Mengenal Cultural Violence dan Dampaknya
Oleh : Dr. Amalia Irfani, M.Si, Dosen IAIN Pontianak/Sekretaris LPP PWM Kalbar
Membaca berita di beberapa portal informasi online tentang berbagai aksi atau tindak kriminal semakin menjamur bahkan diduga dilakukan oleh abdi negara yang idealnya menjadi pengayom membuat banyak masyarakat ketar ketir. Kecemasan sosial muncul dan tidak sedikit masyarakat mengalami/merasakan kecurigaan pada lingkungan dimana ia bersosialisasi.
Ada yang masih berempati, memaklumi bahwa hal tersebut dirasa sah-sah saja, sebab siapapun kita dengan profesi dan gelar tertinggi sekalipun punya peluang untuk terlibat segala hal aksi/interaksi negatif yang merugikan diri dan orang lain. Maka penting menjaga kesehatan mental, di upgrade agar tidak "terpesona" kemewahan dunia (menahan diri) supaya tidak melakukan tindakan amoral. Faktanya banyak pelaku kriminal karena interaksi dengan lingkungan buruk (toxic), awalnya mereka bukan pelaku tetapi secara sadar akhirnya menjadi bagian bahkan aktor karena terpengaruh atau hanya sekedar coba-coba (koneksionisme).
Sebagian besar yang lain menyayangkan jika ada alat negara yang harusnya berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat menjadi pelaku, misalnya judi online (judol). Aktifitas tersebut otomatis akan menurunkan kepercayaan masyarakat, seandainya dilakukan terus menerus dan tidak juga ada tindakan solutif, maka menyebabkan munculnya cultural violence, yakni kekerasan yang terjadi dalam sebuah budaya, dimana hal itu dijustifikasi dan dilegitimasi sehingga diterima masyarakat. Awalnya kekerasan ini berasal dari suatu hal yang menyimpang, namun dibenarkan oleh sebagian pihak, hingga akhirnya diterima oleh masyarakat kemudian dianggap sesuatu yang biasa (normal) atau dapat didefinisikan sebagai kekeliruan yang dibenarkan.
Memahami Cultural Violence
Johan Galtung sosiolog dari Norwegia dalam tulisannya bertutur bahwa setiap bentuk kekerasan saling berhubungan dan dapat saling mempengaruhi. Mengapa demikian ?, jawabannya sederhana karena tiap perilaku apalagi dilakukan oleh seseorang yang memiliki "value" dimasyarakat akan diikuti dan dicontoh, dianggap sebuah pembenaran karena tidak memiliki sanksi sosial (kalaupun ada cepat mereda dan hilang begitu saja) ini disebut sebagai kekerasan kultural. Ia tidak tampak dipermukaan tetapi berefek sistemik bahkan menggurita sehingga sulit diminimalisir. Pembenaran secara kultural namun disadari bahwa perilaku tersebut adalah kesalahan, ditutupi dengan sikap pura-pura.
Masih menurut Galtung kekerasan juga terbagi atas kekerasan langsung dan struktural (tidak langsung). Kekerasan langsung didefinisikan sebagai jenis kekerasan yang umum terjadi dimasyarakat. Misalnya bullying, pencurian, pembunuhan dan kecanduan narkoba. Sedangkan kekerasan stuktural atau tidak langsung didefinisikan kekerasan yang tidak melukai fisik, tetapi merenggut hak dan kehidupan orang lain yang berefek hilangnya kesempatan untuk maju dan berkembang. Contohnya ketimpangan akses pendidikan dan sulitnya mendapatkan pekerjaan di suatu negara.
Definisi diatas beserta contohnya dapat disebut fenomena bukan lagi wacana jika suatu negara melalui pemimpin-pemimpinnya tidak dapat atau mampu menjalankan amanat rakyat sesuai Undang-undang (konstitusi) yang berlaku.
Dampak Cultural Violence
Kebiasaan yang dilakukan terus menerus dan akhirnya membudaya hakikatnya merupakan bentuk baku dari kekerasan sosial. Awalnya dianggap aneh, perlahan mempengaruhi pola pikir, memunculkan kekalutan, kecemasan, di titik akhir diterima secara paksa (sadar), tetapi tidak memiliki hak untuk melawan/menentang sehingga akhirnya dimaklumi. Dampaknya berbagai ketimpangan atau masalah sosial yang muncul semakin sulit untuk diminimalisir. Mirisnya kejadian tersebut telah mengakar terkadang sulit dicari benang merah, karena digeneralisir dengan kejadian atau kasus sebelumnya.
Lalu apa dampak dari cultural violence. Dampak dari kekerasan budaya jelas akan membuat negara akan dipenuhi ketidakpastian, kebingungan jangka panjang, terparah rusaknya stabilitas kepercayaan masyarakat kepada negara dalam hal ini pemerintah.
Jika kepercayaan telah hilang, maka akan sulit untuk mendapatkannya mungkin dalam waktu panjang. Masyarakat akan men-stigma suatu institusi dinilai kurang berintegritas. Padahal integritas merupakan inti pokok dari suatu kepercayaan publik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan sebagai nilai kewibawaan atau kejujuran. Integritas sebagai wujud utuhnya prinsip moral serta etika suatu bangsa dalam sosial kemasyarakatan (bernegara).