Membaca Realitas: Posisi Pemuda sebagai Pelopor Perubahan

Publish

25 October 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
752
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Membaca Realitas: Posisi Pemuda sebagai Pelopor Perubahan

Oleh: Agusliadi Massere

Dalam catatan sejarah, hampir setiap lembarannya menyuguhkan preseden historis tentang kepoloporan pemuda dalam setiap perubahan. Ketika pekan lalu, tepatnya 21 Oktober 2023, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Bantaeng mengundang saya untuk menjadi narasumber pada kegiatan Dialog Politik-nya yang mengusung tema “Positioning Pemuda Pelopor Pemilu Damai”, bukanlah perkara sulit yang akan memberatkan saya mencari referensi sebagai bahan materi. Kepeloporan pemuda, melingkupi berbagai dimensi atau sendi kehidupan. 

Sebenarnya dalam perspektif idealitas, sebagaimana yang saya sampaikan dalam forum Dialog Politik tersebut, DNA pemuda adalah “perubahan”. DNA pemuda adalah “positif”, “produktif”, “konstruktif”, dan “kontributif”. Meskipun demikian, kita pun perlu menyadari sebagaimana teori genetika bahwa di dalam “DNA”—dan maknanya pun bisa dikontekstualisasikan dalam kehidupan budaya, sosial dan politik—memiliki mekanisme on/off. DNA-nya bisa saja on pada masa lalu, dan pada saat ini sedang off.

Dalam forum Dialog Politik GMNI Cabang Bantaeng tersebut, saya sedikit mengkritisi temanya sekaligus menawarkan solusi. Kepeloporan pemuda harus melampaui dari sekadar pelopor pemilu damai. Meskipun, pemilu damai itu juga tetap penting. Pemilu damai relevan makna dan harapannya dengan yang diusung oleh KPU yang selama ini sering (seakan) menjadi tagline: “Pemilu sebagai sarana integrasi bangsa”. 

Pemuda sebagai pelopor pemilu damai, atau pun pelopor perubahan, dan bahkan apa yang akan saya tawarkan sebagai solusi yang melampaui dari sekadar “pemilu damai”, secara substansial dibutuhkan kemampuan membaca realitas. Kemampuan ini pulalah yang bisa menjadi prasyarat agar DNA pemuda—sebagaimana dijelaskan di atas—yang off bisa menjadi on. 

Ketika kita tidak mampu membaca realitas maka kita akan mengalami nasib seperti “Kisah kematian katak”. Di mana awalnya, katak merasa kegirangan, gembira sekali karena berada dalam zona nyaman (baca: berada dalam panci berisi air), tetapi dirinya tidak mengetahui bahwa air itu akan direbus/dipanaskan. Setelah air mendidih, katak baru menyadari di sekelilingnya telah terjadi perubahan, karena terlambat menyadari, katak tersebut mati. 

Kontekstualisasi dari “Kisah kematian katak” dalam realitas sosial, sebenarnya kita pun tanpa kecuali pemuda telah banyak yang mengalami kematian. Meskipun mati dalam konteks ini, bukanlah mati dalam pengertian “meninggal”, di mana terpisahnya ruh dari jasad, tetapi yang mati adalah semangat belajar, semangat membaca, kepedulian, pemikiran, visi besar, grand narration, produktivitas, kejujuran, komitmen dan konsistensi di jalur kebenaran, dan bahkan termasuk kemampuan membaca realitas itu sendiri, juga ikut mati.

Pentingnya membaca dan menyadari realitas, relevan dengan perspektif Rhenald Kasali—meskipun yang diteropong adalah era disrupsi dalam dimensi ekonomi dan peluang kerja—bahwa “Tidak cukup dengan motivasi, dibutuhkan kemampuan membaca dua hal: where we are dan where we are going to”. Saya pun menambahkan, bahwa bukan hanya kemampua membaca terkait dua hal tersebut termasuk kemampuan “menjawab”. Dan jawabannya, bukans semata realitas fisik-material, melainkan melampaui dari itu. 

Sebagai pelopor pemilu damai, pemuda hanya membutuhkan kemampuan membaca dua realitas. Pertama, pemuda harus membaca realitas sosial atau peta sosiologis Indonesia, bahwa hakikat Indonesia adalah kemajemukan atau pluralitas. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Naskah Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof. Abdul Mu’ti, bahwa pluralitas adalah realitas, pluralitas adalah keniscayaan, dan bahkan sebagai takdir. 

Mampu membaca dan menyadari peta sosiologis ini, pemuda secara otomatis pun akan mampu memahami dan menyadari adanya perbedaan-perbedaan, baik dari aspek sikap maupun perilaku, yang seringkali menjadi pemantik antitesa dari terma “damai” tersebut. Kedua, pemuda yang akan mampu menjadi pelopor pemilu damai, adalah pemuda yang memahami bahwa dalam realitas sosial terutama dalam kampanye sebagai salah satu tahapan pemilu, seringkali diwarnai dengan kampanye SARA. 

Potensi dan daya rusak kampanye SARA itu sangat besar. Persoalan suku, agama, ras, antar golongan, atau yang diistilahkan SARA ini merupakan identitas yang melekat dalam setiap pribadi seseorang, dan sekaligus memiliki sensitivitas yang sangat tinggi. Kampanye SARA pun sesungguhnya setali tiga uang dengan politik identitas, sebagai bentuk ketidaksadaran atau kebutaan membaca peta sosiologis Indonesia. Perbedaan kampanye SARA, dan politik identitas, hanya pada strategi. 

Sebagaimana yang telah saya tegaskan di atas, bahwa kepeloporan pemuda harus melampaui dari sekadar “Pemilu damai”, mengapa, karena yang paling utama yang harus dipelopori oleh pemuda adalah terwujudnya “demokrasi substansial”. Ada yang menarik dari tulisan Syamsul Arifin, seorang Sosiolog Agama, dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang, yang terbit pada tanggal 21 Oktober 2023 di Kompas. Setelah membacanya, saya banyak mendapatkan insight yang bisa meneguhkan pandangan terkait urgensi, signifikansi, dan implikasi dari demokrasi substansial. 

Sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin dari artikel Mohammad Hatta yang terbit pada tahun 1959 “Demokrasi Kita”, dan ditegaskannya kembali dalam tulisannya tersebut di Kompas, ada yang relevan antara pembacaan realitas Mohammad Hatta dan Syamsul Arifin, dan bahkan saya pun merasakan hal tersebut. Intinya,  masih ada kondisi paradoks antara idealisme dan realitas demokrasi. Atau, sebagaimana ditegaskan Syamsul Arifin “…demokrasi kita belum memperlihatkan realitas yang berkorespondensi dengan tuntutan idealisme demokrasi. Demokrasi kita belum mampu memotong mata rantai praktik lancung elit. Bagi saya, lancung itu, sikap dan perbuatan yang penuh kepalsuan, ketidakjujuran, dan hal negatif lainnya.

Apa yang disorot oleh seratus ilmuwan sosial-solitik sebagai bentuk refleksinya tentang kemunduran demokrasi Indonesia, sebagaimana dalam buku karya Wijayanto, dkk., “Demokrasi tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial Politik tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia” (2021) yang pada substansinya menegaskan “demokrasi tanpa demos (rakyat)”, sudah ada benihnya dalam realitas sosial-politik, untuk tidak mengatakan sudah menjadi pemandangan indah. 

Demokrasi kita, jika memahami dan mengikuti pandangan kritis Burhanuddin Muhtadi sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin dari tesis doktoralnya “Vote Buying in Indonesia: The Mechanic Electoral Bribery”, baru memenuhi standar minimal. Maksudnya, berupa keterlaksanaan pemilihan umum sesuai dengan prosedur tertentu. Dan inilah yang disebut dengan “demokrasi prosedural” yang masih jauh dari “demokrasi substansial”. 

Ketika pemilu kita masih sebatas demokrasi prosedural, politik uang masih merajalela dan menjadi bom waktu, praktik berkuasa yang tidak benar—sebagai efek lanjutannya masih mewarnai alam demokrasi,—maka di sinilah pentingnya demokrasi substansial harus dipelopori oleh pemuda. Demokrasi substansial secara sederhana dimaknai sikap dan perilaku berdemokrasi yang mengutamakan demos (rakyat) sebagai starting point, sekaligus sebagai ending point. 

Selain itu demokrasi subsntasial, jika menangkap harapan Mohammad Hatta—Wakil Presiden I Indonesia” dari artikelnya “Demokrasi Kita” yang pernah dilarang beredar pada saat itu, sebagaimana dikutip oleh Syamsul Arifin, menegaskan pentingnya “keadaban”. Demokrasi yang tidak minus keadaban. 

Saya yang sedikit memahami sejarah perumusan Pancasila dari buku-buku karya Yudi Latif, terutama pada poin pergeseran dan kesepakatan sila “ketuhanan” yang sebelumnya berada pada sila kelima, posisi pengunci, akhirnya digeser ke sila pertama, sebagai posisi pembuka, pada intinya, pesan moralnya adalah kesadaran para founding fathers bahwa sila “ketuhanan” harus menjadi fundamen dasar, fundamen moral bagi fundamen kemanusiaan dan politik (sila kedua sampai sila kelima).

Salah satu faktor yang menyebabkan demokrasi-substansial sulit tercapai, termasuk yang menyebabkan terjadinya politik uang, model berkuasa yang tidak benar, dan demokrasi tanpa demos, adalah minusnya keadaban. Berbicara keadaban tentunya adalah berbicara tentang moral atau moralitas itu sendiri. Demokrasi kita selama ini memang diakui, mencapai kemajuan-kemajuan yang luar biasa, tetapi baru sebatas demokrasi prosedural, karaena demos (rakyat) belum menjadi starting point dan ending point secara maksimal, melainkan masih didominasi oleh kepentingan elit oligarki. 

Ketika posisi pemuda, terutama dalam hal ini pemilih muda berada pada angka 52% dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2024 yang ditetapkan oleh KPU RI, kita jangan langsung berbangga dan merasa punya posisi strategis yang menentukan nasib bangsa. Pemuda harus terlebih dahulu membaca realitas dan menyadari posisinya. Pemuda sebagai bagian dari rakyat harus memiliki kesadaran kedaulatan sebagai hasil pembacaan dari konstitusi negara, dan termasuk prinsip turunannya dalam konteks kepemiluan “Pemilih Berdaulat Negara Kuat”. 

Kedua prinsip di atas, prinsip utama dan prinsip turunannya, selain menuntun untuk memahami realitas termasuk memberikan pemahaman posisi, baik yang strategis maupun posisi krusial. Minimal, bisa dipahami, bahwa pemuda memiliki posisi strategis untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik, menuju demokrasi substansial, jika memiliki dan mampu mengkristalisasikan nalar kebangsaan, dan kesadaran kritisnya sebagai hasil pembacaan dan akan realitasnya.

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng.


Komentar

Ahmad Fatoni

Jika yang dimaksud seorang Sosiolog Agama, dan Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Malang ialah Syamsul Arifin, bukan Syamsul Anwar.

Agusliadi Massere

Alhamdulillah terima kasih. Mohon maaf saya keliru, salah mengingat nama. Betul yang benar adalah adalah Syamsul Arifin, bukan Syamsul Anwar. Saya baru cek ulang di media.

Agusliadi Massere

Semoga pihak redaksi, bisa mengedit atas kekeliruan saya dalam mengingat nama.

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd, Kapala SMP AT-TIN UMP Kab. Tegal Etos Kerja Kader, secara sederha....

Suara Muhammadiyah

22 March 2024

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Baitul Arqam Camp Syd....

Suara Muhammadiyah

6 January 2024

Wawasan

Jelang Munas Satu Abad: Mengapa Majelis Tarjih Mundur? (4)  Oleh: Mu’arif Kelahiran Maj....

Suara Muhammadiyah

24 January 2024

Wawasan

Peningkatan HOTS Siswa Muhammadiyah Melalui AMM Oleh: Dr Raden Ridwan Hasan Saputra M.Si, Anggota M....

Suara Muhammadiyah

23 February 2024

Wawasan

Memahami Hari Kiamat Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Apa seben....

Suara Muhammadiyah

1 March 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah