Meminimalisir Dampak Buruk Gawai
Oleh: Amalia Irfani, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar
Judul diatas mungkin terasa jamak di dengar, namun tetap saja walaupun kita sepenuhnya menyadari banyak dampak negatif dari penggunaan gawai, benda mungil sejuta aksi hidup tersebut semakin dekat dan lekat dalam kehidupan kita secara sosial. Kemudahan yang ditawarkan pun semakin membuat siapun kita "terperdaya", di bius lewat narkotika pandangan mata (narkolema). Karena sudah terbukti memunculkan banyak pathos di masyarakat, berbagai kekhawatiran pun bermunculan. Australia dan Prancis misalnya membuat undang-undang untuk melarang anak di bawah usia 16 tahun menggunakan platform media sosial, seperti TikTok, Snapchat Instagram, juga beberapa platform komunikasi lain yang dianggap meresahkan.
Ketakutan rusaknya mental anak bangsa membuat Prancis sejak tahun 2023 mewajibkan orang tua memantau aktifitas sosial anak-anaknya, bahkan jika ada anak yang ingin memiliki akun media sosial, maka harus atas izin dari orang tua. Pemerintah Prancis mewajibkan hal ini karena setelah dilakukan pemeriksaan, analisa lapangan jumlah anak yang telah terpapar dengan aksi melebihi kewajaran mencapai 82 persen. Para remaja tidak sekedar menjual diri dengan konten tak pantas, tetapi juga banyak terlibat narkotika, dan penjualan senjata.
Lalu bagaimana dengan anak-anak dan remaja di Indonesia, apakah terkategori aman dibandingkan dengan dua negara diatas? Jawabannya tentu tidak. Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat konsumtif tinggi terkait menggunakan produk yang promosikan branded dari luar negeri, dengan harga miring dan dapat dibeli secara online. Mengutip berita yang dipublish oleh Tempo Juli 2024, bahwa Indonesia menjadi negara pengguna media sosial terbanyak peringkat keempat dunia dengan jumlah pengguna mencapai 167 juta.
167 juta pengguna bukanlah angka sedikit, jumlah ini diprediksi akan semakin bertambah, jika produksi penjualan gawai/gadget dengan harga miring dan tidak adanya batasan atau aturan tegas bagi masyarakat sebagai pengguna. Namun ada kabar baik dari Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) yang digawangi oleh Meutya Hafid, bahwa akan ada aturan tegas anak di bawah umur mengkonsumsi media sosial. Aturan tersebut tentu saja membutuhkan support sistem optimal khususnya dari orang tua, lingkungan sekitar dan juga masyarakat.
Menjaga Generasi Terpapar Konten Tidak Pantas
Tidak mengherankan jika beredar statement di masyarakat memasukkan anak di pondok pesantren menjadi salah satu solusi agar anak tidak terpapar konten dan tontonan kurang pantas. Pendapat ini tentu memunculkan silang pendapat, tetapi jika dipikirkan seksama memang ada benarnya. Penulis pun sempat melakukan observasi dan wawancara dibeberapa pondok pesantren di Kota Pontianak Kalimantan Barat untuk menemukan jawaban lugas berdasarkan realitas lapangan.
Dari hasil observasi dan wawancara tersebut, penulis temukan beberapa hal menarik misalnya sedikit santri yang merasa gawai harus mereka hindari agar hafalan tidak hilang dan tidak kecanduan. Kebanyakan menyesuaikan situasi, mereka akan berinteraksi kembali dengan gawai saat pulang ke rumah (libur sekolah). Walaupun demikian anak-anak ini masih terkategori aman mental dan spiritualnya.
Para orang tua yang memasukkan anaknya ke pondok pesantren juga memiliki tujuan variatif. Dulu sebelum internet menjadi kebutuhan hidup, para orang tua memasukkan anak ke pondok pesantren agar anak lebih mendalami ilmu agama, membina moral, dan belajar hidup mandiri serta disiplin. Seiring perubahan zaman, tujuan tersebut bertambah, yakni untuk meminimalisir anak agar tidak terpapar konten yang merusak psikis, perundungan siber, serta eksploitasi dan pelecehan seksual secara daring.