Menikmati Ibadah sebagai Minoritas: Oase Iman di Tengah Virginia
Oleh: Galit Gatut Prakosa, Dosen Universitas Muhammadiyah Malang – Ph.D Candidate
Hidup sebagai seorang Muslim di tengah masyarakat non-Muslim, apalagi di negeri yang jauh, adalah sebuah keniscayaan takdir yang membawa tantangan sekaligus anugerah. Kota Blacksburg, di Negara Bagian Virginia, Amerika Serikat, tempat saya tinggal, adalah contohnya. Kota yang damai, asri, namun sangat minim fasilitas keislaman. Dengan hanya satu masjid tunggal yang letaknya jauh dari kediaman kami sekeluarga—membutuhkan dua kali berganti kendaraan umum untuk mencapai shalat Jumat—kondisi ini memaksa setiap Muslim untuk meninjau kembali apa arti sejati dari ibadah.
Ibadah bukan lagi tentang kemudahan mencapai kiblat; tetapi juga tentang seberapa baik hubungan Anda dengan Sang Pencipta. Menjadi minoritas seharusnya bukan penghalang, melainkan katalis untuk mencapai tingkat kenikmatan beribadah yang lebih mendalam, lebih lurus, dan lebih jujur. Ada lima pilar utama yang dapat membantu Anda menikmatinya.
Ikhlas: Kunci Utama Kenikmatan
Nikmat ibadah yang sesungguhnya dimulai dan diakhiri dengan kejujuran karena Allah SWT. Inilah filter terkuat ketika jumlah orang tidak banyak. Di negara yang mayoritas Muslim, seringkali mudah untuk salat atau berpuasa bersama karena dukungan sosial, lingkungan yang baik, dan bahkan tekanan sosial. Namun, ketika Anda minoritas, Anda harus menyadari setiap ibadah, sekecil apa pun, dan melakukannya tanpa ada yang melihat, bertepuk tangan, atau memuji Anda. Di sinilah kita diuji: apakah kita salat Dhuha karena benar-benar membutuhkan Allah, atau karena takut rekan kerja melihat kita tidak salat? Apakah kita berhati-hati dalam berkata-kata karena tahu Allah mengawasi kita, atau karena tidak ingin melanggar aturan sosial?
Ketika dorongan eksternal (sosial) hilang, yang tersisa hanyalah dorongan internal: keinginan murni untuk meraih ridha Allah. Ketika kita sampai pada titik ini di dalam hati kita, bahkan tindakan ibadah yang terkecil sekalipun, seperti membaca ayat Al-Quran di tempat umum yang tenang, akan terasa menyenangkan karena kita tahu bahwa Allah adalah satu-satunya yang melihat dan menghargainya.
Sebagai minoritas, tentu saja kami tidak bisa melakukan kegiatan keagamaan besar, seperti mengaji Al-Qur'an setiap hari atau salat Tarawih di malam-malam Ramadhan. Lokasinya jauh dari masjid, karena saya harus berganti bus dua kali, sesuatu yang memang harus saya lakukan. Namun, Islam lebih menghargai konsistensi (istiqamah) daripada kuantitas jangka pendek. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang dilakukan berulang-ulang, meskipun kecil."
Bagi kaum minoritas, kenikmatan beribadah datang dari menemukan ritme konsistensi dalam hal-hal kecil, seperti berpuasa Senin Kamis meskipun mereka memiliki banyak pekerjaan, meluangkan waktu 15 menit setiap hari untuk membaca Al-Qur'an, bahkan di kamar asrama atau perpustakaan, atau sekadar menyapa dan berbuat baik kepada tetangga, yang merupakan bentuk dakwah melalui akhlak yang baik. Hati akan merasa tenang dan memiliki hubungan yang stabil dengan Allah jika ia berfokus pada kualitas dan konsistensi amal-amal kecil ini, yang jauh lebih baik daripada melakukan ibadah-ibadah besar yang sifatnya musiman.
Kenikmatan ibadah akan berlipat ganda ketika kita melepas pemahaman sempit bahwa ibadah hanyalah ritual formal (shalat, puasa, zakat, haji). Dalam kondisi minoritas, setiap aspek kehidupan dapat dan harus diubah menjadi ibadah. Niatkan pekerjaan sebagai upaya mencari nafkah yang halal dan berkontribusi positif bagi masyarakat, maka bekerja keras pun menjadi ibadah (jihad). Begitu juga dengan belajar, niatkan sebagai upaya meningkatkan kualitas diri untuk umat, maka begadang demi tugas kuliah pun menjadi ibadah.
Bahkan aktivitas pribadi seperti tidur juga bis akita niatkan sebagai upaya mengistirahatkan tubuh agar mampu beribadah esok hari, maka tidur pun mendapat pahala. Konsep ibadah ghairu mahdhah (non-ritual) ini sangat membebaskan dan relevan bagi minoritas. Ini menghilangkan rasa frustrasi karena sulitnya mengakses fasilitas ibadah formal. Umat Islam yang jauh dari masjid pun tetap dapat mendekatkan diri kepada Allah 24 jam sehari, 7 hari seminggu, karena setiap aktivitas lahir dari niat yang sholih.
Status minoritas kita memaksa kita untuk sepenuhnya bertanggung jawab atas keyakinan kita sendiri. Tidak ada lagi persekutuan yang lebih besar di sini yang memacu kita ketika iman kita goyah, selain diri kita sendiri, Tuhan, dan mungkin beberapa orang beriman lain yang jarang kita temui. Inilah saatnya kita harus berinvestasi dalam kualitas pribadi. Kebahagiaan beribadah dicapai dengan memaksimalkan kualitas keimanan dan ilmu pengetahuan, seperti: Mempelajari dan membaca pemahaman Al-Qur'an dan hadis secara terpisah untuk memahami mengapa kita beribadah, dan bukan bagaimana; Mencari jaringan pergaulan dengan ulama kredibel atau majelis ilmu pengetahuan daring; Merenungkan Asmaul Husna (nama-nama Allah) untuk memaksimalkan cinta dan rasa takut kita kepada-Nya. Keyakinan yang kuat adalah perisai. Ketika ada godaan di dunia luar (misalnya, ajakan yang bertentangan dengan hukum Islam), keyakinan pribadi yang teguh akan memberikan kedamaian batin untuk menolak tanpa takut dihakimi atau dikucilkan dari masyarakat. Keyakinan menjadi benteng yang tak tergoyahkan dan bukan sekadar simbol sosial.
Kesabaran (shabr) adalah nilai lain yang paling penting dalam konteks minoritas. Kesabaran di sini berlipat ganda: Kesabaran dalam Ketaatan dan Kesabaran dalam Bertahan dengan Lingkungan. Kesabaran dalam ketaatan dilatih dengan menjauhi godaan kenikmatan duniawi, misalnya, dengan sabar menahan kantuk agar bisa bangun Tahajud di tengah malam yang dingin, atau dengan sabar menahan haus dan lapar di hari kerja yang sibuk ketika tidak ada rekan kerja lain yang berpuasa. Kesabaran menanggung kesulitan untuk tiba di masjid. Pada saat yang sama, kesabaran dalam menghadapi lingkungan menuntut kesabaran menerima pandangan, pertanyaan, dan stereotip Islam dari masyarakat umum. Kesabaran dalam menghadapi individu dengan akhlak terbaik (husnul khuluq), terlepas dari perbedaan budaya yang terkadang menimbulkan ketegangan.
Allah berjanji, "Sesungguhnya, hanya orang-orang yang sabar yang akan dibalasi dengan sempurna tanpa batas." (Al-Quran, Az-Zumar: 10). Ini adalah kepuasan jangka panjang: "perasaan damai" bahwa semua kesulitan yang kita derita Urusan agama adalah investasi di sisi Allah yang pahalanya tak terbatas. Akses terbatas, kesulitan logistik, dan kesendirian dalam beribadah, semuanya terbayar lunas dengan janji pahala yang tak terbatas.
Berada di lanskap multikultural Virginia, ibadah tak hanya menjadi ruang spiritual, tetapi juga jendela perjumpaan lintas bangsa. Masjid-masjid lokal menjadi titik temu bagi Muslim dari Mesir, Pakistan, Indonesia, Turki, Sudan, dan banyak lagi. Setiap salam, setiap takbir, membawa aksen dan cerita yang berbeda—pecahan-pecahan iman yang menyatu dalam satu saf. Ada kenikmatan tersendiri saat sajian dengan kurma dari Palestina, mendengar khutbah dengan logat Nigeria, atau sekadar berbincang hangat tentang kampung halaman yang jauh. Ibadah pun menjelma menjadi mosaik keberagaman, memperkaya rasa syukur dan memperluas cakrawala ukhuwah.
Menjadi minoritas bukanlah kutukan, melainkan undangan untuk mendewasakan keimanan. Tantangan logistik, seperti perjalanan panjang ke satu-satunya masjid di Blacksburg, Virginia, seharusnya tidak dilihat sebagai penghalang, tetapi sebagai ujian kecil atas keikhlasan dan konsistensi kita. Dengan memegang teguh pada keikhlasan, konsistensi amalan kecil, perluasan makna ibadah di luar ritual, penguatan keyakinan pribadi, dan kesabaran yang tiada batas, seorang Muslim minoritas tidak hanya dapat bertahan tetapi juga dapat menikmati ibadah. Kenikmatan ini adalah kenikmatan yang otentik, murni dari hati, dan langsung terhubung kepada Allah SWT. Di mana pun seorang Muslim berada, ia akan menemukan Oase Imannya sendiri.


