kitab lainnya disebut Sunan, yang merupakan karya Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Nasa'i. Mereka adalah penulis dari bekas Kerajaan Persia yang lebih besar sebelumnya. Mereka semua menulis pada abad ketiga Hijriah. Kebetulan, tiga di antara mereka meninggal pada dekade kedelapan abad ketiga. Ibnu Majah wafat pada tahun 273 Hijriah, Imam Abu Dawud meninggal pada tahun 275 Hijriah, Imam Tirmidzi meninggal pada tahun 279 Hijriah. Kita dapat melihat beberapa ratus tahun telah berlalu saat mereka melakukan pengumpulan hadits. Bahkan Al-Nasa'i meninggal pada tahun 303 Hijriah memasuki abad berikutnya.
Saat ini kita melihat umat Islam mempunyai sikap yang simplistik. Kalau suatu hadits berasal dari Bukhari sudah pasti sahih. Begitu pula dengan hadits-hadits dari Muslim. Tapi keyakinan ini juga mencakup empat kitab hadits lainnya, yang keseleruhan berjumlah enam. Semuanya disebut Sihah Sitta. Orang-orang tidak mempertanyakan hadits-hadits dari kitab yang enam ini.
Namun para ulama kita di masa lalu telah meneliti hadits-hadits ini satu demi satu. Berdasarkan penelitian ini, keenam orang ini muncul sebagai kolektor yang lebih baik daripada rekan-rekan mereka lainnya. Tapi itu tidak berarti mereka benar-benar sempurna. Para sarjana Muslim berpegang pada prinsip bahwa hanya Kitabullah yang sempurna, yaitu Al-Qur’an. Setiap karya manusia pasti mengandung kesalahan, bahkan kumpulan hadits sekalipun.
Apa yang diucapkan Nabi Muhammad SAW adalah berdasarkan wahyu dan beliau maksum. Namun bila dikumpulkan oleh individu dan disimpan dalam memori, maka memori atau ingatan manusia salah. Ketika ditulis, tulisannya pun bisa saja salah bila diceritakan dari satu orang ke orang lain. Bisa dibayangkan di setiap langkahnya bisa saja terjadi kesalahan; kesalahan ingatan, kesalahan penulisan dan sebagainya.
Para ulama telah menunjukkan bahwa dalam Shahih Bukhari ada sekitar 100 hadits yang meragukan. Dan di dalam Sunan Ibnu Majah ada lebih banyak lagi, lebih kurang 700 Hadis yang dipertanyakan menurut beberapa penelitian ilmiah. Dengan demikian Sunan Ibnu Majah dianggap kitab hadits yang kurang sahih atau otentik oleh para ulama di antara enam orang penulis hadits.
Semua kolektor hadits ini harus menyaring sejumlah besar hadits untuk bisa mengumpulkannya. Ada yang mengatakan mereka membuang banyak hadits yang meragukan. Untuk memahami hal ini kita perlu dua bagian. Yang pertama adalah konten yang disampaikan atau informasinya dan yang kedua adalah rangkaian perawi, yakni para narator. Lalu bagaimana kita menghitung hadits? Apakah kita menghitung seperti jika suatu hal tertentu, misalkan A, adalah data yang disampaikan dalam hadits. A ini dihubungkan dengan rantai perawi satu, rantai perawi dua, rantai perawi tiga, dan rantai perawi empat.
Lalu apakah kita menghitung ini sebagai empat hadis yang berbeda ataukah kita mengatakan ini semua adalah hadis dasar yang sama karena kita hanya menghitung datanya saja, yakni data A. Jadi itu adalah A melalui empat cara yang berbeda. Terkadang kita menemukan jumlah yang besar tentang banyaknya jumlah rantai. Sebagai misal, dikatakan bahwa Imam Bukhari memulai dengan 600.000 hadits, namun ia mempersempitnya hanya pada koleksinya saja yang berisi sekitar 7.000 hadits. Lalu jika kita persempit lagi hadits-hadits yang mengalami pengulangan, maka akan menjadi sekitar 3.000 hadis.
Terlepas dari bagaimana kita menghitungnya, jelas bahwa kita berhadapan dengan banyak hadits palsu. Dan tahukah kita, jumlah pun bisa saja dilebih-lebihkan. Orang membesar-besarkan sesuatu karena berbagai alasan. Orang ingin mengatakan bahwa Imam Bukhari melakukan penelitian yang sangat baik sehingga dia memulai dengan 600.000 hadits, lalu dia mempersempitnya. Upaya Imam Bukhari menyikapi banyak riwayat palsu ini semisal mencari jarum di atas tumpukan jerami.
Meskipun demikian, ini adalah kenyataan bahwa kita berhadapan pemalsuan hadits ketika para penulis dan penyusun hadits berusaha untuk menyatukan semua koleksi hadits. Mereka adalah manusia yang menggunakan penilaian, pertimbangan dan rasio pada tingkat tertentu. Dan penilaian manusia, sebagaimana adanya, bukanlah seperti yang dihasilkan komputer seperti barcode scanning. Penilain dan pertimbangan ini bakal membedakan antara gandum dan rumput, antara yang sahih dan yang lemah, bahkan palsu.