Oleh: Muhammad Ridha Basri
Pada awalnya, hujan itu terdengar seperti biasanya. Irama yang akrab bagi penduduk Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Tetapi pada 24-27 November 2025, dentuman air menghajar tanah tanpa jeda. Di Aceh, kata Menteri Lingkungan Hidup, sekitar 9,7 miliar kubik air turun hanya dalam dua hari. Daratan dan bebukitan yang gundul tak mampu menyerap air. Sungai-sungai tidak kuat menampung debit air yang di luar batas kewajaran. Maka terjadilah tragedi air sungai bercampur lumpur dan kayu meluap ke daratan. Alam seolah mengamuk, mengoyak tebing dan jalan, menelan jembatan kokoh, menghanyutkan rumah, dan menyisakan kegetiran yang panjang.
Banjir besar yang melanda Sumatera bukan peristiwa alam biasa. Di sana ada faktor anomali iklim siklon tropis Senyar yang mendapat energi dari laut hangat. Namun, faktor tangan manusia jauh lebih besar, termasuk yang menyebabkan perubahan iklim. Banjir bandang membawa serta gelondongan kayu sebagai bukti kejahatan mereka yang zalim. Meskipun fakta ini terang benderang, Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Kehutanan justru menyebut gelondongan kayu yang ikut tersapu banjir sebagai "kayu lapuk." Ia mengaburkan fakta tentang deforestasi, pembalakan liar, alih fungsi hutan menjadi sawit, industri ekstraktif, dan lemahnya pengawasan tata kelola hutan selama bertahun-tahun. Pernyataan tersebut dijawab oleh banyak penyintas: langit tidak pernah menurunkan hujan kayu.
Pernyataan tak berempati semisal itu ternyata juga dikeluarkan oleh banyak pejabat lainnya. Mereka sama sekali tidak berusaha memahami sisi korban. Tanpa masuk ke ruang batin para penyintas, banyak pejabat negara menjadi asal bunyi. Kepala BNPB mengatakan bahwa bencana banjir Sumatera hanya mencekam di media sosial (28/11/2025). Padahal, ada banyak sekali fakta yang menggambarkan betapa getir dan mencekamnya situasi korban di tengah keterbatasan akses, ketiadaan makanan, listrik padam, dan komunikasi yang terputus. Ada banyak yang bertahan dengan hanya meminum air banjir dan mengais sisa makanan yang hanyut. Itulah pengalaman yang mengguncang tubuh dan membekas dalam ingatan ribuan orang yang harus menyaksikan hidupnya berubah dalam hitungan jam.
Bagi pejabat, penting untuk memahami bencana ini bukan sekadar membaca data korban atau melihat gambar dari jauh. Banyak hal yang tidak bisa tergambarkan bagi mereka yang mungkin tinggal di daerah urban yang punya banyak keistimewaan. Ada pejabat yang bilang: tidak ada daerah yang terisolir, semua bisa dijangkau dengan udarat dan laut. Pernyataan ini tidak memahami situasi lapangan yang topografinya berbeda jauh dengan situasi pulau Jawa yang ada banyak jalan, banyak fasilitas umum, banyak rumah sakit, banyak pasar, banyak jalur pasokan logistik, banyak agen penyalur, banyak cadangan bahan bakar, cukup banyak cadangan listrik, banyak alternatif operator komunikasi, tidak banyak bebukitan dan sungai-sungai besar. Situasi di Sumatera sama sekali berbeda.
Banyak orang mungkin bias dalam memahami situasi banjir Sumatera karena menggunakan logika atau norma “ketertiban” ala masyarakat urban. Ketidakpahaman ini yang menyebabkan ada oknum yang menyalahkan para korban yang dinilai tidak aktif bergerak secara mandiri. Mereka tidak memahami konteks warga yang berada jauh dari episentrum kekuasaan dan bisnis yang tidak punya banyak pilihan. Terlebih di tengah situasi yang mencekam, mereka menyalakan mode survival, yang bagi orang kota mungkin dianggap “tidak tertib” atau “terlalu cengeng” karena hanya mengharap bantuan dari pemerintah pusat.
Sekali lagi, situasinya tidak sesederhana itu. Banjir dan longsor yang melanda Sumatra kali ini bukan bencana kecil. Sampai 4 Desember, 836 orang yang meninggal dunia, 509 jiwa masih hilang, dan lebih dari 2.700 orang terluka. Dampak bencana ini dirasakan oleh 3,3 juta jiwa di tiga provinsi. Data BNPB mencatat total pengungsi mencapai kisaran 2,1 juta orang yang tersebar di ratusan titik pengungsian. Bencana hidrometeorologi pada 22-27 November 2025 itu terjadi di 53 kabupaten dan kota di tiga provinsi: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Jika dibentangkan, luasnya bisa setara dengan daratan Pulau Jawa dan Bali. Luasnya dampak ini membuat pemerintah daerah banyak yang hampir lumpuh.
Dalam sekejap, lebih dari 300 jembatan di Sumatera putus atau rusak, yang menghambat distribusi logistik bagi jutaan orang. Selama ini, semua logistik di Aceh dipasok melalui satu jalur darat dan menjadi satu-satunya, yaitu dari Medan, Sumatera Utara. Ketika ada jalan dan jembatan yang putus, maka semua pasokan logistik di seluruh Aceh hampir bisa dipastikan ikut tersendat. Hal inilah yang memperparah keadaan bagi korban banjir. Bersamaan dengan putusnya pasokan pangan, listrik dan internet juga padam. Isolasi ini menjadikan para korban tidak bisa segera melapor situasi pasca banjir kepada pemerintah.
Ada desa yang baru diketahui kondisinya lima hari setelah bencana, karena tidak ada satu pun jalur darat yang tersisa. Mereka mengalami situasi mencekam, tanpa komunikasi, tanpa bantuan cepat. Dunia seolah benar-benar berhenti di sana. Dan kelaparan menimpa banyak penyintas dari segala usia. Ada bayi yang terpaksa harus meminum air banjir. Setelah berhari-hari menunggu tanpa kepastian, di antara mereka ada yang mengutus beberapa orang untuk berjalan kaki puluhan atau ratusan kilometer guna mencari bantuan. Hal ini misalnya dialami masyarakat di Aceh Tamiang, Aceh Tengah, dan Bener Meriah.
Adapun di daerah yang airnya telah surut, muncul masalah baru: menipisnya stok kebutuhan dasar dan melambungnya harga. Di Bireuen, harga pertalite eceran yang langka sempat mencapai Rp 30.000 per liter. Harga telur sempat menjadi Rp 80.000-150.000. Sementara cabai mencapai Rp 300.000. Sampai hari ini (5/12/2025), stok BBM dan gas masih menipis dan warga harus mengantri berjam-jam hanya untuk mendapat jatah bensin. Informasi ini saya dapat dari keluarga di Bireuen yang mengalami langsung situasi sulit ini selama berhari-hari. Menteri ESDM mengklaim stok BBM di wilayah Sumatera tercukupi (2/12/2025), dan pernyataan menteri itu langsung dibantah oleh warga yang hadir.
Memang, pemerintah kemudian bergerak. Namun bantuan yang datang itu masih terbatas dan tak merata. Pemerintah telah tiba, tetapi alam bergerak lebih cepat dan luas. Ketika tim SAR tiba, banyak desa sudah porak-poranda dan menyisakan pilu yang tidak bisa ditambal dengan sekali drop bantuan dari helikopter. Ketika bantuan datang, banyak pengungsi sudah kelaparan atau bahkan mengalami sakit-sakitan. Kondisi mereka mungkin bisa lebih baik jika bantuan makanan dan tenaga medis datang lebih cepat. Respons pemerintah tidak selalu gagal. Tapi kalah cepat, kalah luas, kalah kuat dari skala bencana yang meretakkan pulau Sumatera.
Benar ada banyak pejabat yang sudah turun ke lokasi, tetapi dengan beragam agenda. Ada ketua umum partai datang memanggul sekarung beras dan berjanji membantu secara pribadi saat meninjau korban banjir di Padang (1/12/2025). Dia lupa dengan kebijakannya sebagai menteri kehutanan yang pernah menandatangani alih fungsi izin 1,64 juta hektar hutan, yang setara 25 kali luas provinsi DKI Jakarta. Kehadiran pejabat seperti ini seolah mengatakan bahwa bantuan itu karena belas kasihnya. Padahal, bantuan dalam situasi bencana bukanlah hadiah yang layak dibanggakan, bukan pula sedekah personal pejabat yang harus dibayar dengan ucapan terima kasih berlebihan. Bantuan itu adalah kewajiban negara yang paling dasar, lahir dari kontrak sosial yang menempatkan keselamatan warga sebagai prioritas tertinggi.
Para pejabat negara semestinya memahami tugasnya sebagai pengambil kebijakan untuk kemaslahatan bersama. Mereka bukan dipaksa menjadi pejabat, tetapi atas permintaan mereka sendiri yang berkampanye minta untuk dipilih. Maka semestinya mereka tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk berbuat. Terlebih di masa krisis seperti ini. Jika mereka memahami posisi ini, mereka tidak akan asal mengeluarkan pernyataan yang blunder dan tidak menunjukkan empati. Dan itu berlaku bukan hanya bagi pejabat pusat, tetapi juga pejabat di daerah. Sungguh miris ketika ada pejabat daerah yang justru “keluar kota” di saat daerahnya dilanda bencana besar. Ada juga bupati Aceh Tenggara yang tiba-tiba berujar, kalau bisa Presiden Prabowo menjabat seumur hidup.
Sukidi dalam kolomnya di Kompas (4/12/2025) mengajak semua pihak untuk fokus pada misi kemanusiaan dan menanggalkan agenda teatrikal politik di tengah bencana besar ini. “Penderitaan kemanusiaan di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat adalah penderitaan kita semua. Sebab, kita semua terikat pada persaudaraan kemanusiaan yang satu.” Sukidi mengingatkan pentingnya berkejaran dengan waktu untuk memastikan terbukanya akses ke berbagai lokasi bencana, terutama yang terisolasi. “Dengan mempertimbangkan dahsyatnya bencana ekologis yang mematikan kehidupan manusia dan lingkungan dan keterbatasan kapasitas negara, kita perlu berbesar hati untuk menetapkan bencana ekologis ini sebagai bencana nasional dan sekaligus membuka diri pada bantuan internasional untuk menyelamatkan kemanusiaan yang sedang menderita di berbagai aspek kehidupannya,” tulisnya.
Di tengah situasi “lamban atau terbatasnya” tangan pemerintah, berbagai elemen rakyat bergerak untuk menghimpun solidaritas bagi korban banjir Sumatera. Misalnya Salim A Fillah, Pras Teguh, Indadari, Zaskia Mecca, hingga Fery Irwandi. Dalam waktu 24 jam, Fery Irwandi berhasil mengumpulkan donasi Rp 10,3 miliar dari 87.000 penyumbang via Kitabisa.com. Ini sebuah capaian luar biasa, yang menunjukkan tingginya empati rakyat Indonesia di saat negara tampak terseok-seok merespons bencana. Kecepatan dan besarnya donasi itu menunjukkan bahwa masyarakat bisa lebih lincah, lebih peka, dan lebih cepat bergerak dibandingkan institusi yang seharusnya memimpin penanganan krisis. Di tengah kehancuran fisik dan mental para penyintas, ada energi sosial yang tumbuh dari bawah: gerakan warga bantu warga yang muncul dari rasa senasib dan rasa tanggung jawab moral.
Di saat yang sama, ada situasi semacam turunnya kepercayaan publik terhadap (kemampuan) negara maupun ormas keagamaan tertentu. Ada yang merasa negara terlalu birokratis, lambat, dan jauh dari penderitaan di lapangan; sementara sebagian lembaga sosial-keagamaan dipersepsikan lebih sibuk dengan agenda internal. Di tengah ruang kosong itulah, gerakan warga bantu warga tumbuh subur, menemukan solidaritas baru yang tidak menunggu komando dan tidak bergantung pada struktur. Kepercayaan itu mengalir bukan kepada institusi besar, tetapi kepada sesama warga yang menunjukkan inisiatif, integritas, dan kecepatan yang selama ini dirindukan publik.


