Mengatasi Bias Sektarian dalam Menafsirkan Al-Qur`an (2)
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Meskipun sulit untuk menarik garis perbedaan yang tegas, ketakutan itu selalu ada bahwa seseorang menulis atau menghasilkan tafsir dengan kecenderungan tertentu yang didukungnya. Tetapi yang sering hilang pada kaum Sunni adalah bahwa kaum Sunni sendiri menggunakan Al-Qur`an untuk mendukung posisi mereka. Benar bahwa posisi yang ekstrem tidak ada karena umat Islam tidak akan memperdebatkannya atau menyimpang dari sesuatu itu begitu jelas dalam Al-Qur`an. Perdebatan hanya akan terbit di kalangan umat Islam saat ada hal-hal yang tidak begitu jelas dalam Al-Qur`an.
Meskipun demikian, kita akan menemukan, khususnya, tren yang sangat menonjol dalam tafsir Sunni, yaitu dukungan untuk takdir. Sebelum kaum Mu'tazilah, ada kelompok yang dikenal dengan Qadariyah. Mereka menganut paham qadar. Hari ini qadar dipahami umat Islam segala sesuatu telah ditakdirkan dan ditetapkan, tetapi ketika Qadariyah menggunakan ini, mereka memahami qadar sebagai ‘kekuatan.’
Penganut Qadariyah meyakini manusia memiliki kemampuan dan kekuatan untuk mewujudkan keinginannya. Jadi kita berniat sesuatu maka kita akan melakukannya. Kita melakukannya dengan kemampuan kita, dan karena itu kita dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan ketika kita memilih jalan yang salah dan melakukan kesalahan. Sedangkan posisi Sunni tegas menyatakan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِٱللَّٰهِ— Tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah.
Bagi Qadariyah, harus ada hubungan antara kebebasan dan tanggung jawab. Jika Anda tidak bebas untuk bertindak, maka Anda tidak dapat dimintai pertanggungjawaban. Tetapi kaum Sunni condong ke arah penekanan kekuatan dan kendali Allah sedemikian rupa. Mereka yang mempelajari pendapat atau buku-buku Sunni tentang hal ini akan kesulitan menjelaskan bagaimana manusia akan bertanggung jawab. Pada dasarnya keyakinan Sunni menegaskan bahwa Allah memegang kendali penuh. Apa pun yang Anda lakukan, Anda jatuh ke dalam garis apa yang telah Tuhan takdirkan untuk Anda.
Tentu saja, keseimbangan yang tepat dari semua ini adalah dengan mengatakan bahwa Tuhan telah memberi kita kebebasan terbatas. Dalam lingkup tertentu yang terbatas, kita memiliki kebebasan untuk bergerak tetapi dalam batasan keterbatasan. Kita memiliki kebebasan dan untuk menjalankan kebebasan itulah kita dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat. Tapi tidak seperti itu cara pandangnya.
Kaum Sunni menegaskan bahwa secara rinci bahwa segala sesuatu telah ditakdirkan untuk Anda. Anda tidak tahu apa yang telah ditakdirkan untuk Anda. Anda berpikir bahwa Anda sedang membuat pilihan antara ini dan itu, dan Anda mengikuti pilihan yang Anda buat. Namun pada kenyataannya, bahkan pilihan Anda secara logis telah ditentukan sebelumnya dalam seluruh skema besar takdir.
Kaum Sunni memasukkan pandangan takdir di setiap titik sedapat mungkin. Bahkan di tempat-tempat di mana kita tidak akan pernah menduga bahwa ini bisa memunculkan tafsir seperti itu. Contohnya ada di surah Al-Baqarah ayat ke-21, “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang menciptakanmu dan menciptakan orang sebelum kamu agar kamu bertakwa atau menjaga diri (dari siksa-Nya),” (QS 2: 21).
Takwa adalah istilah yang sangat kita kenal. Mencapai takwa berarti Anda mencapai kesadaran akan Tuhan. Ayat di atas sebetulnya membuka kemungkinan bagi kita untuk menjadi bertakwa atau tidak bertakwa. Dan itu tidak hanya satu orang tapi buat seluruh umat manusia. Karena Tuhan menciptakan manusia, maka setiap individu memiliki kemungkinan dan pilihan untuk bertakwa atau tidak.
Tetapi mufassir Sunni amat kontras dengan paham Qadariyah. Mereka ingin menunjukkan bahwa gagasan yang dimiliki Qadariyah bahwa manusia memiliki kebebasan itu salah. Yang benar adalah takdir. Segalanya, semua orang, ditakdirkan menjadi seperti apa adanya. Tiap-tiap orang hanya mengikuti tempat dan ruang masing-masing meskipun mereka sadar bahwa mereka sedang membuat pilihan. Tidak. Pilihan-pilihan ini di tingkat yang lebih dalam pasti hanyalah ilusi karena semuanya hanya menyesuaikan diri dengan ketetapan Allah.
Ketika Anda membuat pilihan, Anda hanya memilih persis apa yang Tuhan ketahui sejak zaman azali bahwa Anda akan memilih, dan tidak mungkin Anda bisa memilih sesuatu yang lain. Anda harus memilih persis apa yang Anda pilih. Ungkapan la’allakum tattaquun seolah-olah Tuhan berharap dengan menciptakan manusia, manusia akan menjadi bertakwa. Tapi bagi mufassir Sunni pendapat ini tidak benar. Bagaimana dengan Setan? Apakah Tuhan tahu bahwa Setan akan menjadi seperti Setan? Tidak hanya itu, apakah Tuhan menciptakan Setan menjadi Setan? Dalam pandangan Sunni jawabannya adalah ya. Anda akan menemukan ini dengan jelas dan secara eksplisit dinyatakan dalam pelbagai Sunni, misalnya tafsir Al-Qurtubi. Dalam tafsir ini, kita bisa menemukan pandangan takdir amat kental.
Lalu, apa yang kita bisa lakukan sebagai Muslim hari ini? Kita perlu menyadari bahwa dalam tafsir, orang mencoba mendukung pandangan dari berbagai sekte, kecenderungan serta pandangan masing-masing. Kita perlu mendekati Al-Qur`an dengan pikiran yang jernih dan tidak bias. Kita ingin pesan Tuhan berbicara kepada kita. Karenanya biarlah Al-Quran itu yang berbicara.