Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (7)

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
519
Sumber Foto Unsplash

Sumber Foto Unsplash

Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (7)

Oleh: Mohammad Fakhrudin dan Iyus Herdiana Saputra

Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (6) telah diuraikan tujuan hidup sebagai rujukan tujuan menikah dengan fokus tujuan kedua, yakni memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Untuk mencapainya, banyak dan berat tantangan yang harus dihadapi. Salah satu tantangan itu adalah keturunan. 

Ada keluarga yang harus berjuang dalam waktu tidak hanya lima tahun baru diberi anugerah anak. Bagi suami istri dan keluarga besarnya yang sadar bahwa tujuan menikah adalah untuk memperoleh keridaan Allah Subhanau wa Ta’ala, memperoleh kebahagiaan dunia akhirat, dan menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya, sebesar dan seberat apa pun tantangan itu pasti dihadapi dengan rujukan tuntunan di dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan cara demikian, hasilnya menenteramkan. 

Ada masalah lain yang juga perlu dipahami sejak dini, bahkan, sejak masa ta’aruf. Pada masa ini tidak semua ihwal calon suami istri dan keluarga besarnya dapat dikenal secara utuh. Boleh jadi, hanya 50% yang dapat saling dikenal, sedangkan sisanya baru diketahui setelah menikah.  Setelah menikah barulah sedikit demi sedikit diketahui watak masing-masing, termasuk kebiasaan-kebiasaan alami yang mungkin dirasa mengganggu suami atau istri (misalnya mendengkur ketika tidur) atau kebiasaan kurang baik (misalnya makan sambil mengecap, makan atau minum sambil berbicara,  sambil berdiri atau berjalan).

Sangat bagus jika sejak awal hal itu sudah dipahami sebagai tantangan yang harus dihadapi bersama. Nasihat bahwa tidak ada orang yang sempurna bukan sekadar ungkapan indah. Memang begitulah yang sebenarnya. Jika sejak dini sudah ada  pemahamanan yang demikian, ketika apa yang dipahami sebagai ketidaksempurnaan suami istri dan/atau keluarga besarnya itu benar-benar terjadi, sudah ada kesiapan menghadapinya. Malahan, berbagai alternatif solusi sudah disiapkan. Bagi orang yang dicintai Allah Subhanahu wa Ta’ala, dia sudah diberi solusi sebelum masalah terjadi.

Pada Ikhtiar Awal Menuju Keluarga Sakinah (7) ini dikemukakan lagi contoh tantangan yang harus dapat diselesaikan dalam hubungannya dengan tujuan kedua menikah. Di samping itu, dikemukakan uraian yang berkenaan dengan tujuan ketiga, yakni menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya.

Perbedaan Pemahaman dan Pengamalan Agama

Pernah diuraikan dalam hubungannya dengan menjemput jodoh bahwa kesamaan akidah harus menjadi kriteria mutlak. Suami istri yang berakidah sama, lebih mudah menghadapi tantangan. Abu Su’ud (Beliau pernah menjadi Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah dan pernah juga menjadi Rektor Universitas Muhammadiyah Semarang) memberikan ilustrasi yang sangat menarik berkaitan dengan kemutlakan kesamaan akidah suami istri. 

Beliau mengemukakan ilustrasi dengan ketidaknyamanan suami istri yang berbeda selera suasana kamar tidur ketika akan tidur. Suami merasa nyaman tidur jika lampu dipadamkan, sedangkan istrinya tidak demikian halnya. Bisa jadi mereka tidak tidur semalam suntuk demi keinginannya mewujudkan cintanya. Demi cintanya, suami membiarkan lampu kamar tidur menyala. Lalu, selang beberapa saat kemudian, dia yakin bahwa istrinya sudah tidur sehingga dimatikanlah lampu. Bagaimana halnya sang istri? Demi cintanya, dia selama beberapa saat membiarkan kamar tidur gelap. Setelah yakin bahwa suaminya sudah tidur, dia menyalakan lampu.  

Dari ilustrasi tersebut, kita memperoleh pelajaran bahwa ternyata perbedaan selera suasana kamar tidur menjelang tidur pun dapat menimbulkan ketidaknyamanan. Pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana halnya jika ada perbedaan akidah antara suami dan istri?

Kesamaan akidah pun ternyata belum menjamin suami istri nyaman apabila ada perbedaan pemahaman dalam hal tertentu karena perbedaan rujukan, baik bacaan maupun guru mengajinya. Misalnya, calon suami berasal dari keluarga yang meyakini bahwa hari lahir berpengaruh terhadap kecocokan jodoh, sedangkan calon istri tidak demikian halnya. Perbedaan mereka ternyata terjadi juga dalam hal yang lain. Ketika istri hamil, suami menghendaki penyelenggaraan menujuh bulan (bahkan ada yang sejak usia kandungan istri empat bulan), sedangkan istrinya tidak. 

Perbedaan-perbedaan dapat juga terjadi pada cara mengerjakan salat. Ketika takbiratul ihram, menurut suami, gerakan tangan lebih dulu baru mengucapkan Allahu akbar, sedangkan menurut istri, gerakan mengangkat tangan dilakukan bersama-sama dengan mengucapkan Allahu akbar. Ketika akan sujud, menurut istri, lutut lebih dulu baru tangan yang diletakkan pada alas salat, sedangkan suami tangan lebih dulu.  

Boleh jadi, masih ada lagi perbedaan. Dalam hal memulai puasa Ramadan, dapat terjadi perbedaan pula. Suami mantap dengan rukyatul hilal, sedangkan istrinya mantap dengan penentuan hisab hakiki.

Sangat ideal kiranya jika perbedaan-perbedaan yang demikian dapat diketahui sejak masa ta’aruf, Namun, sangat mungkin terjadi bahwa ketika masa ta’aruf hal itu dianggap tidak penting dan diperkirakan semua akan baik-baik saja.  Memang ada yang akhirnya baik-baik saja karena suami istri selalu berdoa agar memperoleh petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan berikhtiar dengan mengaji yang menginspirasi memperoleh solusi. Namun, ada suami istri yang justru terganggu kenyamanannya karena perbedaan-perbedaan tersebut. Di dalam kenyataan, ada pernikahan yang berakhir dengan perceraian karena suami istri mempertahankan pemahamannya masing-masing dan saling merendahkan.

Kiranya sangat bijaksana jika suami istri membuka pikiran dan hatinya ketika mengaji. Suami berusaha memahami secara utuh hujjah yang digunakan oleh istri, dan istri berusaha memahami secara utuh juga hujjah yang dijadikan rujukan suaminya. Tidak saling meremehkan. Dengan cara demikian, pikiran dan hatinya tercerahkan. Boleh jadi, kekakuan pandangan dan sikap suami istri disebabkan oleh ketertutupan pikiran dan hatinya. 

Menjadi Rahmat bagi Sesama Manusia dan Alam Sekitarnya 

Perlu ditegaskan bahwa menikah tidak sekadar untuk kebahagiaan suami istri. Ada orang tua. Ada saudara-saudara. Juga tetangga. Bahkan, masyarakat yang lebih luas lagi. Mereka juga berhak berbahagia. Memang begitulah orang Islam harus menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam Al-Qur’an surat al-Anbiya (21): 107. 

وَمَاۤ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّـلْعٰلَمِيْنَ

"Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam."

Berdasarkan ayat tersebut, keluarga muslim harus menjadi rahmat bagi sesama manusia dan alam sekitarnya. Pasangan suami istri yang mempunyai pemahaman tentang pentingnya bersedekah, maka bersedekah terlaksana dengan baik-baik saja. Namun, jika ada perbedaan pemahaman, sangat mungkin bersedekah dianggap sebagai pemborosan. 

Dengan merujuk kepada ayat itu juga kita ketahui bahwa makhluk Allah Subhanahu wa Ta’ala selain manusia pun berhak beroleh rahmat. Agar hal itu terwujud, suami istri harus berislam secara kaffah, yakni berakidah benar, beribadah benar, berakhlaqul karimah, dan bermuamalah sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan as-Sunnah. 

Cukup banyak muslim yang akidah dan ibadahnya belum berpengaruh secara signifikan terhadap pembentukan akhlak mulia, padahal timbangan kebaikan yang memberatkan orang beriman pada hari kiamat adalah akhlak yang baik sebagaimana dijelaskan di dalam HR at-Tirmizi berikut ini.

Dari Abu Darda’ radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا مِنْ شَىْءٍ يُوضَعُ فِى الْمِيزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ وَإِنَّ صَاحِبَ حُسْنِ الْخُلُقِ لَيَبْلُغُ بِهِ دَرَجَةَ صَاحِبِ الصَّوْمِ وَالصَّلاَةِ

“Tidak ada sesuatu amalan yang jika diletakkan dalam timbangan lebih berat dari akhlak yang mulia. Sesungguhnya orang yang berakhlak mulia dapat menggapai derajat orang yang rajin puasa dan rajin salat.” 

Di antara muslim ada yang akhlak bicaranya buruk sehingga menyebabkan tetangganya terganggu, padahal Rasulullah shallallahu a’aihi wa sallam pernah bersabda,

عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ رضي الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللهِ لَا يُؤْمِنُ وَاللَّهِ لَا يُؤْمِنُ، قِيلَ: وَمَنْ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِي لَا يَأْمَنُ جَارُهُ بَوَايِقَهُ

"Dari Abu Syuraih raḍiyallāhu ‘anhu bahwasanya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Demi Allah, tidak beriman, demi Allah tidak beriman, demi Allah tidak beriman. Ditanyakan kepada beliau, Siapa yang tidak beriman wahai Rasulullah? Beliau bersabda, Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya.”

Jika suami istri berislam secara kaffah, binatang dan tumbuh-tumbuhan pun beroleh rahmat. Dikatakan demikian karena mereka memberikan kontribusi terciptanya sistem ekologi yang kondusif, yang sesuai dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan bumi langit lengkap dengan isinya. Semut pun tidak dibunuhnya, tetapi diberi makan. 

Bagi pasangan suami istri yang mempunyai pemahaman sama, perlakuan terhadap semut yang demikian tidak menimbulkan masalah. Namun, bagaimana halnya jika ada perbedaan pemahaman? Semut kecil pun dapat menjadi penyebab masalah besar. 

Sebagai ilustrasi, dapat kita kaji kasus ini. Suami belum mengetahui bahwa semut merupakan salah satu hewan yang tidak boleh dibunuh sehingga seketika melihatnya, langsung menyemprotnya dengan obat serangga dan dengan penuh kekesalan. Namun, pada hari berikutnya semut datang lagi dalam jumlah banyak. Perlakuan suami terhadap semut makin kasar dan mulai menyalahkan orang lain yang dianggapnya "mengundang" semut. Nah, apa yang terjadi jika istri tidak suka dengan ucapan dan tindakan suaminya itu?

Di sisi lain, istrinya memperlakukan semut dengan baik. Dia memberinya makan, bahkan, sambil berbicara dengannya seperti memperlakukan orang. Istri melihat makanan yang disediakannya dibawa masuk oleh semut ke lubangnya secara "gotong royong." Istri bahagia sekali melihatnya.

Sehari, sepekan, sebulan semut ditunggu untuk diberi makan lagi, tetapi tidak muncul juga. Jika dengan "kesuksesannya " itu lalu istri mengolok-olok suami, tentu hal itu dapat menimbulkan hal yang kurang baik. 

Suami istri yang berislam secara kaffah tidak membuat kerusakan di bumi karena paham bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan  sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat, di antaranya, surat al-Qasas (28): 77,

وَا بْتَغِ فِيْمَاۤ اٰتٰٮكَ اللّٰهُ الدَّا رَ الْاٰ خِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَ حْسِنْ كَمَاۤ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْـفَسَا دَ فِى الْاَ رْضِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan."


Allahu a’lam

Mohammad Fakhrudin, 
warga Muhammadiyah, 
tinggal di Magelang Kota 

Iyus Herdiyana Saputra, 
dosen al-Islam dan Kemuhammadiyah, 
Universitas Muhammadiyah Purworejo


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Setelah hijrah ke Madinah dan membang....

Suara Muhammadiyah

23 September 2024

Wawasan

Shalat dan Berkurban sebagai Wujud Syukur Oleh: Mohammad Fakhrudin Sebagai muslim mukmin menyadari....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Wawasan

Pendidikan dan "Gelombang Olok-Olok" di Media Sosial Oleh: Prof. Dr. Abdul Rahman A.Ghani  Ba....

Suara Muhammadiyah

11 October 2023

Wawasan

Meningkatkan Kesejahteraan Bagi Bangsa Indonesia: Tantangan dan Harapan Oleh: Muhammad Himawan Suta....

Suara Muhammadiyah

8 July 2024

Wawasan

Menilai Kualitas Ketakwaan Selepas Ramadhan Oleh: Mohammad Fakhrudin, Warga Muhammadiyah Magelang ....

Suara Muhammadiyah

15 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah