Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Tulisan ini akan mengupas salah satu ayat Al-Qur`an yang seringkali disalahpahami: Surah Al-An'am (6) ayat 131. Ayat ini dengan tegas menyatakan, “Yang demikian itu adalah karena Tuhanmu tidak akan membinasakan suatu negeri dengan kezaliman sedang penduduknya dalam keadaan lengah (belum tahu).” Sekilas, pesan ini mungkin terdengar sederhana, namun sebetulnya ayat inin menyingkap lapisan-lapisan nuansa teologis dan filosofis yang krusial, khususnya dalam memahami konsep keadilan Allah dan bagaimana mekanisme penghukuman ilahi bekerja.
Inti dari penafsiran ulang yang perlu dicermati terletak pada analisis cermat terhadap frasa kunci dalam bahasa Arab. Frasa ini, yang bisa diartikan sebagai "mereka tidak menyadari" atau "secara tidak adil," menjadi titik fokus pembahasan. Makna yang lebih tepat—dan lebih sejalan dengan atribut-atribut Tuhan lainnya—adalah "Tuhan tidak akan menghukum umat manusia secara tidak adil jika mereka belum menerima peringatan atau tidak menyadarinya." Penekanan ini bukanlah sekadar pilihan kata; ia adalah penegasan fundamental bahwa keadilan Tuhan adalah pilar utama yang tak tergoyahkan, sebuah atribut yang sama sekali tidak pernah menyiratkan tindakan sewenang-wenang.
Selama berabad-abad, banyak ulama klasik dalam tradisi Islam telah berupaya keras untuk menjaga kesucian konsep keadilan Allah dari segala noda ketidakadilan. Mereka seringkali berpendapat bahwa sebagai Pencipta dan Penguasa mutlak, Allah memiliki hak penuh atas ciptaan-Nya. Oleh karena itu, menurut perspektif ini, apapun yang Tuhan lakukan, secara inheren dan otomatis adalah adil.
Namun, kita perlu secara bijak menyoroti bahwa pandangan semacam ini, jika tidak dijelaskan dengan hati-hati, dapat memicu pertanyaan kritis, bahkan keberatan, dari kaum ateis. Mereka mungkin berargumen bahwa definisi "keadilan" menjadi kabur atau bahkan kehilangan maknanya jika setiap tindakan Tuhan—termasuk yang secara manusiawi kita anggap tidak adil—secara otomatis dicap sebagai keadilan tanpa pertimbangan lebih lanjut.
Untuk memahami sepenuhnya esensi keadilan ilahi, kita perlu memperkaya dan menjernihkan sudut pandang kita mengenai bagaimana Allah berinteraksi dengan umat manusia. Pemahaman yang lebih komprehensif ini akan mengungkap bahwa Sang Pencipta sama sekali tidak menciptakan kita hanya untuk kemudian memusnahkan kita tanpa dasar atau pemberitahuan sebelumnya. Paradigma semacam itu jauh dari sifat-Nya yang Maha Adil dan Maha Bijaksana.
Sebaliknya, interaksi Tuhan dengan manusia diwarnai oleh karunia-karunia agung. Salah satu anugerah terbesar adalah kebebasan memilih. Kita tidak diciptakan sebagai robot yang tanpa sadar mengikuti takdir. Sebaliknya, kita diberikan kapasitas luar biasa untuk menimbang, memutuskan, dan menempuh salah satu dari dua jalan: jalan kebaikan atau jalan keburukan. Pilihan ini adalah inti dari keberadaan kita, sebuah hak istimewa yang membedakan kita dari makhluk lain.
Lebih dari itu, Tuhan membekali kita dengan akal—sebuah alat kognitif yang tiada tara. Akal ini bukan sekadar kemampuan berpikir; ia adalah kompas internal yang memungkinkan kita untuk mengurai kompleksitas dunia, membedakan antara kebenaran dan kesalahan yang samar, serta mengenali mana yang benar-benar bermanfaat bagi jiwa dan raga kita versus mana yang dapat membawa mudarat. Dengan akal inilah kita dapat memproses informasi, merenungkan konsekuensi, dan mengambil keputusan yang terinformasi. Ini adalah fondasi bagi tanggung jawab moral kita, karena tanpanya, kebebasan memilih akan menjadi tanpa arah.
Namun, campur tangan ilahi tidak berhenti di situ. Sebagai manifestasi kasih sayang dan keadilan-Nya, Tuhan secara berkesinambungan mengutus para rasul dan nabi—bagaikan lampu penerang di tengah kegelapan—untuk memperkuat, melengkapi, dan memurnikan pemahaman akal kita. Para rasul ini membawa pesan-pesan ilahi yang berfungsi sebagai panduan, pengingat, dan peringatan.
Maka, dalam skenario di mana sebuah komunitas atau kaum telah diberkahi dengan petunjuk yang terang benderang—baik melalui kemampuan akal yang mereka miliki secara intrinsik maupun melalui serangkaian peringatan dan bimbingan yang dibawa oleh para rasul dan nabi—namun mereka memilih jalan pembangkangan.
Ketika mereka secara terang-terangan dan berulang kali menolak pesan ilahi yang disampaikan kepada mereka, bahkan melampaui batas dengan berani menyerang atau menzalimi para pembawa risalah kebenaran tersebut, dan pada titik itu, ketika semua harapan untuk perubahan atau reformasi dalam diri mereka telah sirna, barulah konsekuensi ilahi yang tak terhindarkan itu tiba. Ini bukan sebuah hukuman yang datang tiba-tiba tanpa sebab, melainkan sebuah respons yang telah melalui tahapan peringatan dan penantian.
Penting untuk dipahami bahwa penghancuran dalam konteks ini bukanlah manifestasi dari kemarahan yang membabi buta atau tindakan sewenang-wenang yang dilakukan tanpa alasan. Sebaliknya, ia adalah konsekuensi yang logis dan adil, sebuah hasil yang tak terhindarkan dari serangkaian pilihan sadar yang dibuat oleh komunitas tersebut.
Hukuman ini lahir dari penolakan mereka yang terus-menerus terhadap kebenaran yang telah disampaikan dengan jelas, dan dari pemberontakan mereka yang nyata terhadap kehendak ilahi yang telah ditunjukkan melalui berbagai tanda dan bimbingan. Ini adalah cerminan dari sistem keadilan sempurna di mana setiap tindakan memiliki akibat, dan setiap penolakan terhadap kebenaran akan membawa pada konsekuensi yang setimpal.
Dengan demikian, Surah Al-An'am ayat 131 ini menjadi penegasan luar biasa tentang keadilan absolut Tuhan. Ayat ini meyakinkan kita bahwa Allah tidak akan pernah menghukum suatu kaum tanpa terlebih dahulu memberikan peringatan yang jelas, petunjuk yang memadai, dan kesempatan berulang kali untuk kembali ke jalan yang benar. Dia selalu membuka pintu taubat dan memberikan pilihan. Penghukuman hanya datang setelah semua jalan menuju kebaikan telah ditutup oleh pilihan manusia itu sendiri, menunjukkan bahwa keadilan-Nya selalu berjalan seiring dengan hikmah dan rahmat-Nya yang tak terbatas.