Memaknai Cakra Manggilingan dengan Menyelami R Ng Rangga Warsita
Oleh: Rumini Zulfikar, Penasihat PRM Troketon, Pedan, Klaten
"Yaa Allah ya Rasulullah kang sipat Murah lan Asih Mugi-mugih A paringa pitulung ingkang Nartani ing Alam Awal Akhir Dumunung ing Gesang ulun. Mangkya sampun A wreda ing wekasan kanthi pundi Mila mugi wonten pitulung Tuhan."
(Serat Kalatidha bait 11, karya R. Ng. Rangga Warsita)
Suatu hari, penulis kedatangan dua tamu—seorang laki-laki dan seorang perempuan. Keduanya berstatus duda dan janda. Mereka menceritakan perjalanan rumah tangga yang pada akhirnya berujung perceraian. Kini, mereka bertekad membangun kembali rumah tangga yang baru.
Di lain waktu, penulis juga kedatangan tamu yang mengisahkan kondisi sebuah keluarga yang tengah mengalami kesulitan ekonomi. Kondisi ini berdampak pada tata kelola kehidupan mereka secara keseluruhan.
Kehidupan umat manusia di dunia telah dicatat oleh Allah di Lauhul Mahfudz. Oleh karena itu, suka atau tidak, manusia harus mengikuti alur yang telah menjadi ketetapan-Nya. Namun, sebagai insan yang diciptakan dengan kesempurnaan hati dan akal, manusia dituntut untuk berpikir kritis dan positif (husnuzan) kepada Allah dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.
Dalam kehidupan ini, manusia mengalami siklus yang terus berputar, seperti roda. Bagi masyarakat Jawa, ungkapan Cakra Manggilingan tentu sudah tidak asing lagi. Filosofi ini menggambarkan bahwa kehidupan manusia senantiasa berputar, terkadang berada di atas, terkadang di bawah.
Beberapa literatur menyebutkan bahwa cakra berarti roda, sedangkan manggilingan berarti berputar. Maka, Cakra Manggilingan dapat diartikan sebagai roda yang berputar, menggambarkan perjalanan hidup manusia yang terus mengalami perubahan.
Jika kita menelaah lebih dalam, filosofi Cakra Manggilingan mengandung lima makna penting dalam kehidupan:
Lima Filosofi dalam Cakra Manggilingan
Pertama, Kehidupan manusia seperti roda yang berputar. Hidup manusia tidak bersifat statis, tetapi dinamis. Terkadang seseorang berada di posisi atas, tetapi di waktu lain ia bisa berada di bawah. Misalnya, seorang yang memiliki jabatan tinggi di pemerintahan, legislatif, atau dunia usaha, tidak selamanya akan berada di posisi tersebut.
Kedua, Tiga dimensi kehidupan manusia. Hidup manusia terbagi dalam tiga fase, yaitu Alam Purwa (masa awal/kandungan), Alam Madya (masa hidup di dunia), dan Alam Wasana (akhirat). Filosofi ini selaras dengan pepatah Jawa sangkan paraning dumadi—dari tiada, menjadi ada, lalu kembali kepada Sang Pencipta.
Ketiga, Bahaya sifat pamer harta, kekuasaan, dan kepandaian. Manusia sering kali merasa unggul dalam harta, kedudukan, dan kepandaian, seolah semua itu adalah hasil usahanya sendiri. Padahal, semua pencapaian itu terjadi atas izin dan rahmat Allah. Jika seseorang terlalu mengutamakan ego dan kesombongan, ia bisa jatuh dalam keserakahan dan kehilangan makna kehidupan yang hakiki.
Keempat, Takdir kehidupan sesuai perbuatan manusia. Ada pepatah Jawa yang berbunyi sing nandur bakal ngundhuh (siapa yang menanam, dia akan menuai). Dalam Al-Qur'an juga disebutkan bahwa siapa yang berbuat baik atau buruk akan mendapat balasan setimpal. Inilah hukum sebab akibat yang berlaku dalam kehidupan manusia.
Kelima, Hidup manusia sebenarnya sederhana, tetapi sering dipersulit sendiri. Pada dasarnya, hidup ini tidak membebani manusia di luar kemampuannya. Namun, sering kali manusia membuat hidupnya sulit karena hatinya dipenuhi noda hitam akibat kemunafikan dan ketidakseimbangan antara pikiran, hati, dan tindakan.
Jika kita mampu jujur pada diri sendiri, maka kita akan menyadari pentingnya nilai-nilai spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Ketika berada dalam titik terendah, sandaran utama kita adalah Allah. Hal ini ditegaskan dalam firman-Nya dalam Surat Al-Fath ayat 28:
هُوَ الَّذِيْٓ اَرْسَلَ رَسُوْلَهٗ بِالْهُدٰى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهٗ عَلَى الدِّيْنِ كُلِّهٖۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ شَهِيْدًا ٢٨
huwalladzî arsala rasûlahû bil-hudâ wa dînil-ḫaqqi liyudh-hirahû ‘alad-dîni kullih, wa kafâ billâhi syahîdâ
"Dialah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar Dia mengunggulkan (agama tersebut) atas semua agama. Cukuplah Allah sebagai saksi."
Ayat ini memberikan pelajaran berharga bahwa Allah telah mengutus Rasul-Nya untuk membawa petunjuk sebagai cahaya kehidupan. Dengan berpegang teguh pada ajaran agama, manusia akan senantiasa menemukan jalan kebenaran.
Kesimpulan
Dalam hidup, kita harus selalu eling lan waspada—ingat dan waspada. Jangan pernah menyombongkan diri atas kedudukan, kekayaan, atau kepandaian yang dimiliki. Segala sesuatu dalam hidup bersifat sementara dan akan terus berputar, sebagaimana makna dari Cakra Manggilingan.
Serat Kalatidha mengajarkan bahwa kita harus senantiasa bersandar kepada Allah dan meneladani Rasulullah dalam menjalani kehidupan. Dengan demikian, kita akan menjadi pribadi yang lebih bijaksana dan selalu terarah dalam menghadapi tantangan hidup.
Semoga kita semua dapat menjadi insan yang mampu mawas diri di tengah derasnya perubahan zaman, serta tetap berpegang teguh pada nilai etika, moral, dan akhlak yang terpuji. Aamiin.