Agar Ibadah Shalat Tidak Sia-Sia
Oleh: Suko Wahyudi/PRM Timuran Yogyakarta
Shalat merupakan amal ibadah yang paling utama, tidak hanya sebagai kewajiban esensial bagi setiap Muslim, tetapi juga sebagai sarana spiritual yang paling efektif dalam menumbuhkan dan mengukuhkan keimanan seorang hamba. Dalam setiap gerakan dan lantunan doa yang dipanjatkan, seorang mukmin senantiasa menghadirkan kesadaran akan keagungan Ilahi, merenungi kebesaran-Nya, serta mempererat hubungan ruhaniah yang mendekatkannya kepada Sang Pencipta.
Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim:
"Aku perintahkan kalian atas empat perkara dan melarang kalian atas empat perkara. Aku perintahkan kalian beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah. Tahukah kalian apa makna beriman kepada Allah sebagai satu-satunya Tuhan yang patut disembah? Yakni, bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad SaW adalah Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan melaksanakan perintah kelima (haji) sesuai kemampuan kalian. Begitu juga, aku melarang kalian atas al-dubba'u, al-naqir, al-hantam, dan al-muzaffat. Jadi, peliharalah diri kalian dan sebarkanlah kabar ini kepada orang-orang setelah kalian". (HR. Bukhari: 4368 dan Muslim: 17).
Sebagai manifestasi ibadah tertinggi yang mampu memperkuat keimanan seorang hamba, shalat tidak boleh dilaksanakan dengan sekedar menggugurkan kewajiban. Setiap gerakan dalam shalat mengandung makna yang mendalam dan sarat dengan hikmah, sehingga tidak semestinya dilakukan hanya sebagai rutinitas tanpa penghayatan.
Shalat merupakan jembatan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Rabb-nya, sehingga harus dijalankan dengan sepenuh khusyuk dan ketenangan jiwa. Bagaimana mungkin keimanan dapat bertambah jika shalat dilaksanakan dengan tergesa-gesa, tanpa pemahaman akan makna bacaannya, dan tanpa kehadiran hati yang tulus?
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya". (Al-Mukminun : 1-2).
“Jika engkau hendak mendirikan shalat, sempurnakanlah wudhu, lalu berdirilah menghadap kiblat kemudian bertakbirlah (takbiratul ihram), lalu bacalah ayat-ayat Al-Qur’an yang mudah bagimu, kemudian ruku’lah sampai engkau berdiri tegak, kemudian sujudlah sampai engkau tenang dalam posisi duduk. Kemudian, lakukan itu semua dalam semua shalatmu”. (HR. Bukhari, kitab Al-Adzan 757, Muslim kitab Ash-Shalah 397).
Karena itu ada beberapa hal yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim dalam shalatnya, antara lain:
Meneladani Shalat Nabi SAW
Dalam salah satu haditsnya Nabi Muhammad SAW bersabda, “shalatlah kalian sebagaimana melihat aku shalat”. (HR. al-Bukhari no. 605).
Hadits tersebut merupakan salah satu hadis fundamental dalam Islam, yang menjadi landasan utama dalam penetapan tata cara shalat. Melalui sabda ini, Rasulullah SAW memberikan pedoman kepada umat Islam agar dalam menunaikan shalat, mereka senantiasa berpegang teguh pada tuntunan yang telah beliau ajarkan dan praktikkan.
Rasulullah SAW merupakan figur teladan paripurna dalam beribadah, termasuk dalam shalat. Setiap gerakan, bacaan, dan adab dalam shalat semestinya berlandaskan pada praktik yang beliau ajarkan, tanpa adanya penambahan maupun pengurangan yang tidak bersumber dari sunnah beliau.
Hadits ini mengandung perintah yang bersifat universal, sehingga setiap Muslim memiliki kewajiban untuk mempelajari tata cara shalat yang benar. Shalat bukan sekadar ritual formal, melainkan sebuah ibadah yang harus dilaksanakan sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW. Oleh karena itu, mendalami fiqih shalat bukan hanya menjadi bentuk ketaatan, tetapi juga manifestasi dari pengamalan perintah tersebut.
Dari Aisyah RA, Rasulullah SAW bersabda, “barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami maka amalan itu tertolak”. (HR. al-Bukhari no. 2550 dan Muslim no. 1718, lafazh hadits diambil dari riwayat Muslim).
Sebagai ilustrasi, sahabat Abu Hurairah RA meriwayatkan sebuah peristiwa di mana seorang laki-laki melaksanakan shalat di masjid sementara Rasulullah SAW berada di dalamnya. Setelah selesai, ia mendatangi Rasulullah, namun beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. Laki-laki itu pun mengulanginya, tetapi kembali diperintahkan oleh Nabi untuk mengulanginya lagi. Hal ini berlangsung hingga tiga kali, hingga akhirnya ia memohon kepada Rasulullah agar diajarkan tata cara shalat yang benar. Maka, dengan penuh kebijaksanaan, Rasulullah SAW mengajarinya. (Lihat Shahih al-Bukhari no. 793 dan Shahih Muslim no. 397).
Menjaga Kekhusyukan Shalat
"Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang yang khusyuk dalam shalatnya". (Al-Mu'minun: 1-2).
"Peliharalah semua shalat dan shalat wustha. Dan laksanakanlah (shalat) karena Allah dengan khusyuk". (Al-Baqarah: 238).
Khusyuk merupakan ruh dan inti dari shalat, esensi yang menjadikannya lebih dari sekadar rangkaian gerakan dan bacaan. Ia bukan sekadar kehadiran fisik dalam ibadah, melainkan keterpautan hati yang mendalam dengan Allah SwT, di mana jiwa tenggelam dalam ketenangan dan kesadaran penuh akan kehadiran-Nya.
Dalam shalat, khusyuk terwujud melalui hadirnya hati yang tunduk dan berserah, sejalan dengan ketenangan anggota badan serta keselarasan antara ucapan dan perbuatan. Setiap gerakan, dari takbir hingga salam, sepatutnya dipenuhi dengan kesadaran bahwa seorang hamba tengah berdiri di hadapan Rabb-nya, memuliakan-Nya dengan segenap jiwa dan raga.
Lebih dari itu, khusyuk dalam shalat merupakan bentuk munajat yang intim, di mana seorang hamba tidak hanya mengucapkan doa, tetapi juga merasakan kedekatan dengan Allah SwT dalam setiap sujud dan rukuknya. Ia bukan sekadar kewajiban, melainkan perjalanan ruhani yang mengangkat hati menuju ketenangan, menyucikan jiwa dari hiruk-pikuk dunia, serta menumbuhkan rasa cinta dan ketergantungan yang tulus kepada Sang Maha Pengasih.
Dengan demikian, khusyuk menjadi jembatan yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, menuntun hati untuk merasakan kebesaran-Nya, menghadirkan ketenangan dalam diri, serta menjadikan shalat sebagai puncak keikhlasan dan penghambaan sejati.
Salat yang dikerjakan tanpa kekhusyukan dan tanpa kehadiran hati, meskipun secara hukum tetap sah, namun nilai dan kadar pahalanya bergantung pada sejauh mana kekhusyukan menyertai pelaksanaannya. Sebagaimana yang diriwayatkan dari ‘Ammar bin Yasir RA, ia mendengar Rasulullah SAW bersabda:
"Ada seseorang yang menunaikan salat, namun ia hanya memperoleh pahalanya sebesar sepersepuluh, sepersembilan, seperdelapan, sepertujuh, seperenam, seperlima, seperempat, sepertiga, atau separuhnya". (HR. Abu Daud no 796).
Hadis ini menggambarkan bahwa kekhusyukan bukan sekadar elemen pelengkap dalam ibadah, tetapi merupakan ruh yang menentukan kualitas dan keberkahan salat seseorang. Semakin hadir hati dalam setiap gerakan dan doa yang dilantunkan, semakin sempurna pula nilai ibadah tersebut di sisi Allah SWT.
Khusyuk dalam salat bukan hanya tentang menundukkan kepala dan menjaga gerakan, tetapi juga tentang menghadirkan hati sepenuhnya dalam ibadah, seakan-akan berdialog langsung dengan Allah SWT. Ia mencakup kesadaran penuh akan makna setiap bacaan, ketenangan jiwa dalam rukuk dan sujud, serta kesadaran akan kehadiran Ilahi yang mengawasi setiap gerakan. Dalam keadaan ini, seorang hamba tidak sekadar menjalankan ritual, tetapi benar-benar merasakan ketundukan dan kedekatan dengan-Nya.
Sebaliknya, salat yang dilakukan dengan lalai, di mana pikiran melayang kepada urusan dunia, sementara hati tidak hadir dalam doa akan kehilangan esensinya. Shalat semacam ini tetap sah secara syariat, namun pahalanya berkurang sebanding dengan kadar kelalaian yang menyertainya. Bahkan, dalam ayat Al-Qur’an, Allah SwT memperingatkan mereka yang lalai dalam salatnya:
"Maka celakalah orang-orang yang salat, (yaitu) orang-orang yang lalai dalam salatnya." (Al-Ma’un: 4-5).
Kekhusyukan adalah tanda kesungguhan seorang hamba dalam beribadah. Ia bukan hanya menunjukkan tingkat keimanan, tetapi juga menjadi indikator seberapa besar seseorang memahami hakikat penghambaan kepada Allah. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kekhusyukan harus menjadi bagian dari perjalanan spiritual setiap Muslim. Salah satu caranya adalah dengan memahami makna bacaan salat, menjauhi gangguan yang dapat mengalihkan perhatian, serta memperbaiki niat sebelum berdiri di hadapan-Nya.
Kiat-Kiat Meraih Kekhusyukan
Pertama, seorang mukmin hendaknya mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya dalam menyambut dan menunaikan salat, baik secara lahir maupun batin. Persiapan lahir mencakup kebersihan diri dengan berwudu atau mandi jika diperlukan, mengenakan pakaian yang bersih dan sopan, serta memilih tempat yang suci dan nyaman untuk beribadah.
"Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan". (Al-A'raf: 31).
"Allah tidak akan menerima salat seseorang tanpa bersuci (wudu)". (HR. Muslim No. 224).
Sementara itu, persiapan batin melibatkan penjernihan hati, menghadirkan niat yang tulus, serta menyingkirkan segala gangguan pikiran agar dapat fokus sepenuhnya kepada Allah SWT. Apabila terdapat sesuatu yang mengusik konsentrasi dalam salat, maka selesaikanlah terlebih dahulu urusan tersebut sebelum menghadap Allah dalam ibadah.
Dengan demikian, salat dapat dilaksanakan dengan penuh ketenangan dan kekhusyukan, tanpa terhalang oleh kegelisahan yang mengaburkan kehadiran hati di hadapan-Nya.
Rasulullah SAW bersabda, "Jika telah dihidangkan makan malam, dan waktu salat telah datang, maka mulailah makan malam dan jangan tergesa-gesa sampai selesai.” Ibnu Umar pernah dihidangkan makan dan salat tengah didirikan, namun dia tidak mengerjakannya sampai dia menyelesaikan makannya, dan dia benar-benar mendengar bacaan Imam”. (HR. Bukhari no. 673 dan Muslim no. 559).
Berkaitan dengan hal ini Imam An-Nawawi menjelaskan, “Hadis-hadis ini menunjukkan kemakruhan melaksanakan salat ketika makanan yang diinginkan telah tersedia, karena hal itu akan membuat hatinya terganggu, dan hilangnya kesempurnaan khusyuk, dan juga dimakruhkan melaksanakan salat ketika menahan dua hal yang paling busuk, yaitu kencing dan buang air besar. Karena hal ini mencakup makna menyibukkan hati dan hilangnya kesempurnaan khusyuk”. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 2: 321).
Kedua, menjauhi kemaksiatan dan kembali bertobat kepada Allah SWT, merupakan cerminan dari kesadaran spiritual seorang hamba. Terdapat korelasi yang jelas antara kualitas shalat seseorang dengan kemurnian dirinya dalam menghindari perbuatan yang melanggar ketentuan Ilahi. Semakin khusyuk dan sempurna salatnya, semakin terjaga pula kesuciannya dari segala bentuk kemaksiatan.
Semakin seorang hamba menjauhkan diri dari kemaksiatan kepada Allah SWT, semakin khusyuk dan sempurna pula salat yang ia dirikan. Kejernihan hati yang terbebas dari dosa menjadi lentera yang menerangi kekhusyukan, menjadikan setiap rukuk dan sujudnya sarat dengan ketundukan dan keikhlasan.
"Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Ankabut: 45).
Ketiga, menunaikan Shalat di Tempat yang Jauh dari Kebisingan dan Gaduh. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya orang yang shalat itu berbisik-bisik (munajat) dengan Rabbnya, maka hendaknya ia memperhatikan apa yang ia bisikkan kepada-Nya, dan janganlah kalian saling mengeraskan bacaan Al Qur’an.” (Diriwayatkan oleh Malik dan Bukhari dalam Khalqu Af’alil ‘Ibad, sanadnya shahih”. (Shifatush Shalah, hal. 81).
Hadis ini mengandung anjuran Rasulullah SAW untuk tidak mengeraskan bacaan Al-Qur’an, agar tidak mengganggu mereka yang sedang shalat, serta demi menjaga kekhusyukan dalam beribadah. Oleh karena itu, bagi siapa pun yang ingin melaksanakan shalat dengan kehadiran hati dan kekhusyukan, khususnya bagi wanita, sebaiknya memilih tempat yang paling tenang di dalam rumah, jauh dari kebisingan, keramaian, serta pandangan orang lain.
Keempat, menghayati Makna Bacaan Shalat, Al-Quran diturunkan agar direnungkan dan dihayati maknanya. Sebagaimana firman Allah SWT, “Ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah, supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai fikiran”. (Shaad: 29).
Sikap penghayatan tidak akan terwujud tanpa pemahaman yang mendalam terhadap setiap makna yang kita baca. Dengan memahami makna tersebut, seseorang akan mampu menghayatinya dan merenungkannya dengan penuh ketulusan, hingga akhirnya air matanya mengalir, tersentuh oleh kedalaman makna yang meresap ke relung hatinya.
Dalam hal ini Allah SwT berfirman: “Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Robb mereka, mereka tidaklah menghadapinya sebagai orang yang tuli dan buta”. (Al-Furqan: 73).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SwT menekankan pentingnya perhatian terhadap makna yang terkandung dalam setiap ayat yang dibaca.
Menjaga Waktu Shalat, merupakan salah satu aspek penting dalam menjalankan sholat adalah melaksanakannya tepat waktu.
"Sesungguhnya shalat memiliki waktu yang telah ditetapkan bagi orang beriman". (An Nisaa’: 103).
Melaksanakan shalat sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh syar’i adalah lebih sempurna oleh karena itu Nabi SAW bersabda ketika menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya :
“Amalan apakah yang paling dicintai Allah ? Beliau menjawab : Shalat tepat pada waktunya". (Hadits Riwayat Bukhari, Kitabul Mawaqit, bab, Fadhlul Shalat Liwaktiha, dan Muslim. Kitabul Al-Iman, bab Launul Iman billahi Ta’ala afdahl Al-Amal).
Dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “shalatlah sesuai dengan waktunya”. (HR. Muslim no. 648).
Adapun waktu-waktu shalat adalah sebagai berikut:
Zhuhur, waktunya dari tergelincirnya matahari hingga bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya.
Ashar, waktunya dari saat bayangan semua benda sama panjang dengan aslinya hingga terbenamnya matahari.
Maghrib, waktunya dari terbenamnya matahari hingga hilangnya warna kemerah-merahan pada senja.
Berdasarkan sabda Nabi SAW, “waktu shalat Maghrib selama warna kemerah-merahan pada senja belum hilang”. (HR. Muslim).
Isya’, waktunya dari hilangnya merah senja hingga pertengahan malam.
Berdasarkan sabda Nabi SaW, “waktu shalat ‘Isya’ hingga pertengahan malam”. (HR. Muslim).
Shubuh, waktunya dari terbit fajar hingga terbit matahari.
Berdasarkan sabda Nabi SAW, “waktu shalat Shubuh dari terbitnya fajar hingga sebelum matahari terbit.“ (HR. Muslim).
Menegakkan shalat adalah manifestasi nyata dari keimanan seseorang, sebuah bentuk kepatuhan yang menghubungkan hamba dengan Rabb-nya. Sebaliknya, meninggalkan shalat merupakan tanda nyata dari kegelapan hati yang berjarak dari cahaya ketuhanan.
Karena itu, janganlah menunda-nunda shalat, terlebih ketika kelapangan waktu masih menyertai kita. Ingatlah Allah SwT di saat lapang, niscaya Dia akan mengingat kita di saat sempit. Barang siapa melupakan Allah, maka Allah pun akan membiarkannya dalam kelupaan. Barangsiapa menyia-nyiakan hak Allah, maka Allah pun akan membiarkan urusannya dalam keterlantaran.
Mengerjakan shalat dengan berjamaah, setiap Muslim memiliki kewajiban untuk menunaikan shalat lima waktu sebagai bagian dari kepatuhan terhadap ajaran Islam. Pelaksanaan salat sebaiknya dilakukan secara berjama'ah di masjid, mengingat keutamaannya yang begitu besar. Shalat berjama'ah tidak hanya melipatgandakan pahala hingga 27 derajat dibandingkan dengan shalat sendirian.
“Shalat berjama’ah lebih utama dua puluh tujuh derajat daripada shalat sendirian”. (HR. Bukhari. no 645 dan Muslim. no 650).
Dari Abu Hurairah RA, ia mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Shalat seorang laki-laki dengan berjama’ah lebih utama (dilipatgandakan ganjarannya) dua puluh lima kali lipat dibandingkan shalatnya di rumah dan di pasarnya. Karena jika dia berwudhu’ lalu menyempurnakan wudhunya. Kemudian keluar menuju masjid hanya untuk shalat. Maka tidaklah ia melangkah kecuali dengan satu langkah itu derajatnya diangkat. Dan dengan langkah itu satu kesalahannya dihapuskan. Jika dia shalat, maka Malaikat senantiasa mendo’akannya selama dia berada di tempat shalatnya: ‘Ya Allah, selamatkanlah dia. Ya Allah, rahmatilah dia.’ Salah seorang di antara kalian senantiasa (dianggap) dalam shalat selama dia menunggu shalat”. (HR. Bukhari. no 647 dan Muslim. no 649).
Setiap langkah yang diayunkan menuju masjid untuk menunaikan shalat berjama'ah, mengandung nilai pahala yang besar. Dalam perjalanan menuju rumah Allah, baik untuk menunaikan shalat berjama'ah maupun ibadah lainnya, selama wudhu yang diambil dari rumah masih terjaga, Allah SWT akan mengangkat derajat orang tersebut, bahkan sebelum ia melaksanakan shalat.
Ketika ia telah memasuki masjid, pahala shalatnya pun telah dicatat sebagai amal ibadah. Lebih dari itu, Allah SWT dengan rahmat-Nya menghapus dosa-dosa kecil yang pernah diperbuat di masa lalu. Para malaikat pun senantiasa memohonkan ampun kepada Allah SWT bagi mereka yang beribadah di masjid, mengiringi taubat dan ketulusan hati mereka dalam mencari ridha-Nya.
Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “barangsiapa bersuci di rumahnya, kemudian berjalan ke salah satu rumah Allah (masjid) untuk melaksanakan kewajiban yang Allah tetapkan, maka kedua langkahnya yang satu menghapus kesalahan dan satunya lagi meninggikan derajat,” wallahu a'lam.