Ibrah dari Perang Badar (Bagian ke-3)

Publish

6 September 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
308
Sumber foto : Google (Masjid Darussalam Kota Wisata)

Sumber foto : Google (Masjid Darussalam Kota Wisata)

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Kita sedang membahas pelajaran berharga dari pertempuran pertama dalam sejarah Islam. Apa sebenarnya signifikansi historis dari Perang Badar ini? Perang Badar memiliki makna yang sangat penting karena menjadi tonggak sejarah di mana umat Islam untuk pertama kalinya mampu membela diri dari serangan musuh. Selama 13 tahun di Mekah, mereka mengalami penindasan yang berat. Banyak Muslim yang dipukuli, disiksa, bahkan dibunuh hanya karena memeluk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Padahal, dari sudut pandang Islam, ajaran yang beliau sampaikan bukanlah hal baru, melainkan penegasan kembali ajaran para nabi sebelumnya. 

Namun, bagi penduduk Mekah, ajaran ini sangat bertentangan dengan tradisi nenek moyang mereka sehingga mereka menolaknya dan melakukan berbagai bentuk penindasan terhadap Nabi dan para pengikutnya. Ibnu 'Amr, putra khalifah kedua, meriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari bahwa pada masa itu, siapa pun yang memeluk Islam akan menghadapi penganiayaan, penyiksaan, bahkan pembunuhan. Namun, akhirnya Allah memberikan izin kepada mereka untuk membela diri melalui pertempuran. 

Lalu, pertanyaannya, di manakah Al-Qur`an memberikan izin untuk berperang? Hal ini membawa kita pada pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana seharusnya kita membaca Al-Qur`an. Al-Qur`an tidaklah terlepas dari konteks sosio-politik dan sejarah pada masa diturunkannya. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang melatarbelakangi setiap ayatnya, dan kita perlu memahami konteks tersebut agar dapat menafsirkan ayat-ayat Al-Qur`an dengan tepat. 

Sebagai contoh, ketika kita mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW dan umat Islam berusaha hidup damai di Madinah setelah hijrah, namun mereka terus-menerus diserang, kita dapat memahami ayat-ayat yang memberikan izin untuk membela diri. Izin ini, sebagaimana dicatat oleh para ahli tafsir klasik, tercantum dalam Surah Al-Hajj ayat 39-40. Ayat tersebut pada intinya menyatakan bahwa izin berperang diberikan kepada mereka yang dizalimi dan diusir dari kampung halamannya hanya karena mereka menyatakan, "Tuhan kami adalah Allah." Lebih lanjut, ayat tersebut juga menegaskan bahwa jika Allah tidak mengutus sebagian manusia untuk melawan penindasan, maka tempat-tempat ibadah seperti gereja, sinagog, biara, dan masjid, di mana nama Allah diagungkan, akan hancur. 

Jadi, pembenaran yang diberikan dalam ayat tersebut menyoroti beberapa poin penting. Pertama, kita berhadapan dengan komunitas yang tertindas, yang diserang tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Kedua, mereka adalah orang-orang yang diusir dari rumah mereka, sehingga kehilangan harta benda dan tempat tinggal. Ketiga, terkadang diperlukan untuk mempertahankan tempat-tempat ibadah, tidak hanya masjid, tetapi juga gereja, sinagog, dan biara. Untuk memungkinkan pertahanan tersebut, Allah mengizinkan sebagian orang untuk melawan para penyerang.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut memberikan izin bagi umat Islam untuk membela diri dari serangan. Namun, bagaimana ayat-ayat ini harus dipahami dan diterapkan di masa sekarang? Apakah ada kesalahpahaman atau penyalahgunaan terhadap ayat-ayat tersebut?

Sayangnya, seringkali ayat-ayat ini diabaikan atau disalahartikan. Penting untuk diingat bahwa ayat tersebut berbicara tentang izin untuk membela diri, bukan memberikan legitimasi untuk melakukan agresi. Lebih lanjut, Surah Al-Baqarah ayat 190 dan selanjutnya menegaskan bahwa umat Islam hanya boleh berperang melawan mereka yang menyerang mereka, dan tidak boleh melampaui batas. Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. 

Jadi, bahkan dalam situasi perang yang dibenarkan, terdapat batasan-batasan yang harus dipatuhi. Ketika umat Islam membela diri, masyarakat, komunitas, atau negaranya, mereka wajib mematuhi aturan-aturan perang yang telah ditetapkan. Salah satu prinsip utama adalah mereka tidak boleh menjadi pihak yang memulai agresi atau melakukan tindakan yang melampaui batas. 

Sebelumnya, Anda menyinggung tentang buku-buku biografi klasik tentang Nabi Muhammad SAW yang cenderung menggambarkan beliau sebagai sosok yang agresif. Apakah hal ini turut berkontribusi pada fenomena kekerasan yang terjadi di dunia Muslim saat ini? Jika iya, bagaimana kita bisa mengatasinya?

Salah satu faktor penyebabnya memang bisa jadi berasal dari sana. Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, Allama Shibli Nomani, seorang sarjana India, telah melakukan kajian mendalam terhadap sejarah Islam dan catatan-catatan biografi Nabi Muhammad SAW. Beliau sampai pada kesimpulan yang berbeda dengan gambaran yang dipromosikan oleh para penulis biografi klasik. Allama Shibli menunjukkan bahwa mereka telah memberikan gambaran yang keliru tentang Nabi, menggambarkan beliau sebagai sosok yang gemar berperang. 

Meskipun para penulis biografi klasik itu menganggap gambaran Nabi yang agresif sebagai sesuatu yang positif, bukan berarti mereka merendahkan keagungan beliau. Mereka justru melihatnya sebagai hal yang luar biasa, bahwa beliau adalah seorang pemimpin militer yang sangat cakap dan berhasil memenangkan banyak pertempuran. Namun, mereka gagal memahami bahwa semua pertempuran yang dipimpin Nabi sebenarnya bersifat defensif, bukan ofensif. 

Ketika kita membaca catatan sejarah dengan teliti, kita akan menemukan fakta bahwa pertempuran-pertempuran tersebut dilakukan untuk membela diri. Kesimpulan ini bukan hanya milik umat Islam. Dalam buku berjudul "War and Peace in the World's Religions", terdapat artikel tentang Islam yang ditulis oleh Regin. Artikel tersebut menyoroti bahwa karya-karya biografi tentang Nabi Muhammad SAW banyak ditulis pada masa Dinasti Abbasiyah. Pada masa itu, terjadi pergeseran cara pandang terhadap sejarah Nabi, dipengaruhi oleh konteks ekspansi dan penaklukan yang sedang berlangsung. Umat Islam pada masa itu melihat diri mereka sebagai bangsa yang unggul, dan mereka memproyeksikan citra tersebut kepada Nabi Muhammad SAW, membentuk gambaran beliau sesuai dengan idealisme mereka sendiri. 

Mari kita kembali ke peristiwa setelah pertempuran, khususnya mengenai para tawanan perang. Apa yang dilakukan terhadap mereka? Para ahli tafsir klasik memiliki sebuah kisah menarik tentang hal ini. Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW sebenarnya ingin membebaskan para tawanan tersebut. Namun, kehendak Allah adalah agar mereka dibunuh. Mereka menyusun narasi panjang untuk mendukung pandangan ini. Namun, jika kita telaah lebih dalam, kisah tersebut terasa janggal. Jika memang kehendak Allah adalah membunuh para tawanan, mengapa Dia tidak langsung memerintahkan Nabi-Nya untuk melakukannya? Bukankah itu akan lebih mudah dan menyelesaikan masalah tanpa perlu narasi yang berbelit-belit? 

Para penulis biografi klasik dan komentator menghadapi kenyataan bahwa Nabi Muhammad SAW memilih untuk membebaskan tawanan perang. Meskipun ia membebaskan mereka dan membiarkan mereka hidup, para penulis ini kesulitan menerima bahwa ini adalah hasil yang seharusnya terjadi. Mereka merasa tidak masuk akal untuk membiarkan tawanan perang tetap hidup dan menganggap bahwa membunuh tawanan adalah tindakan yang lebih baik. Oleh karena itu, mereka menciptakan narasi yang menekankan bahwa membunuh tawanan adalah tindakan moral yang benar, meskipun ini bertentangan dengan fakta bahwa Nabi SAW membebaskan mereka.

Namun, Al-Qur'an dengan jelas memerintahkan Nabi Muhammad SAW untuk membebaskan tawanan perang. Misalnya, dalam Surah 47 ayat 4, disebutkan bahwa setelah pertempuran selesai dan tentara musuh telah diikat dengan aman, mereka harus dibebaskan secara cuma-cuma atau dengan tebusan. Hal yang serupa juga disebutkan dalam Surah 8 ayat 67, di mana Nabi Muhammad SAW diperbolehkan untuk mengambil tawanan perang, bukan untuk membunuh mereka. Setelah pertempuran selesai dan situasi telah tenang, ia dapat menukar tawanan tersebut dengan tahanan lainnya atau membebaskan mereka sebagai tanda niat baik.

Bagaimana Nabi Muhammad SAW menangani konsep perang dan perdamaian? Sepanjang periode ini, baik sebelum maupun sesudahnya, jelas bahwa motif utama Nabi adalah untuk menciptakan perdamaian. Beliau hanya berperang ketika benar-benar diperlukan untuk mempertahankan bangsanya. Saat Nabi masih berada di Mekah sebagai seorang nabi yang teraniaya, beliau tidak memiliki bangsa untuk dipertahankan karena beliau diserang oleh kaumnya sendiri. 

Namun, setelah hijrah ke Madinah dan mendapatkan pengikut di wilayah yang berbeda, beliau mengambil tanggung jawab sebagai pemimpin negara untuk melindungi rakyatnya. Pada saat itulah beliau terlibat dalam pertempuran defensif, yang menegaskan bahwa perang bukanlah bagian dari ajaran agama Islam, melainkan langkah untuk mempertahankan negara. Hingga saat ini, tentu saja, negara-negara Muslim seperti negara lainnya memiliki program pertahanan nasional, yang merupakan hal yang wajar.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Pendekatan Integratif Pemberantasan Judi Online Oleh: Dr. Edi Sugianto, M.Pd, Dosen AIK  UMJ d....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Wawasan

Tanggapan atas putusan Mahkamah Konstitusi tentang Syarat Usia Capres-Cawapres Oleh: Dr. phil. Ridh....

Suara Muhammadiyah

17 October 2023

Wawasan

Benarkah Surah Asy-Syu’ara Surah Para Pemusik? Muhammad Zakaria Darlin, Lc., M.A., Ph.D, ....

Suara Muhammadiyah

18 May 2024

Wawasan

Oleh: Ayu Nadya, Mahasiswa S1 Akuntansi Tahun 2021 ITB Ahmad Dahlan Program KKN Plus Institut Tekno....

Suara Muhammadiyah

6 September 2024

Wawasan

Ada Apa Dengan Ekonomi Hijau? Oleh: M. Azrul Tanjung Sejatinya ekonomi hijau bertujuan meningkat....

Suara Muhammadiyah

29 August 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah