Menghidupkan Amal Usaha Pengajaran Al-Qur’an Bagi Lansia
Oleh: A. Afandi Sumari, S.IKom, M.IKom/Ketua MPI PCM Ngargoyoso
Muhammadiyah adalah gerakan dakwah. Bukan dakwah yang stagnan di mimbar dan podium, tapi dakwah yang bergerak. Bergerak menyentuh kehidupan nyata umat, menyelesaikan masalah-masalah sosial, dan membawa risalah Islam ke dalam denyut kehidupan sehari-hari. Tak heran jika kader Muhammadiyah menjadikan semboyan “Islam agamaku, Muhammadiyah gerakanku” sebagai napas perjuangan mereka.
Dakwah yang bergerak inilah yang diwariskan langsung oleh pendiri Persyarikatan ini, KH Ahmad Dahlan. Ia memulai dakwahnya dari hal paling mendasar: pendidikan dan pengajaran. Keprihatinan beliau terhadap umat Islam yang tidak mampu membaca Al-Qur’an menjadi pangkal pijakan. Di tengah suasana kebodohan, kejumudan, dan penjajahan, KH Ahmad Dahlan hadir tidak hanya sebagai ulama, tetapi juga sebagai guru yang menyingsingkan lengan baju untuk mengajar. Karena bagi beliau, Al-Qur’an bukan hanya untuk dibaca dan dihafal. Tapi untuk dipahami, dihayati, dan dijalani dalam kehidupan nyata.
Sejak awal, Muhammadiyah memosisikan pendidikan sebagai salah satu pilar utama dakwah. Lembaga pendidikan yang didirikan bukan hanya mencetak lulusan akademis, tapi juga generasi yang Qur’ani. Maka saat ini kita mengenal sekolah-sekolah, pondok pesantren, perguruan tinggi, dan tentu saja taman-taman pendidikan Al-Qur’an (TPA) sebagai bagian dari amal usaha Muhammadiyah.
Namun di tengah geliat amal usaha yang semakin maju, ada satu sisi umat yang sering terlupakan. Yaitu mereka yang sudah berusia lanjut dan belum sempat belajar membaca Al-Qur’an sejak kecil. Mereka hidup dalam keterbatasan: waktu, kesempatan, bahkan keberanian untuk belajar di usia senja. Banyak dari mereka yang diam-diam ingin bisa membaca Al-Qur’an, tetapi malu untuk memulai. Malu karena usianya tak lagi muda dan merasa sudah terlambat. Padahal, pintu belajar tak pernah tertutup. Sebagaimana perintah Nabi untuk belajar dari buaian hingga akhir usia.
Sayangnya, tempat belajar bagi mereka sangatlah terbatas. TPA difokuskan untuk anak-anak. Jika para lansia dipaksa untuk bergabung di TPA tentu tidaklah elok. Karena kaum sepuh ini harus tetap dihormati dan dijaga marwahnya. Di sinilah peluang dakwah yang bisa dilakukan oleh PCM atau PRM yang saat ini masih belum memiliki amal usaha. Dari masjid, musholla, atau rumah kita, gerakan memberantas buta Al-Qur’an untuk lansia ini bisa dimulai. Sehingga tidak ada lagi kader Muhammadiyah, PCM, atau PRM yang berdiam diri dengan alasan dana dan sumber daya lainnya belum ada. Sebagai kader Muhammadiyah, kita tidak boleh pasif dalam kondisi apa pun.
Dakwah Muhammadiyah adalah dakwah pergerakan. Bergerak dengan apa yang kita punya: harta, pikiran, tenaga, atau waktu. Sebagaimana dicontohkan oleh KH Ahmad Dahlan. Dan Muhammadiyah, dengan jaringan masjid beserta kader-kader dakwahnya, sejatinya sangat mampu menjawab kebutuhan ini.
Mereka yang telah lanjut usia sesungguhnya adalah ladang dakwah yang subur. Di usia senja, hati lebih terbuka, jiwa lebih lembut, dan keinginan untuk dekat kepada Allah lebih besar. Tidak hanya mengajarkan teknis membaca huruf hijaiyah dan membaca Al-Qur’an, kita bisa menyisipinya dengan kajian ringan; tauhid, akhlak, ke-Muhammadiyahan, tazkiyatun nafs atau tasawuf, dan mengenalkan amaliyah Muhammadiyah kepada mereka. Sehingga dakwah ini akan menyalakan cahaya di ujung perjalanan hidup meraka, dan akan menyiapkan generasi tua dalam menghadapi kematian dengan tenang, dengan membawa bekal yang memadai, dan husnul khatimah.
Amal usaha Muhammadiyah tidak harus selalu berwujud bangunan megah, lembaga formal, atau institusi besar. Membuka pelatihan Iqra’ untuk orang tua, menghidupkan kelas tahsin lansia, atau membentuk kelompok belajar membaca Al-Qur’an bagi orang dewasa dan yang merasa terlambat—semua itu adalah amal usaha. Bahkan bisa jadi, amal yang tampaknya sederhana inilah yang paling utama dan paling dibutuhkan umat saat ini.
Kita patut menengok kembali warisan KH As’ad Humam yang menyusun metode Iqra’ pada awal tahun 1990-an. Kitab kecil itu telah mengubah wajah pendidikan Al-Qur’an di Indonesia. Mengapa tidak kita gunakan kembali? Dengan pendekatan welas asih, metode yang memudahkan, dan suasana belajar yang hangat, insyaAllah para lansia pun bisa belajar dengan nyaman dan bahagia.
Langkah-langkah Mewujudkan Amal Usaha Pengajaran Al-Qur’an bagi Lansia. Agar gagasan ini tidak tinggal wacana, berikut beberapa langkah praktis yang dapat dilakukan untuk memulainya:
Pertama, identifikasi kebutuhan dan potensi. Petakan jumlah lansia yang membutuhkan bimbingan membaca Al-Qur’an serta potensi sumber daya: siapa yang bisa mengajar, tempat yang bisa dipakai, dan dukungan sosial yang tersedia.
Kedua, sosialisasi dan edukasi. Lakukan pendekatan melalui pengajian, khutbah, atau pertemuan warga untuk memotivasi lansia agar tidak malu belajar. Tekankan bahwa belajar membaca Al-Qur’an juga merupakan salah satu bentuk jihad.
Ketiga, siapkan pengajar dan metode. Rekrut kader yang sabar dan bisa mendampingi lansia dengan empati. Sediakan pelatihan singkat dan siapkan modul belajar yang ramah usia tua.
Keempat, tentukan tempat dan waktu. Gunakan masjid, rumah kader, atau ruang serbaguna. Jadwal bisa disesuaikan: pagi setelah subuh, atau sore menjelang maghrib.
Kelima, buat kurikulum ringan dan bermakna. Dimulai dari pengenalan huruf hijaiyah, lanjut ke bacaan surat pendek, hingga pemahaman dasar ibadah. Tambahkan pula muatan ke-Islaman dan ke-Muhammadiyahan.
Keenam, ciptakan lingkungan yang menguatkan. Beri motivasi rutin, buat suasana belajar santai, dan jadikan kegiatan ini sebagai ajang silaturahmi.
Ketujuh, evaluasi berkala dan pengembangan. Lakukan peninjauan efektivitas program. Jika memungkinkan, gagasan ini dapat dikembangkan menjadi program reguler PCM atau PRM.
Dakwah tidak boleh stagnan. Dakwah harus terus mencari celah, menemukan ladang baru, dan merangkul siapa pun dengan hikmah dan kasih sayang. Mengajarkan Al-Qur’an di usia senja adalah salah satu bentuk dakwah yang sangat mulia. Di sana ada cinta, ada perjuangan, ada pengorbanan, dan ada keikhlasan.
Maka mari, wahai kader Muhammadiyah. Kita gerakkan lagi dakwah yang lembut namun mengakar. Kita isi masjid-masjid kita bukan hanya dengan kajian, tapi juga dengan suara terbata para lansia yang mengeja huruf demi huruf, ayat demi ayat dengan penuh perjuangan. Kita jadikan rumah kita sebagai taman-taman belajar Al-Qur’an bagi siapa pun yang ingin dekat dengan kitab suci-Nya. Dan kita siapkan generasi tua kita, para lansia, untuk pulang dalam keadaan membawa cahaya.
Karena sejatinya, di penghujung usia, yang paling dibutuhkan bukan lagi harta, jabatan, atau pencapaian dunia. Yang dibutuhkan adalah ketenangan jiwa, kedekatan dengan Ilahi, dan kemampuan untuk mengucap Laa ilaaha illallah dengan yakin dan mantap. Dan untuk itu, belajar Al-Qur’an—meski terlambat—adalah jalan terbaik.