Integrasi Teori Behavioristik, Kognitif, dan Konstruktivis dalam Teknologi Pendidikan
Oleh: Sadriana Ayu
Perkembangan dunia pendidikan yang semakin pesat membuat para tenaga pendidik banyak mengeksplor berbagai teori yang dapat diterapkan dalam pembelajaran. Salah satunya yakni teori konstruktivisme yang mendukung siswa untuk membangun pengetahuan secara mandiri. Hal ini selaras dengan adanya Kurikulum Merdeka Belajar yang kini menjadi kurikulum utama pembelajaran di Indonesia. Kurikulum Merdeka telah menjadi pendekatan penting dalam upaya pemerintah Indonesia untuk menghadapi tantangan global yang destruktif dan ketidakpastian. Pada intinya, pendekatan ini memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah dan guru dalam merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan perkembangan global. Dalam perubahan ini, pendidikan berbasis teknologi memainkan peran yang krusial. Artikel ini mengeksplorasi integrasi teori behavioristik, kognitif, dan konstruktivis dalam pembelajaran adaptif yang sesuai dengan Kurikulum Merdeka, terutama dalam konteks pendidikan berbasis teknologi.
Dalam konteks pendidikan, teori konstruktivisme merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan baru oleh siswa berdasarkan pengetahuan dan pengalaman sebelumnya. Menurut teori konstruktivisme, siswa tidak hanya menerima pengetahuan dari guru secara pasif, tetapi mereka aktif dalam membangun pemahaman mereka sendiri melalui interaksi dengan materi pelajaran, lingkungan, serta interaksi sosial.
Pada tingkat Pendidikan dasar, teori behavioristik oleh B.F. Skinner memberikan landasan untuk pembelajaran adaptif melalui penggunaan teknologi interaktif. Penggunaan perangkat lunak pembelajaran interaktif dan media pembelajaran yang merangsang respons aktif siswa dapat meningkatkan hasil pembelajaran. Sistem insentif yang positif dan penilaian berkelanjutan juga menjadi alat yang efektif dalam mengukur prestasi siswa.
Pada tingkat Pendidikan menengah, teori kognitif menuntut pemahaman yang lebih abstrak dan kompleks. Oleh karena itu, pembelajaran adaptif harus menekankan pemrosesan informasi yang lebih mendalam. Pembelajaran berbasis masalah, kolaborasi, dan penggunaan alat bantu kognitif seperti peta konsep dan simulasi menjadi metode yang relevan.
Di tingkat pendidikan tinggi, teori konstruktivis menekankan konstruksi pengetahuan oleh individu. Ini mengharuskan pembelajaran adaptif yang memberikan otonomi kepada siswa dalam memandu pembelajaran mereka sendiri. Pendekatan berbasis proyek, pembelajaran mandiri, dan mentorship menjadi instrumen penting dalam mendukung pembelajaran konstruktif.
Integrasi teknologi dalam semua tingkatan pendidikan memberikan alat yang kuat untuk mendukung pendekatan Kurikulum Merdeka. Penggunaan teknologi, seperti media sosial, perangkat lunak pembelajaran, dan alat bantu kognitif, dapat memperkaya pengalaman pembelajaran siswa. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak hanya menciptakan kurikulum yang sesuai dengan tantangan global yang destruktif dan ketidakpastian, tetapi juga memungkinkan pengembangan kemampuan siswa yang beradaptasi dan berinovasi dalam dunia yang terus berubah.
Kata kunci yang telah disusun, lalu dikumpulkan, dipilah, kemudian mengolah seluruh sumber data dengan membaca menelaah pada setiap data, serta mengaitkan dengan pertanyaan yang telah disusun peneliti sebelumnya.
Kurikulum Merdeka: Suatu Tinjauan Singkat
Kurikulum Merdeka adalah pendekatan pendidikan yang memberikan lebih banyak otonomi kepada sekolah dan guru dalam merancang kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan perkembangan global. Hal ini mencerminkan semangat kemerdekaan dan keswadayaan dalam pengambilan keputusan pendidikan. Cholilah, M. (2023) menyatakan implementasi kurikulum merdeka pada dasarnya adalah berorientasi pada peningkatan kompetensi peserta didik beserta segala sistem pendukung yang mengarah demi terwujudnya kualitas lulusan.
Tingkat Dasar : Teori Behavioristik
Tingkat dasar adalah periode penting dalam pembentukan dasar pemahaman dan keterampilan dasar. Teori behavioristik oleh B.F. Skinner menekankan bahwa pembelajaran adalah hasil dari respon terhadap rangsangan eksternal. Dalam Kurikulum Merdeka, ini bisa diwujudkan dengan:
1. Penggunaan Teknologi Interaktif: Penggunaan perangkat lunak pembelajaran interaktif dan media pembelajaran yang dapat merangsang respons aktif siswa.
2. Reward Systems: Menerapkan sistem insentif yang positif untuk mendorong perilaku positif dan hasil yang baik.
3. Penilaian Berkelanjutan: Menggunakan penilaian formatif untuk memberikan umpan balik terus menerus, memungkinkan perbaikan dalam respon siswa.
Riset yang dilakukan oleh Setiawan (2016) Behaviorisme dikatakan bahwa teori perkembangan perilaku yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respon siswa terhadap rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan. Teori belajar behavioristik menekankan pada perubahan tingkah laku serta sebagai akibat interaksi antara stimulus dan respon.
Merencanakan materi pembelajaran yang akan dibelajarkan Idealnya proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru benar-benar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh siswa dan juga sesuai dengan kondisi siswa, sehingga di sini guru tidak akan over-estimate dan atau under-estimate terhadap siswa. Namun kenyataan tidak demikian adanya. Sebagian siswa ada yang sudah tahu dan sebagian yang lain belum tahu sama sekali tentang materi yang akan dibelajarkan di dalam kelas. Untuk dapat memberi layanan pembelajaran kepada semua kelompok siswa yang mendekati idealnya (sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik masing-masing kelompok) kita dapat menggunakan dua pendekatan yaitu siswa, (a) menyesuaikan diri dengan materi yang akan dibelajarkan, yaitu dengan cara guru melakukan tes dan pengelompokkan (dalam hal ini tes dilakukan sebelum siswa mengikuti pelajaran), atau (b) materi pembelajaran disesuaikan dengan keadaan siswa (Atwi Suparman, 1997:108).
Teori behavioristik dapat merekomendasikan pedoman instruksional kepada pendidik, yang berupa stimulus-stimulus yang tepat dalam proses pembelajaran sehingga memunculkan respon peserta didik yang merupakan hasil belajar yang diinginkan. Teori belajar behavioristik menjelaskan bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dari beberapa teori belajar behavioristik yang dikembangkan dapat disimpulkan bahwa untuk memunculkan respon yang diharapkan dibutuhkan penguatan (reinforcement). Aplikasi teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampaun yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti: Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang paling cocok adalah Drill dan Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.
Tingkat Pendidikan Menengah: Teori Kognitif
Pada tingkat menengah, siswa mulai mengembangkan pemahaman yang lebih abstrak dan kompleks. Teori kognitif, seperti yang dikemukakan oleh Jean Piaget, menekankan pentingnya pemahaman dan pengolahan informasi. Dalam Kurikulum Merdeka, ini dapat diimplementasikan dengan:
1. Pembelajaran Berbasis Masalah: Mendorong siswa untuk memecahkan masalah yang memerlukan pemikiran kritis dan pemecahan masalah.
2. Kolaborasi: Menggunakan teknologi yang mendukung kolaborasi dalam proyek-proyek yang mengharuskan siswa untuk berpikir kritis dan berkomunikasi efektif.
3. Penggunaan Alat Bantu Kognitif: Pemanfaatan teknologi seperti peta konsep, simulasi, dan alat bantu kognitif lainnya untuk membantu siswa dalam memproses informasi kompleks.
Tingkat relevansi dari hasil penelitian Nurhalizah, T. (2023) menyatakan Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kurikulum merdeka efektif dalam pembelajaran dan mempermudah pendidik dan lambelajarannya, siswapun merasa nyaman dengan pembelajaran sekarang karena dapat mendorong menjadi lebih aktif dalam belajar, dari aspek kogitif siswa mayoritas dapat mengikuti pembelajaran atau setara dengan 95% siswa.
Pada tingkat pendidikan menengah penerapan teori kognitif dapat lebih kompleks dengan mendorong peserta didik untuk berpikir abstrak, menganalisis informasi yang kompleks, dan menghubungkan konsep-konsep yang lebih abstrak. Teori kognitif dalam pembelajaran merupakan suatu kerangka kerja yang fokus pada proses berpikir, memori, dan pemahaman dalam memproses informasi. Dengan menerapkan strategi pembelajaran yang berdasarkan teori kognitif, kita dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan mendalam bagi peserta didik. Penting untuk diingat bahwa teori kognitif dapat diterapkan dalam semua tingkat pendidikan dan memiliki peran yang signifikan dalam menghargai peran aktif peserta didik, mendorong pemikiran kritis, dan memperkuat koneksi antar konsep. Semoga pemahaman tentang teori kognitif ini dapat membantu para pendidik dalam meningkatkan kualitas pembelajaran dan membantu peserta didik dalam mencapai potensi belajar mereka.
Pendidikan Tinggi: Teori Konstruktivis
Pendidikan tinggi adalah tahap di mana siswa lebih mandiri dalam pembelajaran mereka. Teori konstruktivis, yang dianut oleh tokoh seperti Jean Piaget dan Lev Vygotsky, menekankan pentingnya konstruksi pengetahuan oleh individu. Dalam Kurikulum Merdeka, hal ini dapat dicapai dengan:
1. Pendekatan Pembelajaran Berbasis Proyek: Mengintegrasikan proyek-proyek penelitian dan proyek berbasis masalah dalam kurikulum untuk mendorong konstruksi pengetahuan.
2. Pembelajaran Mandiri: Mendorong siswa untuk mengambil inisiatif dalam memandu pembelajaran mereka sendiri, dengan dukungan pendampingan dosen.
3. Mentorship: Menerapkan model mentorship yang mendukung pembelajaran konstruktif di mana siswa dapat berdiskusi dan berkolaborasi dengan mentor mereka.
Menurut Purba, dkk. (2021) berdasarkan pada karya Piaget, konstruktivisme berbeda dari behaviorime yaitu sebagai pemikiran terstruktur secara inheren untuk mengembangkan konsep dan memperoleh bahasa. Peserta didiksecara aktif mengeksplorasi lingkungan mereka dengan membangun struktur atau skema kognitif yang ada. Pendekatan konstruktivis melihat bahwa kegiatan disediakan untuk membangun pengetahuan anak-anak saat ini dan sesuai dengan tahap perkembangan mereka, dan menantang mereka sehingga melalui proses akomodasi, mereka terus membuat kemajuan.Hal ini didukung oleh Herliani, dkk. (2021) bahwa pembelajaran dengan menerapakan teori konstruktivistik dalam prosesnya di kelas berarti pembelajaran tersebut menekankan pada proses dan kebebasan peserta didik dalam mengeksplorpengetahuan serta upaya dalam mengkonstruksi pengalamannya sendiri.
Teori belajar konstruktivisme menjelaskan bahwa belajar merupakan proses yang menuntut peserta didik untuk aktif dalam membangun pengetahuan secara mandiri. Prinsip dasar dalam teori belajar konstruktivisme yaitu memberi kesempatan peserta didik mengambil peran utama dalam mengendalikan proses berpikir dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Paradigma yang dibangun dalam teori belajar konstruktivisme menekankan bahwa peserta didik memiliki kemampuan awal yang berbeda-beda dalam mengkonstruksi pengetahuan baru. Sehingga peran pendidik adalah menuntun agar proses konstruksi pengetahuan tersebut dapat berjalan lancar.
Teori konstruktivisme membantu peserta didik menemukan suatu ide baru berdasarkan pengalaman dan dukungan pengetahuan yang mereka peroleh sehingga dapat membuat kehidupan peserta didik lebih dinamis dan pengetahuan pun terus bertambah. Kendati demikian, dukungan dari lingkungan belajar yang kondusif juga perlu diperhatikan untuk memaksimalkan hasil yang dicapai oleh peserta didik. Upaya yang dapat dilakukan oleh pendidik untuk mengoptimalisasi teori belajar konstruktivisme dan implementasinya dalam Kurikulum Merdeka yaitu dengan cara merancang pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif tanpa mengabaikan efektifitas dan efisiensi di dalamnya. Selain itu, pendidik juga harus meng-upgrade pengetahuan diri khususnya dalam bidang teknologi agar pembelajaran menjadi tidak monoton dan membosankan. Pendidik juga dituntut dapat memberikan contoh yang lebih konkret dan relevan dengan perkembangan zaman.
Kurikulum Merdeka dalam pandangan teori belajar konstruktivisme sama-sama menganggap pendidikan sebagai bentuk atau bagian dari pengalaman yang diperoleh. Implementasi Kurikulum Merdeka yang berlandaskan teori belajar konstruktivisme ini menekankan aspek kemerdekaan atau kebebasan pada peserta didik maupun pendidik untuk mengembangkan proses pembelajaran berdasarkan pengalaman nyata yang selanjutnya dihubungkan pada konsep abstrak (teori). Oleh karena itu, dalam implementasi Kurikulum Merdeka yang berlandaskan teori belajar konstruktivisme, selain peserta didik, para pendidik juga dituntut untuk terus belajar berdasarkan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan sekitar terutama dalam penerapan Kurikulum Merdeka. Misalnya, dengan melakukan observasi dan narasi dari sesama guru di satuan pendidikan yang berbeda. Hal tersebut bisa menjadi salah satu alternatif untuk dijadikan inspirasi dalam mengoptimalkan penerapan kurikulum merdeka sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik.
Implikasi teori belajar konstruktivisme juga dituangkan ke dalam konsep dasar yang dipakai dalam merancang capaian pembelajaran di Kurikulum Merdeka. Penyusunan capaian pembelajaran ini dimuat lebih sederhana sehingga peserta didik memiliki waktu lebih panjang untuk mencapai kompetensi yang diharapkan secara lebih mendalam. Dalam penyusunan capaian pembelajaran yang disusun berdasarkan fase per fase ini pula pendidik memiliki waktu yang lebih longgar dan leluasa untuk mengembangkan pembelajaran karena tidak terburu-buru untuk menyelesaikan konten isi dalam waktu satu tahun seperti halnya di kurikulum sebelumnya. Seperti yang telah dijelaskan, dalam teori belajar konstruktivisme, belajar dianggap suatu proses konstruksi pengetahuan baru yang dilakukan oleh peserta didik dengan kemampuan awal yang telah mereka miliki, diikuti pengalaman belajar dan interaksi sosial mereka. Dalam konsep ini, peserta didik akan dituntun secara aktif menemukan pengetahuan baru berdasarkan kematangan kognitifnya dengan tujuan membangun pemahaman dan menciptakan suatu karya berdasarkan pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh.Ketika peserta didik telah mampu menciptakan karya artinya mereka sudah memahami dan menguasai kompetensi yang diharapkan. Jika mengacu pada teori belajar konstruktivisme, kemampuan memahami telah berada dalam level tertinggi, berbeda dengan taksonomi bloom dimana memahami berada di level C2.
Sebagai instrumen penting dalam pelaksanaan pembelajaran, Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi sarana untuk menghasilkan pembelajaran inklusi, di mana iklim yang tercipta dalam pembelajaran dapat menerima keberagaman peserta didik dengan segala perbedaan yang dimiliki baik dalam bidang sosial, agama, budaya dan suku bangsa. Pembelajaran inklusi yang diharapkan tercermin dalam penerapan profil belajar Pancasila sebagai upaya untuk mewujudkan tumbuhnya toleransi dalam kegiatan pembelajaran. Kurikulum Merdeka juga diharapkan bisa diimplementasikan secara berkesinambungan dalam jangka panjang. Oleh karena itu, kehadirannya didukung dalam peraturan dalam perundang-undangan yang bersifat fundamental. Akan tetapi, meski telah didukung oleh regulasi yang kuat, keberlanjutan implementasi Kurikulum Merdeka juga memerlukan adanya dukungan masyarakat/publik beserta para orangtua.
Kesimpulan
Integrasi teknologi pendidikan dalam semua tingkatan pendidikan memberikan alat yang kuat untuk mendukung pendekatan Kurikulum Merdeka. Penggunaan teknologi, seperti media sosial, perangkat lunak pembelajaran, dan alat bantu kognitif, dapat memperkaya pengalaman pembelajaran siswa. Oleh karena itu, pendekatan ini tidak hanya menciptakan kurikulum yang sesuai dengan tantangan global yang destruktif dan ketidakpastian, tetapi juga memungkinkan pengembangan kemampuan siswa yang beradaptasi dan berinovasi dalam dunia yang terus berubah.
Sadriana Ayu, Mahasiswa S3 Teknologi Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Dosen Teknologi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar