Cerita-cerita yang Minta Ditulis
Cerpen Indrian Koto
Ia ingin menulis cerita. Menulis banyak cerita. Banyak hal yang kadang muncul di kepalanya, berebut tempat hingga sebagian hanya muncul sekejap lalu menghilang. Kadangkala imajinasi itu hanya sekadar mengganggunya, tenggelam begitu saja ketika dia mulai berniat menuliskannya. Ia sudah mencoba menuliskan beberapa ide di buku catatan. Sebagian dibiarkan di kepala, sebagian yang lain sudah utuh dalam angan-angannya. Setelah berminggu-minggu ia tenggelam dengan banyak ide, dengan banyak peristiwa tetap saja tak satu pun yang bisa ia tuangkan ke dalam sebuah tulisan.
Pikiran mungkin sering rakus, setidaknya itulah yang sering dia hadapi. Ketika berencana menuliskan cerita A yang sudah berontak di kepalanya, tiba-tiba muncul ide B yang terasa begitu baru, terasa begitu hangat. Kisah-kisah yang muncul sejenak ini kadangkala sempat dicatat dan diingat tetapi sering lewat begitu saja. Meski demikian kertasnya tetap saja kosong meski sudah berjam-jam ia duduk di depan komputer, berbungkus rokok tandas di asbak, bergelas kopi sudah ia minum. Tetap saja, kisah-kisah hanya bertengger di kepalanya, tapi tak pernah bisa ia tuliskan.
“Terlalu banyak ide, terlalu banyak...” keluhnya pada seorang teman.
“Beruntunglah kau. Aku sudah berbulan-bulan tak menemukan ide apa pun untuk kutulis,” tukas sang kawan sambil melirik bungkus rokoknya.
“Itulah masalahnya. Karena banyak aku tak bisa menulis apa pun.”
“Kukira kau mesti memilih mana yang bagus untuk ditulis, mana yang sedang menarik untuk diceritakan. Penulis seperti kita kan kadang-kadang mesti berdamai dengan keadaan. Belum lagi soal nama kita yang tenggelam di antara ratusan nama-nama besar,” kata sang teman setengah emosi sambil mencomot sebatang rokok.
“Aku hanya ingin menuliskan beberapa ide cerita yang hidup di kepalaku ini,” desisnya.
“Aku tak hirau akan koran-koran itu. Hanya menulis cerita. Aku ingin menulis sesuatu yang membuat mereka bersegera membaca dan berharap hari minggu segera datang agar ceritaku segera dibaca banyak orang...”
Bermalam-malam ia tak bisa tidur. Dibacainya buku-buku, diulang-ulang cerita yang menurutnya menarik. Sesekali ia sibuk menulis catatan di buku yang disiapkan. Berkali-kali pula ia gagal menulis sebuah cerita. Jika bisa ia ingin menulis banyak cerita yang berdiam lama di kepalanya, juga peristiwa-peristiwa yang melintas begitu saja. Ia ingin menangkap dan cepat-cepat menuliskan. Di kalimat pertama ia tercekat. Setan itu buku panduan menulis, makinya dalam hati.
Ia membuka-buka catatannya, tentang apa-apa saja yang ingin ditulis. Dibuka pula ingatannya, tempat semua ide timbul-tenggalam di sana. Apa yang ingin ditulis ya? Yang mana dulu?
Kadangkala ia berjam-jam berada di komputer. Membuka media sosial, membaca-baca status dan komentar orang-orang yang tak sepenuhnya dia kenal. Sambil mencari-cari bahan untuk ditulis juga, membaca berita-berita hari ini.
Warung rokok terdekat terletak 200 meter dari tempat tinggalnya. Untuk mencapainya ia mesti melewati warung makan, warmindo, penjual pulsa, kos-kosan, penjual soto, pedagang bakso, penjual mie ayam dan beberapa kedai lainnya. Di samping kedai rokok ia terhenyak. Ibu penjual nasi itu... Mereka bertatapan. Ia segera menunduk dan masuk ke dalam warung. Di dalam ia melamun. Sudah lama ia ingin menulis sebuah cerita yang berhubungan dengan perempuan separuh baya bertubuh tambun yang sabar menunggu pembeli.
Perempuan penjual nasi sayur itu selalu mengingatkannya pada ibunya di kampung. Perempuan itu jauh lebih muda dari ibunya, tapi hidup membuatnya tampak lebih tua dari usianya. Dia ingin menulis tentang warung kecil tanpa meja kursi itu dan penjualnya. Hal itu sudah terbersit di ingatannya sejak bulan puasa tahun kemarin. Setiap Subuh ia melihat perempuan itu melamun di depan kedai makannya yang sepi dan nyaris tanpa pelanggan. Sementara warung lain di kanan kirinya sibuk melayani pembeli.
Tapi harus memulai dari mana?
Di kamar ia kembali melamun. Apa yang hendak ditulis sebenarnya? Tentang percintaan yang berakhir bahagia? Narasi-narasi melankolis tentang hidup dan masa depan yang gagal? Ia bingung, benar-benar bingung. Komputer menyala dengan halaman kosong. Ia ingin menulis tentang pembunuh, pemerkosa atau seseorang yang dihukum mati. Tapi rasanya ruang-ruang semacam itu sudah menjadi santapan orang sepanjang hari. Tak hanya membacanya tapi juga menonton kejadian-kejadian itu di televisi.
Pedagang nasi tadi kembali menghantui pikirannya. Sebuah kisah kecil yang dia harapkan memiliki amanat yang besar. Tapi ini lain, ia ingin ceritanya tidak memberikan jalan keluar bagi tokoh utamanya. Dan cerita berantai yang berujung pada kematian tokoh utama itu, menggantung di baris pertama word komputernya.
Ah, ya, dia juga sedang berencana menulis kematian-kematian kecil. Dia ingin menuliskan semacam catatan ringkas tentang orang-orang yang mati di sekitarnya. Kematian yang tak sempat ia saksikan dan sebagian tak pula ia hantarkan. Kematian yang membuat dirinya begitu kehilangan. Atau kisah pembunuhan yang melibatkan pejabat negara rasanya sangat bagus untuk ditulis. Uh, menghubung-hubungkan peristiwa itu terasa betapa canggih.
Canggih? Ya, ya, dia juga ingin menulis sebuah kisah tentang masa depan. Tentang ramalan-ramalan yang mendekati kebenaran. Lalu cerita-cerita itu diberi makna-makna filsafati yang intinya mengajak manusia untuk berdamai, saling mencinta dan menjaga lingkungan dan kemanusiaan. Bagaimana kalau soal agresi yang membunuh banyak perempuan dan anak-anak dan dunia bertarung atas duka-cita itu. Itu cerita yang mengharukan, tentang bagaimana perang tidak hanya menghancurkan banyak keluarga tapi juga memisahkan mereka yang masih hidup. Akan memakai sudut pandang apa melihat pembantaian manusia ini? Sementara setiap orang sepanjang waktu selalu mendapat update dari pembantaian terbesar di abad ini.
Mungkin ia akan menulis soal-soal misteri yang sempat terungkap tetapi menjadi perhatian orang banyak, misalnya tentang UFO, sebagian pembaca tentu akan berpikir betapa kerennya dia dengan referensi yang bisa dia dapatkan dengan mencarinya di google saja. Tapi bagaimana dia harus menulisnya? Hmm, mungkin dari sudut pandang seorang presiden.
Ngomong-ngomong soal presiden kenapa tak menulis soal pemilu saja, misalnya, mumpung lagi hangat? Ia menepuk jidatnya. Bodoh sekali. Ini akan menjadi cerita hangat dan menarik. Tentang partai yang suaranya terpecah, keputusan MK, dinasti politik, calon yang berkali gagal, atau soal petugas partai. Ah, betapa banyak yang bisa ditulis soal politik ini, menjadi cerita yang hangat dan lahir di saat yang tepat.
Kadangkala ia berpikir menulis kisah-kisah sederhana yang bertolak dari dirinya atau kawan-kawannya. Tentang mahasiswa yang kehabisan uang, pemuda yang menjadi pembunuh karena cintanya ditolak, seorang gadis yang gelisah karena masih perawan, mahasiswa yang tak berani pulang kampung dan berterus terang soal kuliahnya yang sudah lama gagal.
Ah itu semua baginya jadi terkesan monoton. Harus yang baru, begitu menurutnya.
Begitulah kenyataannya. Ide-ide tetap menggantung di kepalanya. Tak satu pun yang mampu ia tuliskan. Kepada kawan-kawannya ia selalu berkoar akan menulis sebuah cerita bagus dan baru. Saat-saat menonton TV atau membaca koran ia mengernyit, “...Nah, nah, itu yang akan saya tulis dalam cerita saya nanti. Persis!”
Hiburan semacam itulah satu-satunya yang bisa ia lakukan saat ini. Sebab tak satu pun kisah mampu ia tuliskan. Tak satu pun cerita yang bisa ia karang. Ia menghadapi dunia yang lebih dari sekadar fiksi.•


