Memetik Pesan Buya Syafii Maarif dalam Membumikan Islam

Publish

30 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
268
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Memetik Pesan Buya Syafii Maarif dalam Membumikan Islam

Oleh: Khaerul Majdi, Mahasiswa Institut Agama Islam Hamzanwadi Pancor, Lombok Timur

Ahmad Syafii Maarif atau yang akrab disapa buya Syafii merupakan salah satu dari segelintir orang yang diberikan penghargaan sebagai guru bangsa dan intelektual muslim di Indonesia. Dedikasinya dalam merawat keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara melalui pikiran-pikirannya kerap memberi kehangatan bagi mereka yang tekun membaca pemikirannya. Sebagai pembaca yang baru saja mengenal Buya, tentu tidak banyak ulasan yang dapat dipaparkan di sini. Akan tetapi, hal itu tidak menjadi jurang curam yang membuat saya ragu mengulas pemikirannya. 

Di dalam salah satu bukunya yang berjudul “Membumikan Islam : Dari Romantisme Masa Silam Menuju Islam Masa Depan”, Buya Syafii berusaha menampilkan peta ajaran baru yang olehnya disebut sebagai ajaran yang tidak syarat oleh “dosa-dosa” sejarah. Sebagai seorang sejarawan, tentu Buya Syafii mengatakan demikian bukan tanpa alasan. Alasan Buya mengatakan demikian adalah karena teater peradaban yang ditampilkan oleh sejarah Islam sering kali mengandung kejujuran   yang samar. Karena ketidakjujuran sejarah itu lantas mengilhami Buya untuk menapilkan wajah baru peradaban Islam yang jujur dan tanpa “dosa-dosa” sejarah supaya Islam tidak tertinggal dalam buritan peradaban. 

Dalam tulisan sederhana ini saya akan berusaha mengulas secara singkat beberapa pesan-pesan Buya Syafii mengenai Islam sebagai ekspresi peradaban di abad ini dan di sini. 

Pada paragraf sebelumnya sempat disinggung bahwa Buya Syafii ingin memaparkan peta ajaran baru. Peta ajaran baru yang dimaksud oleh Buya adalah ajaran Islam yang bebas dari kungkungan mazhab atau sekte yang tidak karuan. Islam haruslah bercorak non-mazhab dan non-sektarian. Ajaran islam dalam jubah sunni dan syi’ah menurutnya adalah Islam yang sudah tua renta dan sangat lelah. 

Tetapi, ini perlu diperjelas lagi. Mazhab yang seperti apa yang dimaksudkan oleh Buya Syafii. Apakah mazhab pemikiran ataukah mazhab fikih? Hal ini sulit kita tentukan karena Buya sendiri tidak menjelaskannya secara langsung. Tetapi, saya beranggapan bahwa mazhab yang dimaksud oleh buya bukan persoalan fikih, tetapi mazhab dalam aliran akidah yang selama ini dipertentangkan. Kenapa demikian? Karena dalam sejarah belum ada peristiwa yang menimbulkan pertentangan yang begitu lama sampai berabad-abad mengenai persoalan hukum fikih. Kalaupun ada, itu hanya sebatas khilafiah. Beda halnya dengan mazhab pemikiran yang telah terdekte oleh sejarah. Aliran/mazhab pemikiran seringkali menimbulkan perpecahan yang begitu panjang sampai berdarah-darah seperti pertentangan usang antara sunni dan syi’ah. 

Kenapa hal ini perlu diperjelas supaya tidak menumbulkan asumsi atau klaim bahwa Buya Syafii menolak mazhab fikih dan anti terhadapnya. Maka, hal ini menjadi terang dan jelas. 

Kembali lagi pada inti persoalan, keinginan Buya dalam menampilkan peta ajaran baru dalam bentuk non-aliran merupakan sebuah optimisme untuk menatap Islam di depan karena menurutnya aliran-aliran yang telah lama hidup itu telah mengalami sakit yang sangat kronis dan tidak lagi dapat dipercaya. Islam yang sebenar-benarnya adalah Al-Qur’an yang jujur dan bebas dari kekurangan. 

Muncul sebuah pertanyaan, kenapa aliran-aliran itu tidak lagi dapat dipercaya? Sesungguhnya mereka telah dipercaya oleh sejarah untuk memimpin suatu peradaban tetapi dijalankan secara tidak jujur dan berdarah-darah. Hal itu sangat bertentangan dengan moral transendental yang melekat dalam Al-Qur’an seperti keadilan, kesetaraan, kesatuan, dan kekeluargaan sebagai sumber primer agama Islam. Pertentangan antara Sunni dan Syi’ah misalnya. 

Aliran sunni mengklaim golongan mereka yang lebih pantas memimpin ummat Islam dalam sejarah karena mereka adalah golongan yang mayoritas. Sedangkan syi’ah dan lainnya yang masuk ke dalam golongan minoritas tidak memiliki tempat sama-sekali untuk tampil dalam teater sejarah. Tentu klaim ini sangat tidak logis menurut Al-Qur’an. 

Menurut Buya, logika seperti itu seperti memaksa Tuhan untuk memihak pada kepentingan golongan mereka yang kebetulan menjadi mayoritas. Padahal Tuhan adalah zat yang berdiri sendiri dan tidak mungkin mungkin berpihak kepada satu golongan saja. Apalagi jika menuruti logika Syi’ah yang minoritas akan lebih rancau lagi. Apakah mungkin Tuhan memihak pada segelintir orang yang berada dalam satu golongan dan melupakan berjuta-juta ummat dalam sejarah yang tidak termasuk ke dalam golongan mereka?

Maka, pesan Buya Syafii dalam menanggapi pertentangan usang ini adalah menampilkan wajah Islam yang baru menurut etika Al-Qur’an.  Menurut Buya, wajah Islam yang baru itu berada dalam prinsip ukhuwah islamiyah antara sesama Muslim sebab tanpa ukhuawah yang melahirkan solidaritas sosial dan ekonomi, pembumian ajaran Islam akan tetap berada dalam tahap angan-angan. Untuk membentuk sebuah solidaritas sosial, setiap Muslim haruslah melandasi diri mereka dengan iman. Iman bukan dalam arti umum tetapi iman yang sadar dan kritis. Kesalahan umum ummat sekarang ini adalah berada pada persoalan kurangnya pemahaman tentang iman secara sadar dan mendalam sehingga banyak sekali yang abai dalam menanggapi persoalan sosial dan ekonomi ummat.

Iman menurut Buya syafii memiliki implikasi doktrinal mengenai kesatuan ummat manusia. Manusia adalah satu keluarga. Hubungan antara ajaran monoteisme dan kesatuan ummat inilah yang akan melahirkan prinsip moral yang dikenal sebagai keadilan. Jika ajaran keesaan Tuhan tidak dikaitkan dengan kehidupan kolektif manusia maka yang akan terjadi adalah sikap acuh tak acuh mengenai kehidupan sosial dan tentunya akan menimbulkan ketidakadilan akibat munculnya etika golongan yang saling mengklaim diri benar satu sama lain. “Etik golongan merupakan pangkal sebab dari kecelakaan sejarah ini”, tutur Buya. 

Maka, persoalan tentang golongan-golongan usang yang telah mencabik-cabik solidaritas ummat harus ditinggalkan karena telah bopeng, jauh dari kata anggun. Maka, iman sebagai potensi rohani yang diaktualkan dalam kehidupan manusia itu diharapkan mampu mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan sesuai dengan etika Al-Qur’an seperti keadilan, persamaan, toleransi dan persaudaraan. 

Persoalannya adalah selama ini teater sejarah ummat dalam periode-periode tertentu dan kondisi sosial sekarang ini mewartakan proses memudarnya prinsip-prinsip moral tersebut.  Di antara sebab utama mengapa situasi memudar ini kita derita adalah karena pegangan etik yang kita pedomani bukan sepenuhnya etik Al-Qur’an, tapi lebih banyak etik golongan, organisasi, suku, bangsa, dan kelompok kepentingan. Dan tragisnya, justru kita malah berbanga-bangga satu sama lain. Sungguh sangat disayangkan bahwa perpecahan yang kita derita selama berabad-abad sebelumnya tidak membuat kita sadar dan jera dengan etik golongan ini. 

Selanjutnya, Buya berpesan kepada kita mengenai tantangan yang akan kita hadapi di masa depan kita nantinya. Pertama, Buya berpesan bahwa kendati sejarah kita telah menampilkan keadaan yang teruk dan ketidakjujuran, sebagai Muslim kita tidak seharusnya mencerca realitas sejarah. Bahkan, Buya melarang keras untuk bersikap demikian karena menurutnya sikap yang seperti itu merupakan manifestasi dari kegagalan dan keputusasaan ummat dalam menatap masa depan. 

Sebagai Muslim, kita seharusnya optimis melihat tantangan masa depan dengan jernih dan membarenginya dengan tindakan yang jujur agar tidak ada lagi dosa sejarah yang kita tinggalkan. Bukankah Al-Qur’an telah mewartakan bahwa kita adalah sebaik-baiknya ummat? Warta tersebut jangan dijadikan sebagai alasan untuk berbanga-bangga tetapi haruslah dijadikan sebagai tujuan yang harus dicapai.  

Kedua, untuk menjadi ummat yang tangguh, jangan lagi terpasung oleh jubah kebesaran masa lampau. Masa lalu telah tiada. Tantangan kita lebih kompleks dari jubah masa lampau. Maka, akan menjadi masalah jika dalam menghadapi tantangan yang demikian kompleks, kita malah kembali kepada masa lalu seakan-akan masa tersebut telah memberikan segala-galanya. “Sikap yang betul ialah dengan menjadikan masa lampau itu sebagai sumber inspirasi untuk menatap masa depan dengan rasa percaya diri yang tulen”, pesan Buya.

Ketiga, Al-Qur’an sebagai prinsip moral utama ummat Islam juga telah mewartakan bahwa nanti di masa depan ummat ini akan menjadi saksi peradaban di hapadan seluruh manusia. Saksi akan munculnya sebuah peradaban yang anggun dan jujur. Dan ini masih menjadi tujuan tanpa batas sebagai Muslim. Karena sekali lagi, dalam periode-periode tertentu sejarah kita lebih banyak menampilkan bukti keterpurukan peradaban daripada keberhasilan peradaban. “Kita tidak lagi memiliki wibawa sejarah”, tutur Buya secara jujur sebagai seorang ahli sejarah.

Maka, pesan Buya adalah sebagai seorang Muslim kita juga harus adil dalam menanggapi sejarah yang ada. Kita sering kali menolak corak pemikiran yang berbau asing. Kita seperti kehilangan prinsip. Kita kehilangan daya kritis dan selektif dalam berkomunikasi dengan peradaban asing. Bukankah kita diwartakan sebagai saksi peradaban nantinya? Jika kita menutupi diri dari peradaban asing, bagaimana mungkin kita akan menjadi saksi di atas panggung teater sejarah yang panjang ini? 

Peradaban barat telah membumihanguskan gagasan tentang keberadaan Tuhan. Tetapi di sisi lain, mereka mampu menciptakan kondisi sosial yang cukup baik dan ekonomi yang masif bagi ummat manusia. Sedangkan kita sebagai manusia yang beriman dengan congkaknya mengakui keeasaan Tuhan tetapi gagal membentuk solidaritas kesatuan ummat dan pemerataan ekonomi dan masih terpasung oleh keterbelakangan. Bukankah kita sama saja membelakangi dan membohongi Tuhan?


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Anak Saleh (2) Oleh: Mohammad Fakhrudin Telah diuraikan di dalam “Anak Saleh” (AS) 1, ....

Suara Muhammadiyah

1 August 2024

Wawasan

Tips Menemukan Pendekatan Pembelajaran Terbaik Seperti yang diketahui bahwasanya dunia pendidikan i....

Suara Muhammadiyah

4 July 2024

Wawasan

Politik Kebencian dan Berpikir Kritis Oleh: Sobirin Malian, Dosen FH Univesitas Ahmad Dahlan Hampi....

Suara Muhammadiyah

14 January 2024

Wawasan

Sulthanan-Nashira sebagai Pakaian Politik Islam Oleh: Adrian Al-fatih, Kader Muhammadiyah Sulthana....

Suara Muhammadiyah

22 December 2023

Wawasan

Mengenali Batas Oleh: Ahsan Jamet Hamidi Soekarno, adalah Presiden Indonesia pertama yang berkuasa....

Suara Muhammadiyah

5 November 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah