Wanita sebagai Saksi: Perspektif Al-Qur'an
Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Saya masih membahas seputar ayat-ayat Al-Qur'an yang kerap disalahpahami. Sekarang terkait dengan Surat Al-Baqarah ayat 282 yang mengatur tentang ketentuan saksi. Dalam ayat ini, Allah SWT berfirman, "Dan jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya."
Ayat yang juga dikenal sebagai âyatud-dayn (ayat tentang hutang) ini merupakan ayat terpanjang dalam Al-Qur'an. Ayat ini mencakup satu halaman penuh, berbeda dengan surat-surat pendek seperti Al Ikhlas, Al Falaqa atau An Naas yang ketiganya belum satu halaman meski disertai basmalah.
Ayat ini juga menyangkut penulisan perjanjian hutang. Allah SWT memerintahkan, "Tulislah hutang itu agar tidak ada pihak yang lupa dan menimbulkan kesalahpahaman di kemudian hari." Lebih lanjut, ayat ini juga menjelaskan tentang pentingnya saksi dalam transaksi hutang.
Secara spesifik, ayat ini menyebutkan, "Dan panggillah dua orang lelaki di antara kamu untuk menjadi saksi atas transaksi ini. Jika tidak ada dua orang lelaki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan sudah cukup, sehingga jika salah seorang perempuan lupa atau keliru, maka yang lain akan mengingatkannya." Ayat ini juga menegaskan bahwa para saksi tidak boleh menolak jika dipanggil untuk memberikan kesaksian.
Intinya, ayat ini menekankan pentingnya dua orang lelaki sebagai saksi utama dalam transaksi hutang. Namun, jika tidak memungkinkan, satu orang lelaki dan dua orang perempuan dapat menjadi alternatif solusi.
Beberapa penafsir klasik Al-Qur'an terkadang menggeneralisasi ayat ini dengan menyatakan bahwa kesaksian seorang laki-laki setara dengan kesaksian dua orang perempuan. Namun, interpretasi seperti ini kurang tepat dan perlu dikaji lebih dalam.
Salah satu contoh yang menunjukkan ketidaktepatan interpretasi tersebut terdapat dalam Al-Qur'an Surat An-Nur ayat 6-9. Ayat ini membahas tentang kasus li'an (tuduhan zina) di mana seorang suami menuduh istrinya berzina. Dalam proses persidangan, suami akan bersumpah sebanyak lima kali untuk menegaskan kebenaran tuduhannya. Sementara itu, sang istri juga diberikan hak untuk membantah tuduhan tersebut dengan bersumpah sebanyak lima kali. Jika keduanya tetap pada pendirian masing-masing setelah proses sumpah ini, maka hakim akan memutuskan untuk memisahkan pasangan tersebut.
Kasus li'an ini menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, kesaksian seorang perempuan memiliki bobot yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki. Istri dapat membantah tuduhan suaminya dengan kesaksiannya, sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa kesaksian perempuan selalu lebih rendah daripada kesaksian laki-laki.
Oleh karena itu, penting untuk memahami ayat-ayat Al-Qur'an secara komprehensif dan tidak terburu-buru mengambil kesimpulan dari satu ayat saja. Konteks dan situasi yang melatarbelakangi suatu ayat perlu diperhatikan agar interpretasi yang dihasilkan lebih akurat dan tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Dalam hukum Islam, diakui bahwa terdapat beberapa isu spesifik yang lebih dipahami oleh perempuan karena berkaitan langsung dengan pengalaman dan kondisi mereka. Dalam hal ini, kesaksian perempuan tidak hanya dianggap setara, bahkan bisa lebih diutamakan daripada kesaksian laki-laki karena dianggap sebagai kesaksian ahli.
Misalnya, dalam masalah-masalah terkait menstruasi, kehamilan, atau persalinan, kesaksian perempuan dianggap lebih valid karena mereka memiliki pengetahuan dan pengalaman langsung mengenai hal tersebut. Contohnya, Khalifah Umar bin Khattab pernah berkonsultasi dengan seorang perempuan untuk menentukan masa iddah (masa tunggu) bagi istri yang ditinggal suaminya berperang. Beliau kemudian menetapkan masa iddah selama empat bulan berdasarkan kesaksian perempuan tersebut.
Hal ini menunjukkan bahwa dalam Islam, kesaksian perempuan dihargai dan dianggap penting, terutama dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan perempuan itu sendiri. Pengetahuan dan pengalaman mereka diakui sebagai bentuk keahlian yang dapat memberikan kontribusi berharga dalam pengambilan keputusan hukum.
Kembali pada ayat tentang transaksi, terdapat pihak-pihak yang kerap menggunakan ayat ini untuk menyerang Islam dengan tuduhan bahwa Al-Qur'an bersifat diskriminatif terhadap perempuan. Mereka berargumen bahwa ayat ini seolah-olah merendahkan perempuan karena mensyaratkan dua orang perempuan sebagai pengganti satu orang laki-laki dalam hal kesaksian.
Namun, penting untuk memahami bahwa ketentuan ini tidak dimaksudkan untuk merendahkan perempuan, melainkan merupakan cerminan dari konteks sosial pada masa itu. Ayat ini juga menyebutkan, "Janganlah para saksi menolak ketika mereka dipanggil untuk menjadi saksi." Ini menunjukkan bahwa menjadi saksi adalah tanggung jawab sosial yang harus dipenuhi oleh setiap individu.
Pada masa itu, laki-laki memiliki lebih banyak kebebasan dan mobilitas dibandingkan perempuan. Perempuan seringkali memiliki tanggung jawab domestik yang lebih besar, seperti mengurus anak dan rumah tangga, sehingga sulit bagi mereka untuk meninggalkan kewajiban tersebut untuk memenuhi panggilan menjadi saksi. Dengan demikian, kehadiran dua orang perempuan sebagai saksi dapat menjadi solusi agar salah satu dari mereka dapat saling mendukung dan mengingatkan jika diperlukan.
Oleh karena itu, ketentuan ini lebih bersifat situasional dan tidak dapat digeneralisasi sebagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Penting untuk melihat konteks sosial dan historis di balik ayat tersebut untuk memahami maksud sebenarnya dari ketentuan ini.
Selain itu, pada masa itu, perempuan umumnya tidak memiliki akses pendidikan dan pengetahuan yang setara dengan laki-laki, terutama dalam urusan finansial dan transaksi bisnis. Berbeda dengan zaman sekarang di mana perempuan telah membuktikan kemampuannya dalam berbagai bidang, termasuk memimpin negara sebagai presiden atau perdana menteri.
Dengan mempertimbangkan kondisi sosial pada masa itu, ketentuan dua orang perempuan sebagai saksi dapat dipahami sebagai bentuk perlindungan dan dukungan bagi perempuan itu sendiri. Kehadiran dua saksi perempuan memungkinkan mereka untuk saling menguatkan dan memberikan kepercayaan diri, terutama dalam situasi yang mungkin mengintimidasi seperti persidangan.
Semangat dari ayat ini adalah untuk memastikan keadilan dan kebenaran dalam memberikan kesaksian, bukan untuk mendiskreditkan perempuan. Oleh karena itu, tidak tepat jika ayat ini ditafsirkan sebagai keharusan mutlak untuk selalu menghadirkan dua perempuan sebagai pengganti satu laki-laki dalam segala situasi dan zaman.
Bagi seorang qadhi (hakim), yang terpenting adalah mencapai keyakinan yang memadai terkait kebenaran suatu peristiwa berdasarkan bukti-bukti yang dihadirkan. Jumlah saksi, baik satu, dua, atau lebih, tidak menjadi patokan utama. Bahkan dalam kasus penentuan awal Ramadan, mazhab Hanafi mensyaratkan kesaksian beberapa orang untuk memastikan keakuratan rukyatul hilal (melihat bulan).
Dengan demikian, jika hakim memiliki alasan kuat untuk menerima kesaksian dari satu orang, baik laki-laki maupun perempuan, maka kesaksian tersebut sudah cukup untuk dijadikan dasar keputusan. Selain itu, di era modern ini, terdapat berbagai jenis bukti lain yang dapat dipertimbangkan, seperti bukti DNA, rekaman, atau dokumen tertulis yang sulit dipalsukan. Bukti-bukti ini dapat menggantikan atau melengkapi kesaksian langsung dari individu, sehingga memberikan keyakinan yang lebih kuat bagi hakim dalam memutuskan suatu perkara.