Memaknai Basmalah sebagai Fondasi Ilmu-Adab

Publish

15 October 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
92
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Memaknai Basmalah sebagai Fondasi Ilmu-Adab

Oleh: Piet Hizbullah Khaidir, Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi dan Publikasi MTT PWM Jawa Timur

Setiap aktivitas yang diawali dengan basmalah bukan sekadar tradisi verbal umat Islam, tetapi refleksi dari kesadaran ontologis tentang siapa manusia, siapa Tuhan, dan untuk apa ilmu serta amal dijalankan. Dalam Islam, ilmu tidak berdiri sendiri, tetapi berakar pada adab — tata laku yang benar terhadap Allah, sesama, dan diri sendiri. Basmalah menjadi titik awal dari sistem epistemologi Islam yang berbasis takhalluq (penyerapan akhlak ilahiah), bukan semata rasionalitas kognitif.

Sebagaimana diisyaratkan oleh para ulama, termasuk Imam al-Ghazali dan Ibn ‘Arabi, basmalah bukan sekadar pembuka bacaan, tetapi kunci pembuka realitas pengetahuan. Melalui basmalah, manusia menegaskan orientasi pencarian ilmu, amal, dan ibadahnya semata karena Allah (lillah), bukan karena dunia atau pengakuan.

Makna Bismillah

Kata "Bismillah” berasal dari tiga unsur utama: bi- (dengan), ism (nama), dan Allah (Tuhan Yang Maha Esa). Secara semantik, bismillah berarti “dengan nama Allah” — bukan sekadar penyebutan, tetapi penyertaan kehadiran-Nya dalam setiap perbuatan.

Dalam pandangan para sufi dan filsuf Muslim seperti Ibn Sina dan al-Qusyairi, menyebut bismillah adalah bentuk deklarasi eksistensial: bahwa segala ilmu, amal, dan gerak manusia tidak memiliki makna kecuali dalam bingkai kehadiran Allah. Dengan demikian, bismillah menuntun manusia pada epistemologi ilahiah — bahwa pengetahuan sejati bukan sekadar hasil rasio, melainkan pancaran cahaya ilahi yang disambut dengan hati yang bersih.

"Bismillah" juga mengandung adab awal bagi penuntut ilmu. Ia mengingatkan bahwa setiap langkah akademik, penelitian, dan pencarian pengetahuan harus berlandaskan pada niat yang tulus. Ilmu yang lahir tanpa niat lillah mudah tergelincir menjadi alat keangkuhan, manipulasi, atau sekadar orientasi duniawi.

Fungsi Huruf Ba’

Para mufasir klasik seperti al-Razi, al-Baydawi, dan al-Alusi memberikan perhatian mendalam terhadap huruf ba’ dalam bismillah. Huruf ini bukan huruf biasa, melainkan mengandung lapisan makna filosofis dan spiritual.

Dalam linguistik Arab, huruf ba’ memiliki fungsi ilṣāq (penyertaan dan keterikatan), menandakan kedekatan antara pelaku dan Allah dalam setiap amal. Artinya, ketika seseorang berkata bismillah, ia tidak sedang menyebut nama Tuhan dari luar, melainkan menegaskan keterlibatan dirinya bersama Allah dalam tindakan yang dilakukan.

Beberapa ulama tasawuf, seperti al-Hallaj dan al-Junaid, menafsirkan ba’ sebagai simbol ittihad al-qasd (penyatuan kehendak). Artinya, kehendak manusia melebur dalam kehendak Ilahi. Di sinilah letak adab epistemologis seorang mukmin: ia tidak menempatkan dirinya sebagai pusat, tetapi sebagai hamba yang menjalankan amanah ilmu dengan kesadaran ilahiah.

Sementara itu, Ibn ‘Arabi memandang ba’ sebagai pintu (bab) antara makhluk dan Khalik. Ia menggambarkan huruf ini sebagai “jembatan kosmik” yang menautkan wilayah kealaman (al-‘alam) dengan keilahian (al-lahut). Maka, dalam konteks ilmu, ba’ menjadi simbol integrasi antara wahyu dan akal, antara adab dan pengetahuan, antara dzikir dan fikir.

Bismillah sebagai Jalan Ilmu dan Adab

Ilmu dalam Islam bukan semata hasil observasi atau eksperimentasi, tetapi juga pengenalan terhadap sumber hikmah. Dengan bismillah, seorang penuntut ilmu menegaskan niatnya: bahwa ia belajar bukan untuk berkuasa, tetapi untuk mengenal dan mengabdi kepada Allah.

Ilmu tanpa adab hanya menghasilkan kesombongan intelektual. Adab tanpa ilmu bisa menjerumuskan pada fanatisme buta. Keduanya harus bersatu — sebagaimana makna basmalah yang mengikat aspek rasional (ilmu) dan spiritual (adab).

Para ulama klasik menggambarkan basmalah sebagai akar dari seluruh pengetahuan yang benar. Imam al-Suyuthi menulis bahwa basmalah adalah “miftah al-Qur’an wa miftah al-‘ilm” — kunci dari Al-Qur’an dan kunci dari ilmu. Artinya, ilmu yang berangkat dari basmalah akan mengantarkan pada hikmah, bukan pada kesia-siaan.

Di era modern, orientasi pendidikan sering bergeser menjadi sekular dan utilitarian. Di sinilah relevansi basmalah diuji: apakah ilmu masih dijalankan “dengan nama Allah” atau telah berubah menjadi “atas nama karier dan keuntungan.” Dalam konteks ini, basmalah menjadi kritik moral terhadap disorientasi ilmu modern yang kehilangan ruh adab.

Takhalluq, atau proses meneladani sifat-sifat Allah, menjadi kunci dalam memahami makna ar-Rahman dan ar-Rahim. Sifat ar-Rahman mencakup kasih universal — meliputi semua makhluk tanpa kecuali. Sedangkan ar-Rahim bersifat partikular — rahmat yang diperuntukkan bagi hamba yang beriman dan istiqamah di jalan syariat.

Dengan demikian, seorang ilmuwan Muslim seharusnya takhalluq bi asma’illah — meneladani kasih Rahman dalam empati sosial dan keilmuan yang bermanfaat untuk semua, serta memegang Rahim dalam menjaga keikhlasan, ketaatan, dan loyalitas terhadap kebenaran wahyu.

Beradab dengan Ilmu, Berilmu dengan Adab

Basmalah mengajarkan keseimbangan antara ilmu dan adab. Dengan ilmu, manusia mampu mengenali ciptaan Allah; dengan adab, ia tahu batas dirinya di hadapan Sang Pencipta. Inilah makna terdalam dari bismillah — ilmu yang dijalankan lillah dan diwarnai dengan takhalluq, bukan sekadar untuk pengakuan sosial atau material.

Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari ilmu.” Kalimat ini menemukan relevansinya dalam basmalah: huruf ba’ menuntun adab mendahului ilmu.

Dalam konteks pendidikan Islam, basmalah bukan hanya pembuka pelajaran, melainkan deklarasi epistemologis bahwa ilmu adalah ibadah, dan ibadah adalah jalan menuju ilmu. Seorang peneliti yang menulis bismillah sebelum meneliti sejatinya sedang menegaskan: “Aku menuntut ilmu sebagai ibadah, bukan ambisi.”

Dengan demikian, basmalah menjadi fondasi bagi lahirnya peradaban ilmu yang beradab — ilmu yang membangun, bukan merusak; yang menuntun, bukan menyesatkan. Ilmu yang berangkat dari bismillah akan kembali kepada hamdalah — pujian kepada Allah yang menjadi tujuan akhir segala pengetahuan.

Beradab dengan ilmu berarti menempatkan ilmu dalam kerangka ketuhanan. Berilmu dengan adab berarti menjaga kesucian niat dan perilaku ilmiah agar selaras dengan nilai-nilai Ilahi. Dalam kesatuan keduanya, lahirlah insan kamil — manusia berpengetahuan yang rendah hati, cerdas secara spiritual, dan berorientasi pada rahmat bagi semesta.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Berhaji Tanpa Gelar Haji Oleh: Ahsan Jamet Hamidi, Ketua PRM Legoso dan Wakil Sekretaris LPCRPM PP ....

Suara Muhammadiyah

8 July 2025

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Seorang orientalis Barat H.A.R. Gibb dalam bukunya The Wither Islam mengatakan ....

Suara Muhammadiyah

11 September 2023

Wawasan

"Mencari Simpati Hati dan Suara Pemilih" Oleh: Rumini Zulfikar Pemilu Tahun 2024 saat ini memasuk....

Suara Muhammadiyah

1 December 2023

Wawasan

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah  (29) Oleh: Mohammad Fakhrudin (warga Muhammadiyah tingga....

Suara Muhammadiyah

21 March 2024

Wawasan

Oleh: Miqdam Awwali Hashri, SE Kesehatan adalah hal yang paling utama. Orang yang sehat dapat berib....

Suara Muhammadiyah

24 July 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah