Trilogi Bagian ketiga: Suami Istri Harus Saling Mengapresiasi, Menjaga dan Melindungi
Oleh: M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag.
Terminologi pakaian, selain diungkapkan dengan lafadz libās sebagaimana yang lazim digunakan dalam bahasa keseharian, secara khusus di dalam al-Quran juga diungkapkan dengan lafadz sarābīl.
Kata Sarābīl yang disebutkan di dalam Q.S. al-Nahl [16] ayat 81 secara tekstual dinyatakan berfungsi sebagai pelindung bagi tubuh. Dan ini identik dengan fungsi pakaian secara umum, yaitu melindungi pemakainya dari terik matahari dan cuaca ekstrim lainnya [taqīkum al-harra], dan fungsi kedua melindungi tubuh dari serangan dan ancaman senjata musuh [taqīkum ba'sakum].
Sarābil yang disebut pertama di dalam ayat tersebut sangat identik dengan pakaian biasa yang terbuat dari bahan kain, sedang yang kedua identik dengan baju besi yang biasa dipergunakan sebagai pelindung tubuh pada waktu perang.
Meskipun dari sisi struktur kalimatnya menunjukan karakter pakaian yang berbeda, tetapi prinsipnya dua peran sarābīl itu juga merupakan fungsi pakaian secara umum dengan tingkat perlindungan yang berbeda sesuai dengan struktur bahannya.
Al-Zajjāj salah satu ahli tafsir mengatakan bahwa sarābīl adalah lafadz yang digunakan untuk menyatakan semua jenis pakaian baik terbuat dari bahan kain, kulit maupun besi, dan setiap jenis pakaian itu secara umum memiliki fungsi melindungi tubuh pemakainya sesuai dengan kondisi yang dialami dan situasi yang sedang dihadapi.
Dalam rangka mendapatkan manfaat yang diharapkan dari pakainnya, maka pemakai diharapkan memahamai kesesuaian bahan dengan kondisi dan situasi yang berlaku.
Lalu apa hubungan tekstualitas ayat ini dengan keharmonisan hubungan suami istri?.
Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya berkaitan dengan jangkauan makna dari hasil pembacaan terhadap ayat hunna libāsun lakum wa antum libāsun lahunna yang secara tersirat mengisyaratkan hubungan yang berkualitas antara suami istri, maka kontekstualisasi makna ayat tentang sarābīl ini dapat digunakan untuk menafsirkan ayat 187 surat al-Baqarah tentang fungsi dan peran suami istri sebagai pakaian bagi pasangannya. Sehingga dengan berpijak pada pemaknaan tersebut tidaklah berlebihan kalau dalam membangun rumah tangga yang harmonis harus juga membawa semangat fungsi sarābīl ini, yaitu dengan saling menjaga martabat dan melindungi keselamatan pasangannya, sebagaimana pakaian perang memberikan perlindungan maksimal dari serangan musuh.
Sebenarnya semangat untuk saling menjaga tidak hanya berlaku secara mikro yang terbatas pada kewajiban pasangan terhadap pasangannya. Karena hal semacam ini juga merupakan kewajiban semua umat Islam untuk saling memberikan kenyamanan dan perlindungan kepada siapa saja sebagai upaya menciptakan keharmonisan hubungan sosial.
Oleh karena itu sikap yang harus dikembangkan dalam menciptakan hubungan baik dengan orang lain adalah husnu al-dzann, termasuk di dalam lingkup hubungan antar anggota keluarga. Husnu al-dzann (berbaik sangka atau berprasangka yang baik terhadap saudaranya) menjadi pijakan penting dalam menjaga kebersamaan dan merawat persatuan.
Dapat dikatakan bahwa keretakan ukhuwwah dan ketidakharmonisan hubungan antar sesama bermula dari muncul sikap saling curiga dan prasangka yang tidak baik [sū'u al-dzann], sebagaimana yang secara terperinci dinyatakan pada ayat 11 dan 12 dalam surat al-Hujurat.
Bermula dari sikap curiga dan prasangka tidak baik tersebut muncul keinginan untuk mengulik hal ihwal lebih mendalam tentang kehidupan seseorang, yang disebutkan di dalam al-Quran dengan istilah tajassus. Setelah melalui proses tajassus ini biasanya muncul keinginan untuk membagikan informasinya kepada yang lain melalui proses ghībah.
Sebenarnya ghībah bukan hanya bertujuan memberikan informasi kepada orang lain, tetapi juga berharap ada tambahan informasi dari partner bicaranya itu, dan ketika informasi negatif diterima dengan sikap yang negatif pula maka tidak akan ada kebaikan yang bisa dilihat. Dan rangkaian tindakan yang dimulai dari prasangka buruk itu berpotensi melahirkan tindakan bullying dan perundungan, bahkan tidak jarang terjadi pelanggaran hak dan martabat kemanusiaannya.
Tindak kekerasan dalam rumah tangga sering terjadi karena rangkaian sikap-sikap negatif di atas yang dimulai dari ketidakpercayaan, kecurigaan dan prasangka buruk terhadap pasangannya.
Pakaian itu sendiri supaya tidak menyiksa maka harus diperhatikan juga ukuran dan bahannya, sehingga tidak saja berfungsi melindungi pemakainya dari ancaman bahaya eksternal tetapi secara internal juga memberi kenyamanan dan kemuliaan bagi pemakainya. Maka peran suami istri bukan hanya menjaga dan melindungi pasangannya dari ancaman dan tekanan dari luar penghuni rumah, tetapi juga masing-masing harus mampu memberikan kenyamanan dengan menyeimbangkan ego dan mengendalikan frekuensi keakuannya sehingga semua sikapnya tidak menyakiti pasangannya baik secara lisan maupun tindakan.
Salah satu upaya menjaga hubungan baik adalah dengan memahami hak dan kewajiban masing-masing. Sebagaimana yang sempat ditanyakan oleh Muawiyah bin Haydah kepada nabi Muhammad s.a.w. tentang kewajiban suami terhadap istrinya. Nabi menjawab: "berikanlah istrimu makan dan pakaian, janganlah kamu memukul wajahnya, janganlah menjelekkan dan merendahkannya. Janganlah tidak bertegur sapa kecuali di dalam rumah".
Hadits tersebut dengan tegas menyatakan bahwa suami bertanggung jawab atas ketenangan hidup istrinya salah satunya dengan jaminan nafkah lahir berupa makan dan pakaian. Lebih dari itu semua dengan muatan hadits tersebut suami tidak dibenarkan menyakiti istrinya baik fisik maupun psikis, maka tidak dibenarkan bagi suami memukul wajah dan tindakan yang menjurus kepada penghinaan. Dan apabila terjadi suatu hubungan yang tidak baik, suami pun harus tetap menjaga istrinya dari omongan pihak ketiga dengan tetap menahan istrinya tinggal bersama di dalam satu rumah.
Ibnu Utsaimin mengatakan bahwa keharmonisan dan kebahagiaan hidup berumah tangga tidak datang dengan kekerasan dan pemaksaan kehendak hanya karena suami merasa menjadi pimpinan yang berkuasa di dalam rumah, tetapi sesorang suami hendaknya memahami bahwa istrinya adalah pasangan hidupnya, ibu yang melahirkan anak-anaknya serta penanggung jawab terhadap rumahnya.
Maka sudah seharusnya seorang suami menghargai dan mengapresiasi setiap peran istrinya, serta menghormatinya sebagaimana ia juga minta dihargai dan dihormati.
M. Rifqi Rosyidi, Lc., M.Ag., Dewan Pakar Sahabat Misykat Indonesia, Mudir Pondok Modern Muhammadiyah Paciran