Mengenali Fatwa Tarjih Muhammadiyah

Publish

28 August 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
143
Fatwa Tarjih Muhammadiyah

Fatwa Tarjih Muhammadiyah

Mengenali Fatwa Tarjih Muhammadiyah

Oleh: Prahasti Suyaman

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di berbagai bidang senantiasa memunculkan kebutuhan fatwa berkaitan dengan kebolehan atau larangan penerapannya. Di Indonesia, fatwa-fatwa yang berhubungan dengan keagamaan biasanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia. Selain Majelis Ulama Indonesia, masing-masing organisasi masyarakat keagamaan juga memiliki kelompok kerja yang membahas tentang fatwa. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi masyarakat keagamaan yang besar di Indonesia juga memiliki lembaga fatwa tersendiri yang diberi nama Majelis Tarjih. 

Majelis Tarjih berperan dalam memberikan fatwa-fatwa bagi warga Muhammadiyah dalam bidang aqidah, ibadah, akhlak, muamalah duniawiyah. Majelis Tarjih Muhammadiyah menggunakan metodologi tertentu yang disepakati dalam menghasilkan fatwa. Terjadi perkembangan metodologi pemikiran yang dipakai Majelis Tarjih Muhammadiyah sebelum dan setelah tahun 2000, serta pendekatan bayani, burhani dan irfani sebagai manhaj dalam tajdid dan menjadi spirit dalam tarjih.

Apa itu Tarjih?

Tarjih berasal dari kata rajjaha-yurajjihu-tarjihan yang berarti menguatkan. Menguatkan salah satu pendapat di antara pendapat-pendapat ulama yang diperselisihkan (ikhtilâf al-‘ulamâ) disebabkan memiliki dalil yang paling kuat. Dengan pengertian secara bahasa tersebut maka tarjih menghasilkan pendapat yang kuat (rajih) sebagai pendapat yang dipilih untuk diamalkan dan menyisihkan atau meninggalkan pendapat-pendapat yang tidak kuat (marjûh).

Mengutip A. Mukti Ali, Majelis Tarjih berhasil menghasilkan kesatuan paham mengenai masalah-masalah furu’iyah di kalangan warga Muhammadiyah, di sisi lain menimbulkan kelesuan dan kebekuan untuk mengamalkan hukum agama yang belum ditarjihkan. Di kalangan warga Muhammadiyah bahkan muncul anggapan bahwa yang benar hanyalah yang sudah ditarjih dan menjadi keputusan, di luar itu belum dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. 

Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan di atas mengeluarkan edaran berisi: 1. Tarjih bertujuan menggalang persatuan Muhammadiyah dengan mencari dan menetapkan pendapat yang paling kuat, yang paling dekat dengan al-Qur’an dan al-Sunnah. Majelis Tarjih tidak menyatakan bahwa keputusannyalah yang paling benar, dan berseru kepada para ulama agar berkenan membahas keputusan-keputusannya dan memberikan kritikan apabila ada keputusan tarjih yang kurang kuat dan abash dalil-dalilnya. 2. Segala masalah hukum yang tidak diperselisihkan tetap sebagaimana yang sudah ada, asal bersandar kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Metode Ijtihad Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih dalam melaksanakan tugasnya untuk menghasilkan fatwa menggunakan beberapa metode ijtihad, yaitu: ijtihad bayâni, ijtihad qiyâsi, dan ijtihad istishlâhiy. Bayâni dapat dikatakan sebuah usaha menafsirkan satu ayat dzanni dengan ayat yang lain. Dalam kaidah ilmu tafsir, metode tersebut disebut dengan tafsir bi al-ma’tsur; menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lainnya. 

Qiyasi, dimaksudkan sebagai usaha menganalogikan satu permasalahan yang belum ada hukumnya kepada masalah yang sudah ada hukumnya karena adanya persamaan illah, Istishlahy, bertumpu pada konsep maslahah. metode ini biasanya dilakukan untuk suatu perkara yang sama sekali tidak ada nash, baik itu yang qath’I atau pun zhanni, namun didalamnya ada ruh kemaslahatan untuk manusia. Metode yang ketiga dikembangkan oleh Tarjih ke dalam 5 macam pertimbangan yaitu; istihsan, saddu al-dzari’ah, istislah, al-‘urf, dan ijtihad kauniyah. 

Perkembangan selanjutnya, metode ijtihad ini dikembangkan lagi dengan maksud agar tarjih lebih berkonsentrasi dalam Gerakan keilmuan. Tahun 2000 dalam Munas ke-24 dan ke-25 Majelis Tarjih menegaskan bahwa pendekatan bayani, burhani, dan irfani sebagai manhaj atau pendekatan dalam tajdid dan spirit dalam tarjih. 

Pendekatan Bayani

Pendekatan bayani adalah pemahaman agama yang didasarkan atas petunjuk nash al-Qur’an dan hadits. Pendekatan ini adalah yang paling dasar dalam beragama Islam. Menurut al-Jabiri, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan otoritas teks (nash). secara langsung artinya memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikannya tanpa perlu pemikiran; secara tidak langsung memahami teks secara mentah tanpa memerlukan tafsir dan penalaran. Dalam bayani, rasio atau akal tidak memiliki kemampuan memberikan pengetahuan tanpa disandarkan pada teks. Bentuknya adalah keputusan tarjih tentang qunut dalam shalat, tarawih, haji, dan keputusan-keputusan yang berkaitan dengan ibadah mahdah.

Pendekatan Burhani

Pendekatan burhani mendayagunakan akal manusia untuk memahami kebenaran. Istilah Burhan dikenal dalam logika tradisional sebagai bentuk argumentasi paling kuat. Esensi dasar pendekatan burhani adalah penggunaan akal dalam agama. Dalam hukum Islam, akal mendapat ruang dalam ra’yu, sedangkan dalam filsafat dan kalam akal dipahami sebagai pengetahuan tidak langsung yang disimpulkan dari pengetahuan langsung.

Karena epistemologi burhani bersumber pada realitas atau al-waqi’ baik itu realitas alam, sosial humanitas maupun keagamaan, sehingga ilmu-ilmu yang muncul dari tradisi ini disebut sebagai al-ilm al-Husuli, yaitu ilmu yang dikonsep, disusun, dan disistematiskan melalui premis-premis logika atau mantiq.

Dalam manhaj Tarjih Muhammadiyah, penggunaan pendekatan burhani diwujudkan dalam penggunaan pendekatan sosiologi dan antropologi dalam beristinbath. Pendekatan burhani dipakai juga dalam menentukan awal bulan qomariyah.

Pendekatan Irfani

Epistemologi irfani adalah sistem pengetahuan yang bertitik tolak pada al-‘ilm al-hudluri. Pengetahuan irfani adalah merupakan lanjutan dari bayani, pengetahuan irfani tidak diasarkan atas teks bayani, tetapi pada kasyf, yaitu tersingkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. 

Di Muhammadiyah, pendekatan irfani masih dalam pencarian bentuk rumusan meskipun elemen-elemen keruhanian telah dipraktikkan. Ulama-ulama Muhammadiyah menerjemahkan pendekatan irfani dengan pengertian yang sejalan dengan semangat dan pandangan keagamaan di Muhammadiyah.

Penutup

Majelis Tarjih Muhammadiyah telah mengalami perkembangan dalam metodologi istinbath hukum. Pendekatan bayani, burhani dan irfani diterima di Muhammadiyah meskipun untuk pendekatan irfani tidak semua menyetujui dengan mudah terutama di Majelis Tarjih bukan sebagai tiga pendekatan terpisah, melainkan hubungan saling melengkapi, menjadikan praktik hidup di kalangan warga Muhammadiyah terwadahi secara konseptual. 

 

Prahasti Suyaman, Dosen Prodi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sukabumi, juga ketua Majelis Hukum dan HAM PDA Kabupaten Sukabumi.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh Mu’arif  Pada mulanya, Muhammadiyah adalah ”organisasi massa” (non gove....

Suara Muhammadiyah

20 January 2024

Wawasan

Oleh : Chabibul Barnabas, Bendahara Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) PWM Jawa Tengah Kenaikan ....

Suara Muhammadiyah

19 August 2024

Wawasan

IMM: Kedekatan dengan Penguasa dan Makna Diaspora Kader Oleh: Mansurni Abadi, Mantan Pengurus RPK I....

Suara Muhammadiyah

28 June 2024

Wawasan

Dakwah Kultural: Memperluas Dakwah Komunitas dan Akar Rumput Muhammadiyah Oleh: Agus setiyono, Sek.....

Suara Muhammadiyah

13 March 2024

Wawasan

Penguatan Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Lokal ‘Gusjigang’ Oleh: Wakhidah Noor A....

Suara Muhammadiyah

23 July 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah