Membebaskan Nalar dari Paradoks

Publish

9 July 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
38
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Membebaskan Nalar dari Paradoks: Memahami Ulang Surah Al-A'raf 172 dan Perjanjian Primordial Kita

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Saya ingin menyoroti tentang perjanjian dengan Tuhan, yang sering kali menimbulkan interpretasi yang beragam, yakni Surah Al A’raf (7) ayat 172, yang artinya “(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,”

Saya ingin memilih tafsir Muhammad Assad dalam konteks ini. Ayat ini tidak berbicara tentang satu peristiwa masa lalu di mana seluruh umat manusia dikumpulkan sekaligus. Sebaliknya, ayat ini menggambarkan suatu proses yang berlangsung terus-menerus. Setiap kali Allah menciptakan generasi baru dari keturunan Adam, Dia sedang mengadakan perjanjian dengan generasi tersebut. Pertanyaannya, "Bukankah Aku Tuhanmu?" dan jawabannya, "Ya, tentu saja, kami bersaksi akan hal itu," bukanlah dialog lisan, melainkan sebuah metafora untuk sifat dasar manusia.

Ini mirip dengan bagaimana Al-Qur`an menggambarkan langit dan bumi yang "berbicara" dan "patuh" kepada Tuhan. Ini bukan ucapan harfiah, melainkan dramatisasi untuk menunjukkan kepatuhan universal ciptaan kepada kehendak Tuhan. Dengan cara yang sama, ayat tentang perjanjian ini menunjukkan bahwa Tuhan telah menanamkan dalam diri setiap manusia naluri bawaan untuk mengenali-Nya sebagai Pencipta dan Pemelihara.

Naluri ilahiah yang tertanam dalam diri kita sejak lahir adalah anugerah tak ternilai. Fitrah ini memastikan bahwa pada Hari Penghakiman, kita tak akan mampu beralasan dengan dalih ketidaktahuan atau ketidakpahaman akan keberadaan Tuhan. Sejak detik pertama kehidupan, setiap jiwa telah dianugerahi "kabel keras" atau kecenderungan alami (fitrah) untuk meyakini dan mengenal Penciptanya.

Namun, dalam perjalanan hidup, lingkungan yang dinamis, pengaruh sosial, dan berbagai pengalaman duniawi memang dapat mengaburkan atau bahkan menyimpangkan fitrah asli ini. Manusia bisa saja tersesat dari jalan yang benar, melupakan panggilan suci yang terukir dalam esensi keberadaan mereka. Inilah mengapa, dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul. 

Mereka adalah mercusuar kebenaran, pembimbing yang diutus untuk mereorientasi jiwa-jiwa yang tersesat, mengembalikan kita kepada naluri primordial untuk beriman kepada-Nya, menegakkan keesaan-Nya, dan tunduk pada kehendak-Nya. Pada akhirnya, ketika tirai kehidupan duniawi disingkap dan kita berdiri di hadapan Sang Maha Kuasa, segala bentuk alasan dan dalih akan pupus; yang tersisa hanyalah pertanggungjawaban atas pilihan-pilihan yang kita ambil, setelah segala petunjuk dan peringatan telah diberikan.

Saya menyoroti kesalahpahaman yang sering terjadi terkait ayat ini. Banyak orang membayangkan bahwa Tuhan mengumpulkan seluruh umat manusia dari awal hingga akhir zaman di satu tempat dan menanyakan pertanyaan tersebut. Interpretasi ini, meskipun umum dalam tafsir klasik, menimbulkan masalah logis yang signifikan.

Di sinilah letak simpul kerumitan logis yang sering kali menggantung dalam benak. Bagaimana kita dapat menuntut pertanggungjawaban penuh atas sebuah perjanjian sakral yang, ironisnya, sama sekali terhapus dari memori kolektif dan individual manusia? Para ulama tafsir klasik sendiri, dengan kejujuran intelektual mereka, tak jarang mengakui bahwa ingatan akan peristiwa primordial tersebut memang tidak melekat pada diri kita. 

Namun, dalam upaya gigih mereka untuk merekonsiliasi teks suci dengan pemahaman yang ada, mereka seringkali terdorong untuk membangun kerangka pembenaran yang, jika dicermati lebih jauh, justru kehilangan koherensinya. Logika dasar pun mengajukan pertanyaan krusial: jika benang ingatan telah terputus total, bagaimana keadilan dapat ditegakkan melalui hukuman atas sesuatu yang tak pernah kita sadari telah kita ikrarkan? Ini menciptakan sebuah paradoks filosofis yang menantang nalar.

Lebih lanjut, interpretasi tradisional yang melukiskan gambaran seluruh umat manusia, dari setiap zaman dan generasi, secara harfiah "dimasukkan kembali ke dalam tulang belakang Adam" sebelum mereka diciptakan, juga menghadapi tantangan serius. Ketika kita menelaah teks Al-Quran, kita akan menemukan bahwa redaksinya tidak secara eksplisit merujuk pada "tulang belakang Adam" sebagai wadah fisik. Ayat suci hanya menyebutkan bahwa keturunan dikeluarkan "dari sulbi anak cucu Adam," sebuah frasa yang secara linguistik dan kontekstual jauh lebih luas dan dapat diinterpretasikan secara metaforis. 

Membayangkan miliaran jiwa yang tak terhingga jumlahnya—setiap individu dengan esensi dan potensi uniknya—dapat secara fisik termuat dalam struktur biologis Adam adalah sebuah lompatan imajinasi yang secara harfiah tidak masuk akal, bahkan bertentangan dengan pemahaman ilmiah kita tentang realitas fisik. Ini bukan sekadar tantangan semantik, melainkan juga menuntut kita untuk mempertanyakan apakah penafsiran semacam itu benar-benar selaras dengan keagungan dan kesempurnaan hikmah Ilahi yang diwahyukan.

Ini adalah salah satu area di mana kita perlu meninjau kembali interpretasi Al-Qur`an dengan pandangan baru. Kita harus mencari pemahaman yang logis dan masuk akal bagi pemikir modern. Ketika para penceramah masih menggunakan cerita-cerita lama yang tidak logis, hal itu dapat mengurangi kredibilitas argumen mereka.

Penting bagi kita untuk kembali kepada sumber, merefleksikan, dan menyajikan pesan Al-Qur`an dengan cara yang koheren dan beralasan. Dengan demikian, kita dapat lebih memahami keindahan dan kebijaksanaan Islam, serta membagikannya kepada sesama manusia dengan cara yang lebih efektif.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan Pencapaian ilmiah mengalami lonjakan dahsyat di masa pemerintahan khalifah Al M....

Suara Muhammadiyah

26 September 2023

Wawasan

Muhammadiyah Bermuhasabah Oleh: Saidun Derani Menjelang tutup tahun 2023 dan memasuki tahun 2024 s....

Suara Muhammadiyah

30 December 2023

Wawasan

Drh H Baskoro Tri Caroko. LPCRPM PP Muhammadiyah, Bidang Pemberdayaan Ekonomi  Mewakili asosia....

Suara Muhammadiyah

22 July 2024

Wawasan

Mengurai Makna 'Nusyuz': Studi Komparatif Surah An-Nisa Ayat 34 dan 128 Oleh: Donny Syofyan, Dosen ....

Suara Muhammadiyah

19 April 2025

Wawasan

Oleh: Wakhidah Noor Agustina, SSi, Sekretaris MEK PDA Kudus dan Guru Biologi di SMA Negeri 2 Kudus ....

Suara Muhammadiyah

5 July 2025

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah