Merupakan kebanggaan dan kehormatan telah menjadi saksi dari perjalanan hidup dan pemikiran tokoh Muhammadiyah Prof Syafiq A Mughni. Pada tahun 2000, saat terpilih sebagai 13 ketua Pimpinam Pusat Muhammadiyah di Jakarta, dan Prof Syafiq A Mughni terpilih sebagai ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, saya mulai banyak berinteraksi dengan beliau. Kesimpulannya adalah, Prof Syafiq sebenarnya adalah sosok yang langka di Muhammadiyah karena kecendekiawanannya yang spesifik. –Prof Dr Haedar Nashir
SIDOARJO, Suara Muhammadiyah – Seiring dengan perjalanan panjang tersebut, ketika Prof Dr Din Syamsuddin memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban pada 2017, Guru Besar Sosiologi UMY tersebut mengaku tak kesulitan untuk mencarikan pengganti beliau. Yang terbersit dipikirannya adalah nama Prof Syafiq A Mughni.
“Menurut saya, yang perlu menjadi perhatian kita kedepan adalah bagaimana memperbanyak orang-orang hebat, yaitu orang-orang yang ar-rasikhuna fi al-‘ilmi. Ini harus menjadi pilar penting di Muhammadiyah karena banyaknya kepentingan strategis,” tegas Haedar Nashir dalam acara peluncuran buku Cendekiawan Melintas Batas: 70 Tahun Perjalanan Syafiq A. Mughni.
Menurutnya, potensi ini perlu segera dikapitalisasi oleh Muhammadiyah demi kepentingan yang lebih besar, yakni merebut sejarah dan bahkan mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. “Tidak perlu massal, tapi harus memperbanyak orang yang disebut elit. Sekelompok orang yang sedikit tapi punya pengaruh yang besar,” ujarnya.
Ada beberapa elit yang dimaksudkan oleh Haedar. Pertama, yang disebut elit adalah mereka yang berilmu. Kedua, mereka yang memiliki kekayaan. Dan yang ketiga adalah mereka yang memiliki kekuasaan. Ketiga aspek inilah yang menurutnya sangat menentukan kehidupan sebuah bangsa dan negara. Karena ketika ketiga aspek itu bersatu, maka akan menciptakan sesuatu yang luar biasa.
Menurutnya, jika ditinjau dari aspek keilmua, tentu Muhammadiyah sudah sangat cukup untuk bisa disebut sebagai elit pada point yang pertama. Namun, untuk point kedua dan ketiga, masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi Muhammadiyah.
“Jadi jika kita ingin merancang Muhammadiyah walau tidak punya masa yang banyak, maka tiga hal itu rebut. Dan ini adalah bagian dari membangun peradaban,” tegasnya.
Untuk bisa mewujudkan itu semua, tinggal bagaimana melalui buku tersebut dapat mendorong serta menginspirasi generasi muda Muhammadiyah untuk menjadi kader cendekiawan yang melintas batas.
Ia menjelaskan bahwa di Muhammadiyah sejatinya sudah banyak orang yang telah mencapai tahap cendekiawan, namun masih eksklusif di dalam. Hal itu menurutnya penting, tapi yang saat ini dibutuhkan adalah seorang cendekiawan yang melintas batas sekat agama, budaya, hingga mampu menjangkau kemanusiaan universal. Inklusif dan dapat diterima banyak pihak, serta mampu berdialog dengan berbagai pemikiran dari berbagai macam kelompok dan golongan. “Itulah yang masih sedikit,” ucap Haedar di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (27/6).
Dalam konteks ini, Haedar pun mengapresiasi Muhammadiyah Jawa Timur yang memiliki banyak orang-orang hebat, yang kemudian mampu mendinamisasi gerakan Muhammadiyah di pulau Jawa wilayah timur. Hingga Muhammadiyah Jawa Timur menjadi kekuatan besar. “Jadi jangan kecil hati jika jumlah kita sedikit dan yang lain banyak. Tapi, jika dari yang sedikit ini banyak yang punya karakter sebagai elit, itu inshaAllah kita bisa menjadi kekuatan yang menentukan,” paparnya.
Melahirkan elit dari tiga matra inilah yang menjadi agenda berat Muhammadiyah saat ini dan ke depan. Pasalnya, tantangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah semakin kompleks dimana mereka yang dulu kita anggap sebagai kelompok tradisional, saat ini mereka sudah memiliki tiga matra tersebut dan mulai mengejar ke arah itu. “Kalau kita lengah, kita akan terlampaui juga oleh yang lain,” tegasnya.
Dalam catatannya, Haedar menegaskan bahwa Muhammadiyah tidak akan bergaya konglomrasi. Muhammadiyah akan tetap memegang teguh karakternya sebagai organisasi bisnis yang sosial atau sosial yang bisnis. Hal ini menurutnya perlu menjadi keyakinan bersama. "Dan Prof Syafiq sudah memenuhi syarat itu dan perlu menjadi role model bagi generasi muda Muhammadiyah," tutupnya. (diko)