Meningkatkan Keterampilan Pendidikan Vokasi
Oleh: Wiguna Yuniarsih, Wakil Kepala SMK Muhammadiyah 1 Ciputat Tangerang Selatan
Pendidikan vokasi khususnya jenjang pendidikan tingkat menengah disebut dengan Pendidikan Kejuruan. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan Kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. Tujuan pendidikan vokasi/kejuruan di SMK adalah untuk mempersiapkan generasi mendatang yang memiliki kapabilitas dan daya saing tinggi dalam menghadapi tantangan persaingan kerja global.
Pendidikan vokasi merupakan penggabungan antara teori dan praktik secara seimbang dengan orientasi pada kesiapan kerja lulusannya. Kurikulum dalam pendidikan vokasi terkonsentrasi pada sistem pembelajaran keahlian (apprenticeship of learning) pada kejuruan-kejuruan khusus (specific trades).
Sedangkan orientasi dan visi pendidikan vokasi adalah tercapainya kompetensi dan keterampilan lulusan berupa kemampuan hard skill didukung penguasaan soft skill sebagaimana tuntutan dan kebutuhan dunia kerja dunia industri.
Dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2022 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi dan Pelatihan Vokasi, harus melibatkan siswa, tenaga pendidik seperti guru dan dosen. Sehingga hasilnya akan maksimal. Hal ini penting, sebab sebagai negara dengan populasi besar dan potensi ekonomi yang signifikan, Indonesia perlu memastikan bahwa lulusan SMK, politeknik, dan lembaga kursus memiliki keterampilan yang sesuai dengan permintaan industri.
Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dituntut untuk memiliki kemampuan hard skill dan soft skill yang akan berperan sentral, vital, dan urgen dalam menghadapi dunia kerja. Dunia usaha dan dunia industri (DUDI) berharap besar terhadap lulusan Sekolah Menengah Kejuruan yang memiliki kecakapan, kompetensi, dan keterampilan kerja berupa keterpaduan kemampuan hard skill dan soft skill yang memadai, unggul, siap pakai, dan mumpuni.
Jadi kemampuan hard skill lulusan SMK harus diimbangi dengan kemampuan soft skill yang memadai untuk menunjang karirnya. Hal ini sesuai dengan hasil Penelitian Abbas dkk (2013) yang mengutip studi dari Stanford Research Institute dan Carnegie Mellon Foundation ; bahwa kesuksesan karir seorang di dunia kerja ditentukan oleh soft skill sebesar 75% dan hard skill sebesar 25%. Maknanya adalah bahwa soft skill lebih berperan dalam peningkatan karir dibandingkan dengan hard skill.
Hasil penelitian Kaipa et.al. (2011) juga menyatakan bahwa soft skill menjadi kompetensi esensial dan merupakan kunci sukses bagi seorang tenaga kerja di tempat ia bekerja dan menjadi landasan untuk pengembangan diri. Diantara aspek soft skill yang harus dikuasai peserta didik adalah keterampilan interpersonal, keterampilan kepemimpinan, keterampilan manajemen kinerja, keterampilan budaya, keterampilan komunikasi/persuasi, dan keterampilan manajemen diri (Rahmi dkk, 2021).
Soft skill juga dapat dikaitkan dengan nilai-nilai budaya kerja yang dibutuhkan dunia industri meliputi aspek-aspek kedisiplinan, kejujuran, komitmen, tanggung jawab, kepercayaan diri, etika, tata krama, kerjasama, kreativitas, komunikasi, dan kepemimpinan (Widarto, 2011).
Pada faktanya keterampilan soft skill sulit untuk diajarkan karena terkait atribut atau karakteristik personal setiap peserta didik serta pembiasaan pribadi sebelumnya mempengaruhi perspektif dan kemampuan seseorang untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi secara baik dengan orang lain (Wulaningrum & Hadi, 2019).
Sekalipun sulit untuk diajarkan, SMK tetap harus mengajarkan keterampilan soft skill dan mengintegrasikannya dengan hard skill. Diantara cara untuk mengintegrasikan pendidikan karakter pada pendidikan vokasi adalah ; Pertama, melalui penanaman dan penumbuh kembangan karakter soft skill pada seluruh mapel, misalnya PPKn, Matematika, BK, dan PKK/Kewirausahaan, Pendidikan Agama;
Kedua, penanaman dan penumbuhkembangan karakter soft skill pada seluruh kegiatan ekstrakurikuler, misalnya OSIS, IPM, Paskibra/PI (Pleton Inti), HW, kegiatan keagamaan (SKI, Rebana, dan lain-lain). Ketiga, Implementasi program penguatan pendidikan karakter dan budaya industri, seperti studi banding / kunjungan ke tempat Industri, magang kerja, .
Penguatan pendidikan vokasi melalui kolaborasi dengan dunia usaha dan industri (DUDI) semakin menunjukkan dampak positif. Penyelarasan antara pendidikan vokasi dan kebutuhan industri yang semakin sesuai sasaran berhasil meningkatkan serapan lulusan ke dunia kerja.
Patut disyukuri, bahwa Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi Kemendikbudristek terus mendorong penyelarasan kurikulum pendidikan vokasi dengan kebutuhan industri/dunia kerja, serta meningkatkan mutu tenaga pengajar di bidang vokasi. Misalnya melalui program magang di perusahaan, hingga sertifikasi kompetensi yang menjamin bahwa lulusan vokasi memiliki standar kualitas yang dapat diakui oleh dunia kerja, sehingga memudahkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan atau memulai karir wirausaha.
Hasilnyaa, sesuai dengan survei Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja lulusan SMK dan diploma terus meningkat setiap tahunnya. Peningkatan ini mencerminkan bahwa lulusan pendidikan vokasi semakin diminati oleh dunia usaha dan dunia industri (DUDI). Dari 2020 hingga 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) lulusan SMK mengalami penurunan sebesar 4,24 persen, sementara tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) meningkat sebesar 4,24 persen untuk lulusan SMK, dan 3,29 persen untuk diploma.
Tingkat capaian tersebut terwujud berkat sinergisitas seluruh stake holder pendidikan. Karena itu, harus terus dipertahankan agar lulusan SMK setiap tahun meningkat partisipasinya dalam dunia kerja. Sehingga berdampak positif dalam pembangunan bangsa menuju Indonesia emas tahun 2045. Semoga.