Meniti Jalan Kehidupan dengan Ilmu dan Iman
Oleh: Suko Wahyudi, PRM Timuran Yogyakarta
Hidup adalah perjalanan panjang yang penuh dengan tantangan, ujian, dan persimpangan. Dalam meniti jalan kehidupan ini, manusia membutuhkan dua bekal utama: ilmu dan iman. Ilmu memberikan cahaya bagi akal, sementara iman menerangi hati. Keduanya harus berjalan beriringan agar manusia dapat menjalani kehidupan yang bermakna dan penuh keberkahan.
...Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat… (Al-Mujadilah [58]: 11)
Ayat ini mengandung makna yang sangat dalam mengenai kedudukan orang yang beriman dan berilmu. Allah SwT memberi jaminan bahwa orang-orang yang beriman dan berilmu akan mendapatkan derajat yang lebih tinggi daripada yang lainnya. Dalam konteks ini, terdapat dua kategori yang disebutkan: orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berilmu. Meskipun kedua kelompok ini dianggap memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah SwT, yang menarik dalam ayat ini adalah bagaimana Allah SwT menggabungkan iman dan ilmu sebagai dua hal yang saling melengkapi.
Prof. Hamid Fahmi Zarkasyi, seorang intelektual Muslim yang sering membahas pentingnya pendidikan dan integrasi antara ilmu dan agama, mengemukakan bahwa ayat ini menggambarkan hubungan yang erat antara iman dan ilmu dalam kehidupan umat Islam. Beliau menekankan bahwa iman tanpa ilmu dapat menjadi terbatas dan tidak terarah, sementara ilmu tanpa iman dapat membawa pada kesombongan dan penyalahgunaan pengetahuan.
Sementara menurut Asparlan Achigenk, ayat ini menegaskan bahwa iman dan ilmu memiliki peran yang tak terpisahkan dalam meningkatkan kualitas individu dan masyarakat. Ia akan menekankan bahwa ilmu tidak hanya berfungsi sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik, tetapi juga sebagai alat untuk mendalami hakikat spiritual dan memahami kedalaman wahyu Allah. Dalam perspektifnya, ilmu yang dilandasi oleh iman akan membawa seseorang untuk lebih peka terhadap realitas sosial dan lebih bertanggung jawab dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Ilmu adalah anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Dengan ilmu, manusia mampu memahami realitas kehidupan, mengenali hukum-hukum alam, dan mengembangkan peradaban.
Katakanlah (Muhammad), 'Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar [39]: 9)
Ilmu merupakan cahaya yang menerangi kehidupan manusia. Orang yang memiliki ilmu mampu melihat, memahami, dan mengambil keputusan dengan lebih baik dibandingkan mereka yang tidak memiliki ilmu. Allah SwT secara retoris bertanya, menunjukkan bahwa orang yang memiliki ilmu tidak sama dengan mereka yang tidak memiliki ilmu.
Dalam Islam, pencarian ilmu tidak hanya sebatas pada ilmu agama tetapi juga ilmu dunia yang bermanfaat. Rasulullah SaW bersabda:
"Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." (HR. Muslim)
Ilmu menjadikan seseorang lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, lebih rasional dalam berpikir, dan lebih mampu menghadapi tantangan kehidupan. Namun, ilmu yang tidak dibarengi dengan iman bisa menyesatkan. Sejarah mencatat bahwa banyak orang berilmu yang justru menggunakan ilmunya untuk menzalimi orang lain karena kehilangan nilai-nilai spiritual.
Di antaranya adalah kisah Fir'aun. Fir'aun adalah salah satu contoh dalam Al-Qur'an tentang bagaimana ilmu tanpa iman dapat menyesatkan seseorang. Sebagai seorang penguasa Mesir, Fir'aun memiliki kebijaksanaan dalam strategi politik, kekuatan militer, serta ilmu arsitektur yang maju di masanya. Namun, kesombongan dan keingkarannya terhadap Allah menjadikannya seorang tiran yang menindas rakyatnya, terutama Bani Israil.
Fir'aun bahkan mengklaim dirinya sebagai Tuhan:
Dan Fir‘aun berkata, ''Wahai para pembesar kaumku! Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain aku." (QS. Al-Qasas [28]: 38)
Ilmu yang ia miliki tidak membuatnya rendah hati, justru membuatnya semakin jauh dari kebenaran. Ia menolak dakwah Nabi Musa dan menolak tanda-tanda kebesaran Allah SwT. Kesombongannya berujung pada kehancuran saat ia dan tentaranya ditenggelamkan di Laut Merah.
Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu Fir‘aun dan bala tentaranya mengejar mereka dengan maksud menzalimi dan menindas. Hingga ketika Fir‘aun hampir tenggelam, dia berkata, "Aku beriman bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri (Muslim)." "Apakah sekarang (baru kamu beriman), padahal sebelumnya kamu telah durhaka dan termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan?" "Maka pada hari ini Kami selamatkan jasadmu agar engkau menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang setelahmu. Tetapi sungguh, banyak di antara manusia yang lengah terhadap tanda-tanda (kekuasaan) Kami." (Yunus [10]: 90-92).
Kisah lainnya adalah kisah Ba‘lam bin Ba‘ura sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an,
Dan bacakanlah kepada mereka (wahai Muhammad) kisah tentang orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, lalu ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, maka setan mengikutinya, lalu jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan mengikuti keinginannya yang rendah. Maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya, ia menjulurkan lidahnya, dan jika kamu membiarkannya, ia tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah kisah itu agar mereka berpikir. (Al-A’raf: 175-176)
Banyak mufasir, termasuk Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi, menyebut bahwa ayat ini merujuk pada Bal‘am bin Ba‘ura, seorang ahli ibadah di kalangan Bani Israil yang memiliki ilmu tentang nama Allah SwT yang paling agung (Ismullah al-A'zham).
Ba'lam awalnya adalah orang shaleh yang memiliki ilmu dan doa yang mustajab. Namun, karena godaan duniawi, ia justru menjual ilmunya untuk kepentingan duniawi dan membantu musuh-musuh Allah dalam menentang Nabi Musa.
Allah SwT menggambarkan Ba‘lam sebagai anjing yang menjulurkan lidahnya, karena betapapun ia diberi ilmu dan keutamaan, ia tetap mengikuti hawa nafsunya dan akhirnya tersesat:
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, lalu dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (hingga dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. (QS. Al-A’raf [7]: 175)
Sebagai kontras dari dua kisah tersebut , Nabi Sulaiman adalah contoh seorang raja dan nabi yang menggunakan ilmunya dengan bijaksana dan tetap tunduk kepada Allah SwT.
Dan Kami telah menganugerahkan kepada Daud (seorang anak), Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia amat taat (kepada Tuhannya). (QS. Shad [38]: 30)
Allah SwT menganugerahkan kepada Nabi Sulaiman pengetahuan tentang hukum, kemampuan memahami bahasa hewan, dan kekuasaan atas angin dan jin
Dan sesungguhnya Kami telah memberikan ilmu kepada Dawud dan Sulaiman, dan keduanya berkata, 'Segala puji bagi Allah yang telah melebihkan kami dari banyak hamba-Nya yang beriman. Dan Sulaiman mewarisi (ilmu dan kenabian) dari Dawud, dan dia berkata, 'Wahai manusia! Kami telah diajari bahasa burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya ini benar-benar karunia yang nyata. Dan dikumpulkan untuk Sulaiman bala tentaranya dari jin, manusia, dan burung, lalu mereka diatur dengan tertib. (An-Naml [27]: 15-17)
Namun, semua ilmu tersebut tidak membuatnya sombong. Sebaliknya, ia selalu mengakui bahwa ilmu dan kekuasaannya adalah karunia dari Allah.
Ketika Nabi Sulaiman mendengar laporan tentang Ratu Saba' (Bilqis), ia tidak langsung mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Sebaliknya, ia mengutus utusan untuk mengamati kondisi kerajaan Bilqis dan mengambil keputusan dengan bijak.
Dalam doanya, Nabi Sulaiman berkata:
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku..." (QS. An-Naml [27]: 19).
Jika ilmu menerangi akal, maka iman menerangi hati. Iman adalah keyakinan yang kokoh kepada Allah dan segala ketetapan-Nya. Iman membentuk akhlak, memberikan ketenangan jiwa, dan menjadi sumber kekuatan dalam menghadapi cobaan hidup. Allah SwT berfirman:
Barangsiapa yang beriman kepada Allah, maka Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya. (QS. At-Taghabun [64]: 11)
Orang yang memiliki iman tidak mudah putus asa, tidak merasa sendirian dalam menghadapi kesulitan, dan selalu berusaha mencari ridha Allah SwT dalam setiap langkahnya. Seorang yang beriman memahami bahwa hidup di dunia penuh dengan ujian, namun ia tidak pernah menyerah atau berputus asa. Dalam Islam, keputusasaan adalah sifat yang tidak dianjurkan, karena bertentangan dengan tawakkal. Allah SwT berfirman,
Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Allah kecuali orang-orang kafir. (Yusuf [12]: 87)
Seorang mukmin juga yakin bahwa Allah SwT senantiasa bersamanya, bahkan dalam kondisi tersulit sekalipun. Dalam kisah hijrah, ketika Rasulullah SaW dan Abu Bakar bersembunyi di dalam gua, Abu Bakar merasa takut, namun Rasulullah SaW menenangkannya dengan mengatakan:
Jangan bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita. (QS. At-Taubah [9]: 40)
Ayat ini menunjukkan bahwa kehadiran Allah SwT dalam kehidupan seorang mukmin adalah sumber ketenangan dan kekuatan, sehingga ia tidak akan merasa sendirian dalam menghadapi cobaan. Kehadiran Allah SwT dalam kehidupan seorang mukmin juga menjadi sumber kekuatan yang menjadikan seorang mukmin memiliki ketahanan spiritual yang kuat, tidak mudah menyerah, dan selalu optimis dalam menghadapi tantangan hidup.
Ilmu tanpa iman akan menjerumuskan seseorang pada kesombongan dan kesesatan. Sebaliknya, iman tanpa ilmu bisa membawa pada fanatisme buta dan ketidaktahuan. Oleh karena itu, ilmu dan iman harus berjalan seiring agar manusia dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Ibnu Taimiyah mengatakan: "Setiap ilmu yang tidak mendekatkanmu kepada Allah, maka itu bukanlah ilmu yang bermanfaat."
Syed Naquib al-Attas, seorang pemikir dan filosof Islam berpendapat bahwa ilmu harus dibangun atas dasar iman yang kokoh, yaitu iman kepada Tuhan yang Maha Esa, yang memberikan petunjuk dalam bentuk wahyu dan ajaran-Nya. Tanpa iman yang kuat, ilmu bisa disalahgunakan untuk tujuan-tujuan yang jauh dari kebenaran, bahkan dapat menjauhkan seseorang dari tujuan hidup yang sejati. Dalam pandangannya, banyak orang yang memandang ilmu semata-mata sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan, status, atau keuntungan pribadi, yang pada akhirnya bisa mengarah pada kesesatan.
Sebaliknya, iman tanpa ilmu, menurut al-Attas, cenderung menghasilkan pemahaman yang terbatas dan bisa terjebak dalam dogma atau tradisi yang tidak berdasar pada pemahaman yang benar. Iman yang buta atau tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam dapat mengarah pada fanatisme dan ketidaktahuan, yang sering kali menyebabkan konflik atau bahkan kekerasan.
Meniti jalan kehidupan dengan ilmu dan iman adalah kunci untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ilmu membimbing akal untuk memahami dunia, sedangkan iman menuntun hati agar tetap berada di jalan yang benar. Dengan mengharmonikan keduanya, kita dapat menjalani hidup dengan penuh hikmah, keberkahan, dan manfaat bagi sesama.