Menguak Perdebatan Abadi tentang Janji Kehancuran Kedua Bani Israil

Publish

22 August 2025

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
45
Dok Istimewa

Dok Istimewa

Menguak Perdebatan Abadi tentang Janji Kehancuran Kedua Bani Israil

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Menerjemahkan ayat suci Al-Qur'an ke dalam pemahaman modern sering kali menimbulkan pertanyaan dan perdebatan. Salah satu contoh yang paling menarik adalah Surat Al-Isra, ayat 7. Ayat ini bukan sekadar kalimat, melainkan gerbang menuju pemahaman mendalam tentang sejarah Bani Israil dan janji ilahi. Kisah ini berawal dari korupsi dan kejahatan yang mereka lakukan, yang berujung pada dua janji kehancuran. Fokus kita saat ini adalah janji kehancuran yang kedua.

Ayat tersebut menyampaikan pesan yang kuat: "Jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat, maka (kerugian kejahatan) itu untuk dirimu sendiri." Ini adalah prinsip universal tentang konsekuensi perbuatan. Namun, ayat ini tidak berhenti di sana. Ia melanjutkan dengan janji yang menakutkan: "Maka apabila datang saat janji yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajah-wajahmu dan masuk ke dalam Bait Suci (Al-Aqsa), sebagaimana mereka memasukinya pada kali pertama, dan untuk menghancurkan apa saja yang mereka kuasai." 

Ayat ini memicu pertanyaan yang sangat mendasar dan krusial: Apakah peristiwa yang dijelaskan dalam ayat ini sudah terjadi di masa lalu, ataukah ia merupakan ramalan yang masih akan terjadi di masa depan? Pertanyaan ini memisahkan para ulama dan penafsir Al-Qur'an menjadi dua kubu.

Di satu sisi, ada para penafsir klasik yang berpendapat bahwa ayat ini merujuk pada peristiwa bersejarah yang sudah terjadi. Mereka melihat ayat ini sebagai cerminan dari kehancuran Bait Suci Kedua oleh bangsa Romawi pada tahun 70 Masehi. Peristiwa ini dianggap sebagai pembalasan atas kejahatan Bani Israil yang terus berulang.

Di sisi lain, beberapa penafsir modern memiliki interpretasi yang berbeda. Mereka meyakini bahwa ayat ini adalah ramalan yang belum terpenuhi, menunjuk pada peristiwa yang akan terjadi di masa depan. Perbedaan pandangan ini sangat penting, karena memengaruhi cara kita melihat hubungan antara sejarah, janji ilahi, dan masa depan umat manusia. Kita harus menganalisis kedua pandangan ini dengan seksama untuk memahami mana yang memiliki landasan argumen yang lebih kuat.

Ayat-ayat Al-Qur'an sering kali tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa melihat konteks sejarah yang mendalam. Untuk kasus Surat Al-Isra ayat 7 ini, kita harus kembali ke akar permasalahan: kejahatan apa yang dilakukan Bani Israil sehingga mereka menghadapi janji kehancuran?

Pandangan yang dominan, baik dalam tradisi Kristen maupun penafsiran Muslim klasik, adalah bahwa kehancuran ini terkait erat dengan perlakuan mereka terhadap Nabi Isa. Sejarah mencatat, Bait Suci Yahudi di Yerusalem dihancurkan oleh Kekaisaran Romawi pada tahun 70 Masehi, dipimpin oleh Jenderal Titus.

Menurut keyakinan Kristen, kehancuran ini merupakan pembalasan ilahi. Mereka berpendapat bahwa orang-orang Yahudi pada masa itu, melalui para pemimpinnya, bersekongkol untuk membunuh Nabi Isa, yang diyakini sebagai Mesias dan Anak Tuhan. Penolakan dan tindakan keji ini, menurut pandangan mereka, adalah alasan utama mengapa Bait Suci dihancurkan dan orang-orang Yahudi tercerai-berai dalam diaspora ke seluruh penjuru dunia.

Menariknya, para penafsir Muslim klasik juga memiliki pandangan yang serupa. Mereka melihat kehancuran ini sebagai konsekuensi langsung dari kejahatan Bani Israil terhadap Nabi Isa. Al-Qur'an sendiri mencatat kebanggaan mereka dalam Surat An-Nisa (4:157) dengan perkataan, "Sesungguhnya kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra Maryam, Rasul Allah," meskipun Al-Qur'an menegaskan bahwa mereka tidak benar-benar membunuhnya atau menyalibnya. Perkataan ini menjadi bukti pembangkangan mereka.

Dengan demikian, baik dalam tradisi Kristen maupun Muslim klasik, kehancuran ini bukan hanya sekadar peristiwa politik-militer biasa, melainkan sebuah hukuman ilahi atas penolakan dan permusuhan mereka terhadap seorang utusan Allah. Latar belakang sejarah inilah yang menjadi kunci untuk memahami mengapa ayat Al-Qur'an ini memiliki makna yang begitu mendalam.

Penafsiran klasik terhadap Surat Al-Isra, ayat 7, membawa kita pada sebuah peristiwa dramatis dalam sejarah: kehancuran Bait Suci Yahudi di Yerusalem. Jika kita mengikuti pandangan ini, janji kehancuran kedua yang disebutkan dalam Al-Qur'an sudah terpenuhi secara historis pada tahun 70 Masehi. Pada saat itu, pasukan Romawi di bawah pimpinan Jenderal Titus menyerbu kota suci dan menghancurkan Bait Suci hingga rata dengan tanah. 

Kehancuran ini begitu dahsyat sehingga yang tersisa hanyalah bagian dari tembok luar, yang kini dikenal sebagai Tembok Barat atau Tembok Ratapan. Hingga hari ini, tembok ini menjadi pusat spiritual dan tempat suci bagi umat Yahudi di seluruh dunia, di mana mereka datang untuk berdoa dan meratap. Ironisnya, di lokasi yang dulunya berdiri megah Bait Suci, sekarang justru berdiri bangunan suci umat Islam, yaitu Al-Masjid al-Aqsa dan Kubah Batu (Dome of the Rock), yang didirikan berabad-abad setelah Nabi Muhammad SAW.

Namun, tidak semua ulama sepakat dengan penafsiran ini. Sebagian penafsir modern memiliki sudut pandang yang berbeda, memercayai bahwa ayat ini adalah ramalan yang belum terwujud dan masih menunggu waktunya. Mereka seringkali mengaitkan ayat ini dengan ayat 104 dalam surat yang sama, yang berbicara tentang "janji terakhir" dan menggunakan diksi yang serupa. Menurut mereka, kehancuran yang disebutkan dalam ayat 7 akan terjadi di masa depan, sebagai peringatan final bagi Bani Israil.

Pandangan ini memicu perdebatan sengit dan pertanyaan kritis di kalangan para ulama. Salah satu keberatan utama terhadap penafsiran ini adalah: jika kehancuran akan terjadi lagi, bukankah Bait Suci harus dibangun kembali terlebih dahulu agar bisa dihancurkan? Meskipun ada argumen lain yang menyatakan bahwa yang akan dihancurkan bukan lagi bait suci secara fisik, melainkan Bukit Bait Suci itu sendiri, pandangan ini dianggap kurang meyakinkan oleh banyak ulama.

Pada akhirnya, perdebatan ini adalah cerminan dari kedalaman dan kekayaan penafsiran dalam Al-Qur'an. Apakah janji kehancuran kedua adalah pelajaran dari masa lalu yang sudah terpenuhi, ataukah ia adalah peringatan keras yang masih menunggu kita di masa depan? Tidak ada jawaban tunggal yang disepakati, namun perdebatan ini membuka cakrawala pemahaman kita tentang bagaimana wahyu ilahi berinteraksi dengan sejarah dan takdir manusia.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Melangkah di Jalur Keadilan: Ekonomi Syariah, SGIE, dan Harapan Umat Oleh: Bagus Ardeni, Sekretaris....

Suara Muhammadiyah

25 March 2024

Wawasan

Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Mengapa pacaran tidak dibenarkan dala....

Suara Muhammadiyah

29 January 2024

Wawasan

Meluruskan Niat dan Tujuan Beribadah Haji Oleh: Mohammad Fakhrudin Setelah menunggu sepuluh tahun ....

Suara Muhammadiyah

7 May 2024

Wawasan

Mengatasi Bias Sektarian dalam Menafsirkan Al-Qur`an (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Mengagumi Keajaiban Al-Qur'an Melalui The Bible, The Quran and Science Oleh: Donny Syofyan, Do....

Suara Muhammadiyah

25 November 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah