MALANG, Suara Muhammadiyah - Dalam rangka refleksi akhir tahun. Fokal IMM Raushan Fikr mencoba membedah problem dunia pendidikan dalam Lanskap Politik 2024 yang berlangsung di Pan Java Cafe Malang, pada Jumat malam (29/12).
Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof Dr Djoko Saryono menegaskan bahwa pasca pandemi Covid-19, kondisi pendidikan di Indonesia tidak sedang baik-baik saja. Di Kota Malang, misalnya, yang memiliki lebih dari 50 perguruan tinggi swasta, angka putus sekolah di atas 10 ribu. Sementara itu, angka putus sekolah paling banyak justru ada di ibu kota provinsi Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya.
Berbicara lanskap politik 2024, kata Prof Djoko, taruhannya ada pada pendidikan itu sendiri. Menurutnya, hal-hal elementer seperti pendidikan yang seharusnya dinikmati warga bangsa nyatanya belum bisa terpenuhi. Belum lagi adanya ketimpangan digital setelah gencarnya digitalisasi.
Selain itu, antara hasrat untuk meningkatkan kualitas yang tinggi dengan efektivitas pendidikan juga belum serasi. “Misalnya, kita ingin peningkatan kualitas pendidikan dengan efisiensi waktu, biaya, dan seterusnya, tapi pemerintah kemudian malah memangkasnya,” ujarnya.
Karena itu, dia mengkritik bahwa kini kualitas pendidikan terkadang hanya dilihat dari persepsi dan durasi. Misalnya, lulus kuliah cepat dianggap lebih baik. “Apakah ini tidak menyesatkan ketika berhadapan dengan banyak hal. Sehingga proses pendidikan kita tidak hanya ugal-ugalan, tapi juga terburu-buru atau tergesa-gesa,” tegasnya.
Karena itu, Prof Djoko berharap kita semua harus meredefinisi atau mendefinisikan ulang apa itu kualitas pendidikan. “Apakah yang cepat itu pasti berkualitas?” kata profesor yang giat mendampingi para pelaku literasi tersebut retoris.
Adapun terkait jumlah guru, Prof Djoko mengungkapkan fakta menarik bahwa sebetulnya Indonesia ini surplus sarjana pendidikan. Bahkan hingga dua kali lipat dari kebutuhan. Sayangnya, kebutuhan itu belum tentu bisa diakomodasi oleh kebijakan.
Bagi Prof Djoko, sumber daya manusia itu sangat penting, terutama di dunia pendidikan. Ia menegaskan bahwa tidak ada manusia yang siap pakai. “Yang ada manusia siap berlatih dan siap beradaptasi,” tegasnya.
Sementara itu Subhan Setowara menambahkan, refleksi di dunia pendidikan kini menjadi semakin mahal. “Misalnya, sebagai seorang dosen. Ruang refleksi semakin sedikit karena tuntutan mengejar target yang sifatnya administratif,” ujar dosen Hubungan Internasional UMM itu. Termasuk soal riset. Semakin banyak meriset, maka semakin bagus. Jadi, riset yang dilakukan dalam waktu yang lama kini dianggap tidak bagus. Subhan pun mengamini apa yang disampaikan Prof Djoko soal gerak cepat dunia pendidikan. Memang, kata dia, cepat itu baik.
Ketua Fokal IMM Raushan Fikr Achmad San menyampaikan, pihaknya merasa perlu untuk menggaungkan isu pendidikan dalam peta politik tahun depan. Bagaimana ketiga pasangan capres dan cawapres mengurai persoalan pendidikan yang tentu tidak akan pernah selesai seiring dengan perkembangan zaman.
“Pasalnya, pendidikan menjadi salah satu fondasi agar sumber daya manusia Indonesia semakin hari semakin meningkat,” ujarnya.
Sejauh ini, kata Achmad, rasanya belum banyak yang mengangkat diskusi secara detail terkait dengan isu pendidikan dalam lanskap politik 2024. (san/diko)