Riba dan Beberapa Aspek Hukumnya (1); Tafsir Q.S. Al-Baqarah [2]: 275-281

Publish

9 January 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
329
Sumber Foto Freepik

Sumber Foto Freepik

Riba dan Beberapa Aspek Hukumnya (1); Tafsir Q.S. Al-Baqarah [2]: 275-281 

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ۚ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا ۗ وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ۚ فَمَن جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِّن رَّبِّهِ فَانتَهَىٰ فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللّهِ ۖ وَمَنْ عَادَ فَأُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ٢٧٥ 

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (275) 

Ayat tentang riba dalam surah al-Baqarah (2): 275-281 di atas didahului oleh ayat-ayat tentang sedekah (Q.S. al-Baqarah [2]: 267-274) yang di dalamnya memuat beberapa petunjuk. Pada ayat 265, infak yang didasari mencari rida Allah dan untuk meneguhkan jiwa, seperti kebun di dataran tinggi yang disirami hujan lebat, lalu kebun itu menghasilkan buah-buahan berlipat ganda. Orang yang berinfak karena mencari rida Allah tersebut diibaratkan lahan subur, sehingga sekiranya tidak disirami hujan lebat pun masih menghasilkan sekalipun dengan sedikit embun. Pada ayat 266, sebaliknya gambaran infak yang disertai riya` akan menghanguskan nilai sedekah sebagaimana kebun yang ditiup angin panas (mengandung api), lalu membakar habis kebun tersebut (sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya).

Pada ayat 267, perintah Allah kepada orang yang beriman untuk menafkahkan yang baik dari sebagian hasil usaha (produktifitas manusia), juga sebagian dari hasil bumi yang dikelola olehnya. Juga larangan Allah kepada orang yang beriman untuk menginfakkan yang buruk (yang memberikannya saja merasa jijik kepada apa yang akan diberikan kepada orang lain). Ayat di atas diakhiri dengan pernyataan bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji, untuk menggambarkan bahwa Allah tidak membutuhkan pemberian orang-orang yang sengaja hanya membuang sesuatu yang sudah tidak bermanfaat lagi (sampah). Pada ayat 268 setan digambarkan sebagai kekuatan yang mendorong seseorang melakukan hal di atas, yaitu dengan menakut-nakuti kefakiran jika seseorang harus memberikan hartanya kepada yang lain, sehingga perintahnya berbalik arah dengan perintah Allah yaitu untuk menahan hartanya (pelit), dan sekiranya terpaksa memberi, maka cukup dikeluarkan yang sudah menjadi sampah.

Pada ayat 269 gambaran ulul al-bab sebagai sosok yang bijak dalam menimbang bimbingan Allah dan tipu daya setan, antar berinfak ataukah kikir, memberi yang baik (menggembirakan) atau memberikan sampah (menzalimi). Pada ayat 270 Allah menegaskan bahwa Allah Maha Mengetahui (apa yang terlahir maupun yang disembunyikan). Berdasarkan ayat di atas, maka pada ayat 271 Allah tidak mempermasalahkan orang yang menampakkan infaknya (boleh jadi untuk memberikan pelajaran, sementara niat dalam hatinya ada riya` atau tidak, Allah Maha Mengetahui), sekalipun jika ia sembunyikan terlebih diberikan kepada yang faqir, maka hal itu lebih baik. Pada ayat ini pula Allah janjikan ampunan terhadap sebagian kesalahan orang yang mau menafkahkan hartanya secara teliti.

Pada ayat 272, tugas Nabi, demikian juga tugas kita (sebagai penerusnya) hanya mengajak, sementara orang yang kita ajak terbuka hatinya ataukah tetap tertutup ada pada otoritas Allah, yang terpenting semua upaya seseorang untuk menafkahkan sebagian hartanya tiada lain untuk kebaikan dirinya, setidaknya Allah janjikan bagi mereka yang telah berusaha menginfakkan hartanya akan diberikan gantinya dan tidak akan dizalimi sedikitpun (tidak akan rugi). Pada ayat 273, infak itu dapat diberikan kepada orang-orang fakir yang kita kenali tanda-tandanya sekalipun tidak meminta-minta (sehingga orang lain menganggapnya telah berkecukupan). Pada ayat 274, Allah menyakinkan kembali janji-Nya terhadap orang-orang yang mau menginfakkan sebagian hartanya setiap saat, terang-terangan maupun tersembunyi, secara yakin dan optimis (tidak khawatir, takut ataupun bersedih hati)

Berdasarkan catatan dari ayat-ayat di atas, tampak bahwa perbincangan ayat berikutnya (tentang riba) akan terasa kesesuaian maknanya. Hal ini dapat dilihat dari inti bersedekah yakni memberi tetapi tidak mengharap keuntungan dari orang yang diberi, membantu orang fakir yang membutuhkan pertolongan dengan tulus. Berbeda dengan praktik riba saat itu memberi tetapi mengharap keuntungan dari orang yang diberi, memperdaya orang fakir dengan memeras dan memanfaatkannya (eksploitasi). Dengan demikian praktik riba jauh dari misi Islam yang rahmah (menebar kasih sayang) bagi seluruh alam semesta (Q.S. al-Anbiya’ (21): 107).

Secara khusus, pelarangan praktek riba yang berkembang di masa Jahiliyah tersebut digambarkan dalam ayat 275. Tentang makna riba, Majelis Tarjih dan Tajdid dalam fatwa nomor 08 tahun 2006 menukil beberapa pendapat para ulama. Di antaranya Al-Jasshash menerangkan bahwa riba adalah meminjamkan uang dirham dan dinar untuk jangka waktu tertentu dengan tambahan atas jumlah yang dipinjam sesuai kesepakatan mereka. Al-Razi dalam Tafsir Al-Kabir menjelaskan bahwa riba adalah mengambil sejumlah imbalan tertentu setiap bulan, sementara pokok modal tetap, kemudian apabila hutang itu telah jatuh tempo mereka menagih debitur untuk mengembalikan modal tadi, dan apabila ia tidak dapat mengembalikannya, mereka memberi tambahan sebagai imbalan penangguhan. 

Perbedaan sedekah dan riba terlihat jelas pada uraian di atas. Sedekah merupakan bantuan finansial seseorang kepada orang lain dengan ikhlas, sedangkan riba memiliki kesamaan dalam hal finansial seseorang kepada orang lain dengan ikhlas, sedangkan riba memiliki kesamaan dalam hal bantuan finansial namun ada imbalan yang harus diberikan oleh orang yang dibantu untuk orang yang membantu. Imbalan ini bersifat memaksa dan tidak mempedulikan situasi dan kondisi orang yang diberi bantuan. 

Kata ya`kulun (يَأْكُلُوْنَ) yang terdapat pada ayat 275, secara bahasa berarti “makan” yang kerap diartikan secara sempit dengan makna memasukkan sesuatu ke dalam mulut. Dalam perkembangannya, kata makan di sini juga bermakna “mendayagunakan atau mengambil manfaat”. Pola kata ya`kulun dalam bentuk mudhari’ (kata kerja yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan terjadi pada waktu sekarang atau yang akan datang) mengandung arti bahwa mereka begitu menikmati keuntungan yang diperoleh dari upaya eksploitasi tersebut. Al-Quran menggambarkan mereka sebagai orang yang mabuk berat (tidak sadar) bahwa kenikmatannya tumbuh dari penderitaan orang lain sebagaimana lanjutan ayat ini, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila.” Kondisi yang demikian itu (kondisi mabuk berat) ditandai dengan pernyataan mereka yang ngawur (tidak terkontrol), karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. 

Mereka berpikir bahwa mengambil keuntungan dari riba sama dengan mengambil keuntungan dalam jual beli, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Quraish Shihab menggambarkan bahwa terdapat substansi yang berbeda di antara keduanya. Jual beli merupakan transaksi yang menguntungkan kedua belah pihak, sedangkan riba merugikan salah satu pihak. Keuntungan jual beli diperoleh melalui kerja, sementara riba tidak melalui kerja. Jual beli menuntut aktivitas manusia, sementara riba tanpa aktivitas manusia. Di dalam jual beli terdapat kemungkinan untung rugi disebabkan kecakapan pengelola, kondisi, juga situasi pasar, sementara dalam riba menjamin keuntungan bagi peminjamnya, dalam jual beli membutuhkan kepandaian berdagang, sementara riba tidak (M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Vol. 1, hlm. 275). Bersambung.

Tafsir Tahliliy ini disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah dengan naskah awal disusun oleh Dr. H. Ahmad Hasan Asy’ari Ulamai, M.Ag.

Majalah SM Edisi 2 Tahun 2020

Selengkapnya Tafsir At Tanwir Jilid 2 di Toko Suara Muhammadiyah


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Khazanah

Arabic Stories for Language Learners: Kumpulan Cerita Seru untuk Belajar Bahasa Arab (dan Terta....

Suara Muhammadiyah

3 January 2025

Khazanah

Abdul Kahar Muzakkir dan Diplomasi Muhammadiyah untuk Palestina  Oleh: Mu’arif Pada tah....

Suara Muhammadiyah

20 October 2023

Khazanah

Teknologi Yang Mengubah Cara Orang Naik Haji Oleh: Azhar Rasyid, Penilik sejarah Islam Cepatnya pe....

Suara Muhammadiyah

18 April 2024

Khazanah

Bani Israil dalam Al-Qur'an Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Si....

Suara Muhammadiyah

27 December 2023

Khazanah

Al-Hadits: Cahaya Petunjuk dari Relung Nabi Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Univers....

Suara Muhammadiyah

15 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah