Bangunan masjid itu nampak paling megah di antara bangunan- bangunan rumah di sekitarnya. Apalagi terletak di posisi paling barat dan di depannya merupakan hamparan sawah. Cat hijau muda pada tembok masjid itu menambah segar dan menarik bagi orang-orang yang melintas di jalan raya maupun penduduk kampung sekitarnya.
Alhamdulillah, jum’at sore kemarin saya sempat shalat ashar di situ, sepulang dari belanja kebutuhan di kota. Senang sekali melihat anak-anak riang bermain bersama, sebelum melaksanakan pengajian belajar iqro.
“Pengajian ini tiap hari mas ? “, tanyaku pada salah satu ustad. “Sekarang seminggu 2 kali. Tapi sebelum pandemi di sini dilaksanakan 6 kali.”, jawaban mas Burhani, koordinator ustad” “Berapa jumlah santri mas?”, tanyaku lagi.
“Kalau masuk semua 39 pak.”. Tapi ini baru sekitar 20an, karena kami sedang mulai lagi”, jelas mas Burhani.
Melihat tunas-tunas yang tumbuh ini bagi saya melihat masa depan. Sekalipun saya juga tahu problematika relokasi. Warga yang semula tidak satu lingkungan tapi meliputi beberapa dusun dan juga adanya perbedaan kondisi sosial - ekonomi - pendidikan.
“Masjid itu ya hanya tempat ibadah dan hal-hal yang terkait”, begitu penekanan pak Widodo, sebagai ketua takmir.
“Karena itu program anak-anak muda yang di luar kegiatan ibadah ya tidak boleh dilaksanakan”, sambungnya.
Rapat takmir di awal bulan, sekaligus awal tahun ini menjadi panas, karena mendapat respon dari generasi muda yang terlanjur membuat program dan jadwal kegiatan.
“Tidak setuju pak Wid”, kata Dedi
“Kita harus menampung aspirasi generasi muda sambungnya. “Pokoknya masjid hanya sebagai tempat ibadah dan hal-hal yang berbau agama”, prinsip pak Widodo dengan nada yang semakin bergetar.
“Mohon waktu pak Wid, sela mas Burhani koordinator anak-anak muda di masjid itu”.
“Begini pak, mengingat masjid kita ini masih baru, maka kami ingin mengikuti kursus Manajemen Masjid. Hal tersebut kami maksudkan agar semua aktifitas di masjid ini bisa tertata dan teradministrasikan dengan semestinya”, jelas Burhani dengan nada pelan.
“Berarti itu urusan masjid?” tanya pak Widodo. “Iya pak”, sahut Burhani
“Kalau seperti itu, ya boleh-boleh saja”, tanggapan pak Wid.
Langsung anak-anak muda saling memandang antara satu dengan lainnya sambil tersenyum lega.
Adanya perbedaan pandangan antara generasi tua dan generasi muda mendorong saya untuk bertanya pada warga diluar relokasi.
“Jamaahnya di masjid itu mbak?”, pertanyaan saya pada Fatimah, saat saya bertamu di rumahnya.
“Iya, dulu.” Jawab Fatimah “Sekarang?”, tanya saya lebih lanjut.
“Sekarang saya jamaah di mushola dekat rumah.”
“Disana banyak masalah pak”, sambung Fatimah
“Masak?”, saya balik bertanya.
“Ya banyak hal. Diantaranya gap pemikiran antara generasi tua dan muda, soal nama masjid saja dipertentangkan, sampai mengalahkan hal- hal besar yang mestinya lebih utama.
Akhirnya gak ada papan nama. Dan kemudian dikenal menjadi masjid Relokasi”, jelas Fatimah.
“Oh begitu to?”
Tiba-tiba terdengar suara adzan. Pembicaraan terpotong dan saya mohon pamit. Sekalipun pertemuan itu singkat, tapi dapat saya simpulkan bahwa benar adanya masjid relokasi ini bermasalah mungkin pihak luar, pihak netral bisa memberi pencerahan untuk semuanya.
Bagaimanapun situasi jamaah di masjid relokasi ini, tapi saya sangat suka dengan arsitektur dan penataan lingkungan di sekitarnya. Maka begitu gerimis turun saya manfaatkan untuk ikut berjamaah shalat maghrib di situ. Motor saya parkir di paling tepi, karena memang motor dan sepeda sudah penuh di situ.
Segera saya ambil air wudhu dan menyusul ke dalam masjid. Ternyata saya kebagian shaf ketiga. Langsung saya shalat sunat takhiyatul masjid, begitu selesai imam sudah berdiri untuk melaksanakan shalat maghrib.
Saat rakaat kedua hujan tambah deras disertai angin. Mungkin tidak hanya saya yang shalatnya tidak khusyuk, karena was-was. Setelah imam mengucap salam saya pun ikut berdzikir, sembari ingat jaket di motor pasti basah kuyub.
Semua jamaah kemudian berkumpul di serambi, karena hujan masih deras, tidak bisa pulang. Tanpa dikomando semua ngobrol sekenanya dan spontan.
“Pak Wid, ini enaknya beli bakso saja”, kata Dedi, yang duduknya dekat pintu, lantaran melihat tukang bakso. Dedi memang suka memancing keadaan.
“Pakai uangmu ya!”, sambung Pak Widodo dengan nada yang agak tegang.
“Kan dana infaq banyak pak. Masak berjuta-juta disimpan di bank”, Dedi yang semula slengekan malah jadi serius.
“Infaq itu kekayaan masjid, sewaktu-waktu digunakan untuk keperluan dan pembangunan masjid. Nggak boleh untuk keperluan yang lain!”, Pak Widodo makin naik suaranya.
Respon Pak Widodo itu banyak diiyakan oleh orang-orang tua. Tapi bagi golongan muda sangat disayangkan. Karena keberlangsungan jamaah dan syiar harus diperhitungkan juga. Kesejahteraan jamaah, perlengkapan TPA, stimulan untuk ustadz, atau bahkan takmir yang memerlukan.
“Ck ... ck ... ck ..., daaaaarrrrrrrr”, listrik tiba-tiba padam, semua orang kaget dan panik, gara-gara ada cicak yang berkejaran, mungkin mengenai kabel yang lecet dan terjadilah konsleting listrik. Keadaan menjadi gelap dan tanpa suara. Hanya sesekali kilat meneranginya.