Memahami Al-Qur`an Tidak Serta Merta Harfiah
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Al-Qur`an tidak selalu harus dimaknai secara harfiah. Artinya tidak semua ayat dalam Al-Qur`an harus dipahami secara harafiah atau literal. Mari kita lihat beberapa contoh di mana Al-Qur`an secara jelas tidak bermaksud untuk diartikan secara literal.
Surah Al-Maidah ayat 3 berbicara tentang perintah dan peraturan haji. Ketika Anda melaksanakan haji, Anda memasuki keadaan ihram. Anda tidak memakai pakaian seperti pakaian sehari-hari, tetapi pakaian yang dibuat bukan mengikuti bentuk tubuh manusia, baik pria maupun wanita yang sedang dalam keadaan suci. Pria mengenakan pakaian khusus. Wanita boleh mengenakan pakaian secara umum, tetapi karena sedang dalam keadaan suci di mana beberapa hal yang biasanya dibolehkan sekarang dilarang. Ini adalah keadaan ihram.
Kebalikan dari keadaan ihram adalah ketika Anda berada dalam keadaan halal. Jadi ihram berkaitan dengan haram. Al-Qur`an pada dasarnya mengatakan ketika Anda telah memasuki keadaan yang diperbolehkan ini, maka berburu lah (QS 5: 2). Nah, istilah fasthaaduu (فَٱصْطَادُوا۟ ۚ) dalam bentuk perintah. Jadi ini adalah perintah dalam bahasa Arab, yang artinya pergilah dan berburu. Allah memerintahkan Anda untuk pergi berburu.
Tapi semua orang sadar dan setuju bahwa itu bukan bagian dari haji. Begitu Anda melepas stasi ihram, Anda tidak harus pergi berburu. Faktanya, ada aturan khusus di mana kaum laki-laki akan mencukur rambut mereka, perempuan akan memotong sedikit rambut mereka, dan sekarang mereka berada di luar ihram. Tetapi tidak ada yang mengatakan mereka harus pergi berburu. Semua orang mengerti bahwa Anda sekarang diperbolehkan. Sebelumnya ketika Anda berada dalam keadaan ihram, Anda tidak diizinkan berburu. Tetapi sekarang setelah Anda berada di luar keadaan ihram, Anda diizinkan untuk pergi berburu.
Al-Qur`an pada dasarnya menggunakan bentuk perintah untuk mengatakan, “pergilah dan berburu.” Tapi yang hilang di sini adalah lanjutannya untuk mengatakan, “jika Anda mau.” Pada dasarnya Al-Qur`an sangat ringkas dengan bahasanya dan mengatakan “Pergilah berburu jika Anda mau.” Tetapi kata “jika Anda mau” tidak disebutkan. Kita akan menemukan banyak contoh dalam Al-Qur`an di mana banyak hal tidak dimaksudkan untuk diartikan secara literal.
Surat Al Jum'ah, yang familiar bagi kebanyakan Muslim, adalah surat ke-62 dalam Al-Quran. Pada ayat ini dikatakan manakala adzan shalat Jumat dikumandangkan, maka tinggalkanlah perdagangan dan segeralah menuju masjid untuk mengingat Allah. Setelah shalat selesai, pergilah ke penjuru bumi dan carilah karunia Allah. Nah, ini adalah perintah untuk menyebar ke penjuru bumi.
Tetapi apakah itu berarti segera setelah shalat selesai, umat Islam harus menyebar ke penjuru bumi, segera meninggalkan masjid? Atau bisakah kita tinggal di masjid untuk alasan yang sah? Mungkin kita ada pertemuan di masjid, mungkin pengurus masjid akan mengadakan pertemuan di sana. Mungkin juga ada kegiatan sosial lainnya di masjid. Bagaimana jika seseorang sedang melakukan i'tikaf di masjid, yang biasa dilaksanakan pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan? Apakah itu berarti i'tikaf pada saat ini dilarang di masjid karena Allah secara harfiah mengatakan Anda harus pergi keluar?
Ini memang bentuk perintah lagi (فَٱنتَشِرُوا۟), tapi lagi-lagi kita kita tidak boleh memahaminya secara literal. Kita bisa pergi menyebar ke penjuru bumi jika kita mau. Bahkan, orang mungkin bisa mengatakan ini sebagai dorongan. Ada etos kerja yang baik di sini. Allah mendorong kita untuk pergi keluar dan bekerja serta melakukan lebih banyak bisnis dan mencari nafkah untuk diri kita sendiri agar kita tidak bergantung pada sedekah. Tetapi bentuk perintah tersebut boleh jadi memberi kesan bahwa ia adalah perintah, tetapi kita semua tahu itu bukan perintah.
Kita bisa menemukan pelbagai contoh, yang sebetulnya menunjukkan kelirunya orang-orang yang selalu memahami Al-Qur`an secara literal, di setiap waktu dan dalam semua kasus. Surat An-Nur ayat ke-3 berbicara tentang orang-orang yang berzina. Di sana disebutkan bahwa laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan perempuan pezina atau dengan penyembah berhala seperti pemuja banyak tuhan. Demikian pula dengan perempuan pezina.
Bagaimana kita memahaminya? Misalkan seorang Muslim berzina, dan itu bisa terjadi pada siapa saja. Itu berarti orang ini secara literal tidak bisa menikah dengan Muslim yang baik lainnya. Orang ini hanya bisa menikah dengan pezina lainnya. Jadi, kita harus mencari para pezina lainnya dan kita harus melabeli mereka. Dan kita harus tahu siapa yang berzina, siapa yang melakukan zina dan siapa yang tidak. Supaya kita bisa menikahkan mereka bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa orang ini harus dinikahkan atau bisa dinikahkan dengan seorang penyembah berhala. Padahal ada ayat lain dalam Al-Qur`an yang mengatakan jangan menikah dengan orang musyrik. Kita bisa melihat alasan yang baik untuk itu karena jika seorang Muslim menikah dengan musyrik, maka secara alami kedua orang tersebut akan bersatu dalam keluarga. Praktik dan kepercayaan dan sebagainya akan mulai tercampur dan anak-anak tidak akan tahu apa yang harus diikuti, apakah agama ayah atau bukan agama ibunya.
Ketika membaca tafsir Al-Qur`an, kita bisa melihat bagaimana ulama klasik tidak memahami ayat ini secara literal. Ini hanya dimaksudkan untuk menunjukkan kepada kita kengerian seseorang yang melakukan zina. Tindakan ini tidak bisa diterima. Ini sangat buruk sehingga kita bahkan tidak ingin menikahkan mereka di kalangan umat Islam atau masyarakat Muslim.
Pada akhirnya masyarakat Muslim menikahkan mereka dalam masyarakat Muslim karena umat ingin pelaku zina ini berubah. Cara terbaik untuk membuat mereka berubah bukanlah dengan menikahkan mereka dengan sesama pezina yang lain sehingga mereka terus berzina meskipun sudah menikah. Tapi umat menikahkan mereka dengan orang-orang baik agar orang baik itu bisa membantunya menjadi Muslim yang baik. Mereka yang suka sekali mengambil sesuatu secara literal, tetapi makna literal menjadi runtuh pada ayat seperti ini.
Kita bisa lihat satu contoh lagi. Ini tentang menuliskan kontrak, ditemukan dalam surah Al Baqarah ayat 282. Ini adalah ayat terpanjang di dalam Al-Qur`an. Ayat ini berbicara tentang pinjaman dan mengatakan bahwa ketika Anda membuat perjanjian pinjaman antara dua orang, maka Anda harus menuliskannya dan banyak perincian ketika menuliskannya. Tetapi perintah untuk menuliskannya ada dalam bentuk perintah.
Secara harfiah orang bisa saja berkata ini berarti Anda harus menuliskannya, tetapi apakah itu benar-benar bermakna Anda tidak dapat memiliki perjanjian pinjaman tanpa menuliskannya? Nyatanya tidak. Seorang mufasir bernama Al-Qurthubi, seorang ulama besar dari Abad Pertengahan, mengatakan bahwa ayat ini adalah anjuran, bukan perintah. Lalu bagaimana kita bisa memahami anjuran ini tetapi diberikan dalam bentuk perintah?
Ini seperti Anda menjamu seseorang di ruang tamu. Anda berkata kepadanya, "Minumlah teh." Istilah minum di sini menggunakan bentuk perintah. Tapi itu dimaksudkan sebagai tawaran kesopanan agar orang tersebut minum teh jika dia mau. Tentu saja jika dia tidak mau minum teh, dia akan minum kopi atau jus atau tidak minum sama sekali. Terserah padanya. Anda memintanya dengan sopan, meskipun Anda menggunakan bentuk perintah dalam bahasa tersebut.
Terkadang bentuk perintah digunakan, tetapi itu tidak dimaksudkan untuk diartikan secara literal. Dengan Al-Qur`an, kita tidak boleh selalu mengambil semuanya secara literal. Itulah kunci untuk membuka makna Al-Qur`an karena terkadang bahasa Al-Qur`an harus dipahami sebagai ungkapan idiomatik yang tidak boleh diartikan menurut arti kata-kata kamus.
Ada kalanya Al-Qur`an dimaksudkan sebagai metafora atau perumpamaan. Kadang-kadang Al-Qur`an ingin mengekspresikan pesan sinis. Ini tidak mengatakan apa yang sebenarnya dimaksud. Adakalanya kita mengatakan kebalikan dari apa yang kita maksudkan untuk membuat sesuatu supaya tersimpan kuat di benak orang. Kita harus waspada terhadap semua penggunaan ini dalam Al-Qur`an dan tidak mengambil semuanya secara literal. Jika tidak, kita bisa tersesat karena berpikir bahwa kita memahami Al-Qur`an, padahal kita salah memahaminya.