YOGYAKARTA, Suara Muhammadiyah - Pada puasa hari ke-10 ini, Masjid Islamic Center kembali mengadakan kajan jelang buka puasa dengan lancar. Jamaah kajian disuguhkan dengan tema kajian yang menarik yaitu “Sastra dalam Islam” dengan fokus pembahasan “pengertian, manfaat dan fungsi karya sastra terhadap peradapan manusia, Bagaimana kedudukan karya satra dalam Islam, dan bagaimana tanggapan masyarakat muslim saat ini terhadap karya sastra (budaya baca)” yang disampaikan oleh pemateri yang luar biasa, Wajiran, S.S., M.A., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi UAD.
Wajiran mengawali ceramah dengan mengenalkan istilah sastra dalam bahasa Aslinya berasal dari bahasa sansekertra diartikan sebagai instruksi atau pedoman. “Shaastra” dalam bahasa sansekerta dibagi dua, Shaas artinya mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk atau instruksi. Sedangkan Traa artinya alat atau sarana. Jadi Sastra Adalah alat atau sarana untuk menyampaikan pengarahan, memberikan petunjuk ataupun instruksi.
Literature : Literatura : littera berasal dari bahasa Yunani yang artinya segala sesuatu yang tertulis harus dibaca. Di dalam kata (segala sesuatu yang tertulis) terdapat makna keindahan di dalam suatu karya tersebut. Nilai yang terkandung didalam karya sastra, yang pertama nilai pendidikan, yang kedua nilai-nilai budaya yang terefleksikan didalam suatu karya sastra,
Kemudian Wajiran mengkaitkan al-Qur'an dengan unsur-unsur sastra. Bahwa Al-Qur’an adalah karya sastra yang Agung. Disebut demikian karena bahasa di dalam Al-Qur’an sangat luar biasa dari segi bahasa isi mengandung segala unsur yang disebutkan di dalam karakteristik-karakteristik suatu karya sastra. Bahkan karya sastra manusia tidak ada sekian persennya dibandingkan karya sastra Al-Qur’an.
Bahkan bisa disebutkan juga bahwa bahasa di dalam Al-Qur’an adalah bahasa yang paling indah bahkan sejak zaman nabi. Banyak sastrawan kafir yang menyombongkan diri dan menuduh bahwa Al-Qur’an buatan Nabi Muhammad SAW sehingga sastra tersebut berpikir mampu mengalahkan bahasa yang berada di dalam Al-Qur’an.
Kemudian bahasa di dalam Al-Qur’an jelas mengandung makna perintah dan mengandung larangan serta nilai-nilai Islam bahkan sejarah nabi-nabi disampaikan di Al-Qur’an juga, dan karya sastra juga begitu. Meskipun bahwa karya sastra buatan manusia itu masih dan sangatlah terbatas.
Al-Qu’ran disebut sebagai karya sastra agung, menurutnya hanya kitab Al-Qur’an yg bisa dihapal di luar kepala oleh jutaan umat manusia, hal tersebut menunjukan bahwa Al-Quran bukan buatan Nabi Muhammad SAW tapi benar-benar wahyu dari Allah. Setiap ayat di dalam Al-Qur’an sesuai dengan kriteria tadi, sudah mengandung unsur-unsur di dalam karya sastra.
"Sehingga jika umat Islam tidak menghargai karya sastra, tentu sangat kontradiktif jika di dalam Al-Qur’an sudah mengandung unsur-unsur karakteristik karya sastra. Sementara kita sendiri tidak menghargai karya sastra. Karya sastra memiliki berbagai fungsi yang menjadikan kebaikan kita semua. Perkembangan modern sekarang umat Islam sudah mulai muncul sastrawan-sastrawan muslim yg mencoba mengangkat nilai-nilai islam didalam karya mereka terutama setelah era reformasi, karna diberikan kebebasan kepada para sastrawan, kemudian bermunculah sastrawan-sastrawan yg memiliki konseop dibidang sastra islam, oleh karna itu di indonesia mengenal sastra islami." Jelasnya
Munculnya sastra islami, menurutnya karena dulu pernah muncul perdebatan sejak sebelum era reformasi bahwa kegiatan bersastra dianggap sebagai kegiatan yang sia-sia tidak ada nilai atau fungsi. Tapi ternyata sejarah pada masa keemasan Islam di abad pertengahan, sangat banyak sastrawan muslim yg sudah mengangkat karya sastra Islam.
Contohnya jalaludin ummi, abu nawas, mereka adalah sastrawan yg periode sebelum pengaruh sastrawan amerika bahkan jika membaca sejarah cerita tentang “Seribu Satu Malam” sangat berpengaruh di era pada saat itu. Sehingga lahir sastrawan-sastrawan di Eropa. Sehingga di indonesia lahir istilah sastra islami di antaranya sastra profetik dipopulerkan oleh Prof. Kunto Wijoyo dari UGM, Wajiran mengatakan bahwa karya sastra yg merepresentasikan tokohnya itu terhadap orang muslim yg karakteristik bagus sesuai dgn nilai-nilai Islam disebutkan sebagai sastra profetik atau profetik litterature karena yg disampaikan dalam karya sastra merupakan penjelasan apa yg ingin diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Kemudian istilah sastra pesantren (islamic boarding school litterature) lahir karena setelah 1998 seperti Ahmad Fuadi yg menulis novel negeri “lima menara” menceritakan ketika ada di pesantren, tentang perjuangan para santri di pesantren dan digambarkan secara menarik. Sastra Transenden (transcendent litterature) biasanya sastrawan yang beraliran sufi biasanya di timur tengah, artinya karya sastra mengangkat perasaan hubungan antara hamba dengan Allah SWT diwujudkan dalam bentuk syair. Sastra sufi hampir sama dengan sastra transcendent. Sufi menyampaikan kaitannya dengan hubungan dengan Allah SWT. Sastra ilahi (devine litteratre) tidak jauh beda dengan Satra Sufi dan Satra Trancendent. Intinya mengungkapkan perasaan bagaimana memiliki perasaan yang dekat dengan Allah SWT.
Tidak semua karya sastra yang berhubungan dengan Islam bisa disebut dengan Islam Litterature. Jadi menurutnya yang disebut sebagai sastra Islam hanya yang mendukung saja karena ada muslim yang mengangkat di lingkungan pesantren tapi justru malah ingin meruntuhkan hal tersebut, banyak terjadi. Sehingga ada pembatasan bahwa yang disebut sebagai Islam litterature adalah karya yg merefleksikan nilai-nilai Islam yang mendukung nilai Islam itu, artinya yg disampaikan di karya sastra itu adalah ingin memotivasi atau ingin mendorong bahwa pembaca tertarik untuk semangat mengimplentasikan islam di dalam kehidupannya. (Rima Zhuz Fani)