Maulid dan Transformasi Profetik: Agenda Indonesia Beradab

Publish

4 September 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
73
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Maulid dan Transformasi Profetik: Agenda Indonesia Beradab

Abdur Rauf Labib Ramdhany, M.Si, Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Jakarta

Apa jadinya bila kelahiran seorang manusia justru mengguncang tatanan sosial, mengubah bangsa dari jahiliyah (era tanpa etika publik dan rapuhnya kemanusiaan) menuju beradab? Dalam perspektif Karl Jaspers, kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 12 Rabiul Awal—yang tahun ini bertepatan dengan 5 September 2025—dapat dibaca sebagai bagian dari gelombang Axial Age: momen-momen sejarah di mana nilai kemanusiaan ditata ulang secara radikal. Secara akademis, transformasi ini terbukti melalui perubahan struktur nilai, institusi, dan praktik sosial dalam kurun dua dekade kenabian: dari hegemoni kesukuan, praktik ekonomi eksploitatif, serta lemahnya standar etik publik, menuju keteraturan hukum, keadilan distributif, dan kohesi sosial yang berlandaskan akhlak.

Narasi ini berangkat dari deskripsi kondisi pra-Islam. Jazirah Arab pra-kenabian merepresentasikan masyarakat dengan fragmentasi tinggi: patronase suku mengatur distribusi kekuasaan, balas dendam menjadi mekanisme “keadilan”, status perempuan termarginalkan, serta perbudakan dan riba menstrukturkan ekonomi. Ketiadaan kerangka etika publik yang menyatukan—di luar loyalitas segmenter—mengekalkan anomi sosial. Dengan konteks demikian, kerasulan Nabi berfungsi sebagai peristiwa korektif yang menormalisasi standar etika dan hukum lintas-suku, menutup celah manipulasi, dan menegakkan martabat manusia.

Strategi transformasi Nabi bersifat bertahap, sistemik, dan berjangkar pada pendidikan akhlak. Tahap pertama ialah rekonstruksi karakter individual dan kolektif. Akhlak—jujur, amanah, empati, tanggung jawab sosial—ditanamkan sebagai prasyarat perubahan struktural. Orientasi ini bukan moralistik semata, melainkan desain sosial: membentuk modal etika agar norma publik mampu ditegakkan tanpa kontradiksi dengan habitus masyarakat. Rumah tangga, majelis kecil, dan komunitas menjadi ruang internalisasi, sehingga perubahan tak berhenti pada retorika, melainkan menjadi kebiasaan sosial.

Tahap kedua menyasar institusionalisasi nilai melalui kontrak sosial. Piagam Madinah menjadi preseden konstitusional yang mengikat kelompok berbeda agama dan etnis dalam satu entitas politik. Di sini, prinsip-prinsip persamaan di hadapan hukum, kebebasan beragama, musyawarah, dan keadilan diberi bentuk operasional. Dengan memindahkan sumber legitimasi dari loyalitas suku ke norma konstitusional, Nabi memutus siklus kekerasan antar-kelompok dan menggeser orientasi politik dari dominasi ke kolaborasi. Madinah, demikian, tampil sebagai prototipe masyarakat madani: plural, berperaturan, dan produktif.

Tahap ketiga ialah reformasi ekonomi. Dengan mendirikan pasar yang bebas dari monopoli dan manipulasi harga, menegakkan etika muamalah, mengharamkan praktik riba, dan menginstitusikan zakat sebagai instrumen redistribusi, Nabi mengoreksi struktur ekonomi yang sebelumnya bertumpu pada eksklusi dan rente. Reformasi ini menaikkan taraf kepercayaan sosial (social trust), menurunkan insentif korupsi, dan memperluas partisipasi ekonomi. Etika niaga bukan sekadar norma privat, tetapi arsitektur pasar yang melindungi pelaku lemah dan mengikat pelaku kuat pada tanggung jawab publik.

Tahap keempat adalah penegakan hukum yang konsisten. Prinsip equality before the law ditegakkan, termasuk dalam perkara penyalahgunaan amanah. Keteladanan kepemimpinan—transparansi, akuntabilitas, dan keberanian mengambil sikap—membentuk kultur anti-impunitas. Sinyal tegas terhadap konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang memutus normalisasi praktik manipulatif. Dalam perspektif sosiologi hukum Durkheim, konsistensi sanksi dan kepemimpinan teladan adalah dua variabel kunci yang menaikkan biaya moral dan sosial bagi penyimpangan.

Dari empat poros intervensi—karakter, konstitusi sosial, ekonomi berkeadilan, dan hukum—lahirlah masyarakat beradab yang menyeimbangkan spiritualitas, etika publik, dan efektivitas kelembagaan. Transformasi ini bukan kebetulan historis, melainkan hasil desain profetik yang koheren.

Relevansinya bagi Indonesia bersifat langsung. Sebagai negara-bangsa dengan mayoritas Muslim dan kemajemukan tinggi, Indonesia memiliki modal sosial untuk mereplikasi prinsip-prinsip profetik dalam bingkai konstitusi nasional. Penerjemahan praktisnya dapat dirumuskan pada tiga lingkup: pejabat publik, institusi, dan keluarga.

Pertama, bagi pejabat publik, Maulid menandai komitmen etik terhadap kejujuran, anti-korupsi, dan pelayanan. Mekanisme deklarasi konflik kepentingan, transparansi aset, dan budaya akuntabilitas kinerja harus dipandang sebagai ibadah sosial. Model kepemimpinan Nabi—integritas sebagai otoritas—menjadi standar: kewibawaan lahir bukan dari kuasa, melainkan dari keteladanan.

Kedua, pada aras institusi, pembenahan tata kelola perlu meniru logika Piagam Madinah: inklusif, deliberatif, dan berbasis aturan. Penegakan hukum yang non-diskriminatif, partisipasi warga dalam pengambilan keputusan, dan jaminan kebebasan berkeyakinan memperkuat kohesi sosial. Dalam praktik, ini berarti memperluas kanal musyawarah publik, memperkuat lembaga pengawas, dan memastikan hukum bekerja tanpa pandang bulu.

Ketiga, pada lingkup keluarga, pendidikan karakter harus diposisikan sebagai kurikulum hidup: membiasakan kejujuran, adab diskusi, disiplin, dan empati. Keluarga menjadi produsen nilai; sekolah menguatkan; ruang publik mengamplifikasi. Dengan ekologi nilai yang serasi, perilaku etis tidak lagi kontrak sosial semata, tetapi kebutuhan identitas.

Selain tiga lingkup, ekonomi keumatan harus dimajukan melalui tata kelola pasar yang adil. Perlindungan UMKM, akses pembiayaan syariah yang inklusif, serta penguatan filantropi sosial (zakat, infak, wakaf) akan memperkecil ketimpangan dan menekan insentif perilaku predatoris. Pasar yang etis bukan hambatan pertumbuhan, melainkan fondasi pertumbuhan yang berkelanjutan.

Maulid, dengan demikian, bukan perayaan retrospektif, tetapi ajakan prospektif. Ia menggeser perhatian dari glorifikasi masa lalu ke replikasi metodologi perbaikan: memulai dari diri, menyehatkan keluarga, menata institusi, dan memurnikan pasar. Jika Makkah dan Madinah menjadi kota-kota beradab karena keberanian menata nilai, hukum, dan ekonomi secara serentak, maka Indonesia pun dapat mengakselerasi peradaban dengan resep yang sama—diterjemahkan dalam konteks konstitusi, Pancasila, dan kemajemukan Nusantara.

Pada akhirnya, narasi deskriptif ini menegaskan: kelahiran Nabi adalah episentrum perubahan yang menyeimbangkan wahyu dan rasionalitas sosial. Dengan meneladani metodologi profetik—pendidikan akhlak, konstitusionalisme inklusif, ekonomi berkeadilan, dan penegakan hukum berintegritas—Indonesia dapat bergerak dari wacana menuju praksis, dari harapan menuju institusi, dari ritus menuju peradaban. Maulid 2025 menjadi momentum memperbarui kontrak moral kita: menjadikan akhlak sebagai infrastruktur kemajuan, dan kemajuan sebagai ekspresi akhlak.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Menakar Manfaat Rakernas APSI PTMA 2025 dan Strategi Masa Depan Oleh: Rusydi Umar, S.T. M.T., Ph.D.....

Suara Muhammadiyah

13 February 2025

Wawasan

Menyingkap Misteri Yesus dalam Islam Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas An....

Suara Muhammadiyah

10 January 2025

Wawasan

Taurat dan Injil Dalam Al-Qur`an Oleh: Donny Syofyan: Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andala....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

Matras Pencak Silat Terlalu Sempit untuk Tapak Suci Yudha Kurniawan, Kader Tapak Suci Bantul Pende....

Suara Muhammadiyah

28 December 2023

Wawasan

Berjuang dan Menang Oleh: Hendra Apriyadi Tanggal 24 Januari 2025 menjadi momen yang istimewa dala....

Suara Muhammadiyah

27 January 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah