Menemui Ayah

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
593
Cerpen SM

Cerpen SM

Cerpen Risen Dhawuh Abdullah 

Suara jejarum hujan yang membentur atap seng teras tak dapat menggoyahkan Sanum dari pandangannya yang terus tertuju pada air yang menggenangi halaman rumahnya. Udara yang begitu dingin seperti tak berarti apa-apa bagi tubuh Sanum. 

Beberapa ekor ayam tetangga berteduh di teras rumahnya, Sanum tak menghiraukan. Sungguh, gadis itu serupa sebuah daun yang hanyut terbawa aliran sungai yang begitu deras. Ia hanyut dalam gejolak batinnya. 

“Apa sebaiknya Sanum menyuruh ibu untuk memperbaiki payungnya yang rusak supaya bisa menemui ayah?” kata gadis kecil itu, suaranya mirip gumaman. 

“Tapi apa ibu mau memperbaiki payungnya yang rusak?” tanyanya kepada diri sendiri. “Sanum tidak yakin kalau ibu mau, apalagi jika ibu tahu tujuan Sanum. Ibu selalu marah-marah jika Sanum hendak bertemu ayah. Padahal kan Sanum hanya ingin bertemu.” 

Sanum terkaget saat ia mendengar suara antar benda keras berbenturan. Ia beranjak dari duduknya, mendekat pada pintu yang sudah terbuka. Rupanya suara yang baru saja ialah suara daun pintu yang berbenturan dengan tembok karena dihantam angin yang kencang. Sanum kembali menutup pintu depan rumahnya itu. Ia berharap ibunya yang tidur tak bangun karena suara itu. 

“Kalau Sanum tidak bilang akan menemui ayah bagaimana, ya? Ahh, ibu pasti bertanya, akan ke mana kamu hujan-hujan begini.” 

Hujan malah kian menderas. Pepohonan berayun-ayun. Sanum melihat sebuah pohon di seberang jalan dekat sawah hampir roboh. Namun tentu ia tak peduli. Beberapa ekor bebek lewat di depan rumahnya, mereka begitu riang, tidak seperti Sanum yang wajahnya penuh gejolak. 

“Atau Sanum berbohong saja, Sanum bilang ke ibu, Sanum akan ke rumah Tania atau Cindy untuk mengerjakan tugas? ... Tapi, ahh, pasti ibu akan menyuruh Sanum menunggu hujan hingga reda. Ahh, tidak-tidak. Sanum tidak akan berbohong. Bukankah berbohong itu dosa? Kalau dosa bisa masuk neraka. Sanum tidak mau masuk neraka,” ucap Sanum dengan polos. Seketika berkelebat sosok Pak Hamdan, guru agama islam di sekolahnya. 

“Atau Sanum tak usah pamitan kepada ibu? Ehh, kalau tidak pamitan, ibu bisa cemaslah. Sanum tak tega bila ibu cemas. Ibu kan pernah menangis gara-gara Sanum pergi bermain jauh seharian tanpa kabar.” Pikiran Sanum terus berkecamuk. Hujan masih menderas. Seolah tak mau berhenti. 

“Semoga hujannya lekas reda,” harap Sanum.  

Saat ia berharap demikian, telinganya menangkap suara ibunya. 

“Sanum? Ibu kira kamu tidur,” kata ibunya, ia mendekat pada Sanum yang duduk di kursi, ibunya langsung memeluknya, tak lebih dari gumpalan awan yang memeluk rembulan saat malam. Hati Sanum semakin bergejolak. Akhirnya ia tidak tahan juga. 

“Ibu, boleh Sanum meminta sesuatu?” 

“Tentu saja. Sanum meminta apa?” 

“Ibu bisa kan perbaiki payung yang rusak?” 

“Untuk apa Sanum?” 

“Ibu mau apa tidak?” 

“Tapi untuk apa?” 

“Ya sudah kalau ibu tidak mau.” 

“Kamu mau pergi bermain? Kalau mau pergi, tunggulah hujan sampai reda. Hujan masih deras, Sanum tak takut dengan petir?” 

Sanum diam di pelukan ibunya. Ia tak merespons kata-kata ibunya. Dugaannya benar, ibunya pasti menyuruhnya untuk menunggu hujan hingga reda. 

“Ayo kita makan. Kamu belum makan kan? Ibu lihat nasi di meja belum berkurang.” 

“Jadi ibu tidak mau memperbaiki payung?” 

“Ibu akan perbaiki, tapi tidak sekarang. Besok ibu akan bawa ke tukang servis payung.” 

Sanum tak puas dengan jawaban ibunya. Ibunya lalu menggiringnya ke dalam rumah, menuju meja makan. Bibir Sanum terlihat biru, wajahnya pucat kedinginan. 

“Seharusnya kamu tadi tidak di luar. Bibirmu sampai biru begitu.” 

Sanum teringat dengan wajah ayahnya. Di tengah-tengah tangannya sibuk dengan sendok, ada sesuatu yang mendesak-desak dari balik dadanya. Selang beberapa menit kemudian Sanum meletakan sendoknya. Nasi beserta sayur asamnya belum habis. Ia beranjak dari duduknya. 

“Lho, Sanum? Belum habis ini.” 

“Sanum sudah kenyang.” Sanum menghilang di balik korden sederhana. 

“Kamu tidak cocok ya dengan sayurnya? Apa ibu buatkan mie goreng? Di dapur ada satu.” 

“Tidak mau.” 

Sanum menutup pintu kamar tidur. Ia kunci dari dalam. Entah apa yang ada di dalam otak gadis kecil itu. Sekarang ia terbaring, matanya beradu tatap dengan genting-genting yang tampak tua. Dadanya kian intens didesak-desak sesuatu dari dalam. 

Di luar hujan mereda, kini yang ada rerintik jarum air. Sanum memandang keluar jendelanya yang tak ditutup, rerintik hujan terbingkai di sana. Ia mendekat pada bingkai jendela. 

Tiba-tiba saja ia melompat jendela. Gadis kecil berambut pendek itu berjalan perlahan melewati pinggir rumah, hingga berpindah ke halaman rumah tetangganya yang tanpa pagar. Sanum berlari, kencang sekali. Hujan masih merintik, ia berbelok ke arah utara di sebuah perempatan jalan yang terjal. Ia berhenti di depan sebuah rumah berteras dengan tampilan menunjukkan orang yang berada. 

“Wah, beruntung, Ati sedang di teras bermain boneka.” 

“Ati, Ati...” Sanum mempercepat langkahnya. 

“Kamu tidak dimarahi ibumu, hujan-hujan begini keluar rumah?” 

Dengan diiringi napas yang ngos-ngosan Sanum menggeleng-gelengkan kepala. 

“Ati, boleh aku pinjam payungmu?” 

“Payung? Sebentar, kuambilkan.” 

Sementara itu ibu Sanum pikirannya tak tenang, setelah ia menggedor-gedor pintu kamar tidur anaknya, setelah ia keluar rumah, dan mengecek kamar tidur anaknya lewat jendela. Ia tak melihat anaknya ada di tempat tidur. 

“Sanum, ke mana kamu? Kenapa harus ngambek begitu kalau tidak cocok dengan sayurnya?” Ia tatap halaman rumah, dedaunan kering begitu banyak mengambang. Hujan kembali deras. 

“Apa aku cari saja, ya?” Petir berpendaran, mungkin di kejauhan ada korban. 

Bersamaan dengan itu, Sanum yang membawa paying terus melangkah dengan tergesa-gesa. Ibunya memutuskan untuk mencari Sanum. Ia susuri jalanan yang tergenang air hujan dengan daun pisang menutup kepala meski sesungguhnya itu tak banyak membantu. Ia datangi rumah teman Sanum satu per satu. Tak ada Sanum. Ia datangi tempat-tempat yang biasanya digunakan Sanum untuk bermain. Tetap tak ada Sanum. 

“Lik Karyo, lihat Sanum tidak?” tanyanya. Ia menghentikan langkah. Lik Karyo yang mengenakan jas hujan murahan turun dari sepedanya yang besinya di sana-sini terdapat karat. 

“Sanum?... Tidak. Aku tidak lihat” 

“Waduh, ke mana ya? Sungguh tidak melihat, Lik?” 

“Iya, sungguh.” 

Kemudian ia mampir ke rumah Mbak Fitri. Ibu Sanum bertanya apa anaknya ada di rumahnya. Mbak Fitri sendiri mempunyai anak seumuran Sanum bernama Yosi. 

“Tidak, Sanum tidak di sini.” 

Ibu Sanum terus mencari Sanum. Seluruh sudut kampung telah ia telusuri. Namun hasilnya nihil. Tak ada Sanum. 

***

“Ayah, Sanum datang. Sanum bawakan ayah payung, supaya ayah tidak kehujanan,” ucap Sanum, yang kini dicari ibunya. “Ayah kenapa hanya diam saja? Oh, Sanum tahu, ayah pasti kedinginan. Kalau begitu, besok Sanum bawakan jaket untuk ayah.” 

Di sekeliling gadis kecil itu berjajar nisan-nisan.•


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Humaniora

Terkadang sesuatu yang sepele dan remeh banyak diabaikan orang. Tapi sesungguhnya berdampak besar da....

Suara Muhammadiyah

20 September 2024

Humaniora

Masa Kecil di Kauman Cerpen Affan Safani Adham Masa kecil saya memang lebih banyak bermain-main di....

Suara Muhammadiyah

19 April 2024

Humaniora

Milad ke-66 Oleh : ESu Setahun usiakudi atas usiamuaku lahir lima enamengkau didirikan lima tujuht....

Suara Muhammadiyah

18 November 2023

Humaniora

Meneladani Ghirah Perjuangan Menghidupkan PCIM-PCIA Malaysia dari Nita Nasyithah Oleh: Windu Wuland....

Suara Muhammadiyah

25 May 2024

Humaniora

Hajjah Hamdah: Perempuan Pengerak Berkemajuan Kalimantan Barat Oleh: Dr. Amalia Irfani, M. Si, LPPA....

Suara Muhammadiyah

7 April 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah