PURWOKERTO, Suara Muhammadiyah — Gedung Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Purwokerto (FAI UMP) pagi itu terasa berbeda. Aroma semangat dakwah meruap dari ruang I.2.5, tempat puluhan peserta berkumpul dalam sebuah forum pelatihan bertajuk Management Dakwah Digital. Acara ini diinisiasi oleh Tim Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Muhammadiyah Purwokerto (LPPM UMP) bekerja sama dengan Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Kecamatan Kembaran sebagai mitra pengabdian.
Pelatihan ini bukan sekadar pelatihan biasa. Ia lahir dari keprihatinan sekaligus harapan: bagaimana kader-kader muda Muhammadiyah bisa bergerak di ruang-ruang digital secara beradab, terarah, dan bertanggung jawab. Di era ketika media sosial menjadi arus utama dalam penyebaran informasi, pelatihan ini hadir sebagai upaya membekali para kader agar tidak hanya aktif, tetapi juga arif dan berakhlak dalam berdakwah secara digital.
Tiga narasumber dihadirkan: Ustadzah Isti’anah, Lc., M.Hum, akademisi FAI UMP yang juga dikenal sebagai intelektual Muslimah yang concern terhadap isu media dan etika; Ust. Alvin Qodri Lazuardy, S.Ag., M.Pd, dari Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah; dan Ust. Bayu Dwi Cahyono, M.Pd, Dosen FAI UMP sekaligus ketua tim pengabdian masyarakat LPPM UMP.
Dakwah Digital Bukan Tanpa Akhlak
Ustadzah Isti’anah membuka forum dengan sebuah pertanyaan yang menohok, “Apakah ruang digital membebaskan kita dari akhlak?” Ia menjawab sendiri dengan tegas: tidak. Menurutnya, media sosial adalah ekstensi dari kehidupan manusia, dan karenanya, nilai-nilai etika dan adab Islam tetap harus menjadi ruh dalam setiap aktivitas digital.
Dalam pemaparannya, ia menegaskan bahwa akhlakul karimah adalah fondasi utama dalam dakwah, termasuk di media sosial. “Kita hidup di zaman ketika semua orang bisa berbicara, tapi tidak semua memiliki dasar rujukan yang sahih,” katanya. Oleh karena itu, setiap konten yang kita sebarkan—entah itu artikel, video, kutipan, hingga komentar—harus disandarkan pada referensi yang kuat.
Ustadzah Isti’anah menekankan pentingnya merujuk pada literatur resmi, terutama dalam konteks dakwah Muhammadiyah. Ia menyarankan untuk menjadikan Majelis Tarjih dan Tajdid sebagai sumber utama dalam memahami hukum, fatwa, dan perspektif keislaman. “Mengutip dari sumber yang tidak valid hanya akan membuat dakwah menjadi simpang siur, dan ini bisa berbahaya bagi umat,” katanya.
Namun demikian, beliau juga menyemangati para kader muda untuk tidak merasa inferior atau takut berkontribusi dalam dunia literasi digital. “Selama kita berpijak pada sumber yang muktabar, jangan takut berbicara. Bahkan jika belum ahli, kita bisa mengambil peran sebagai penyambung lidah ilmu dari para ulama dan pemikir Islam,” tuturnya. Baginya, dunia dakwah digital membutuhkan lebih banyak pemuda yang aktif namun tetap rendah hati, kritis sekaligus tunduk pada disiplin ilmu.
Literasi Digital dalam Bingkai Fikih Informasi
Jika Ustadzah Isti’anah Lc, M. Hum memberikan fondasi etis dan metodologis, maka Ust. Alvin Qodri Lazuardy datang dengan perspektif fikih informasi yang lebih sistematis. Mengutip buku Fikih Informasi yang diterbitkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Alvin menyampaikan bahwa dakwah digital bukan hanya menyampaikan konten, melainkan sebuah kerja ilmiah, sosial, dan spiritual.
Menurut Alvin, informasi dalam Islam tidak berdiri bebas. Ia memiliki fungsi-fungsi yang khas dan melekat dalam nilai-nilai keislaman. Di hadapan peserta, ia menguraikan enam fungsi utama informasi dalam konteks dakwah digital:
1. Taklim – menyampaikan ilmu.
2. Tanwir– memberikan pencerahan.
3. Taudhih– memperjelas perkara.
4. Tau’iyah – membangun kesadaran kolektif.
5. Tarjih – menguatkan pendapat atau argumen yang lebih sahih.
6. Tanzhim – memberikan kerangka atau aturan sosial yang membangun.
Selain enam fungsi tersebut, Alvin juga menambahkan satu lagi fungsi strategis: Wasilatu lil Hiwar atau sebagai jembatan dialog. Di ruang digital yang sarat dengan perdebatan, Alvin mengingatkan bahwa kader dakwah harus mampu memosisikan diri sebagai juru damai, bukan provokator. “Kita hadir bukan untuk memenangkan argumen, tetapi membangun peradaban dialog,” ujarnya.
Tak berhenti di situ, Alvin menyampaikan konsep Panca Jiwa Dakwah Digital Muhammadiyah—sebuah formulasi etos kepemimpinan digital yang harus dihidupi oleh setiap kader:
* Muaddib: menjadi pendidik yang menyampaikan nilai-nilai (ta’dib).
* Mujaddid: pembaharu yang progresif.
* Musaddid: pelurus dari kesalahan dan hoaks.
* Muwahhid: pemersatu dari perpecahan umat.
* Mujahid: pejuang yang gigih dan konsisten di jalur dakwah digital.
Kelima nilai ini bukan hanya konsep ideal, melainkan pedoman praktis dalam menavigasi kehidupan digital yang kompleks. Bagi Alvin, dakwah tidak lagi cukup dengan narasi dan semangat, tetapi perlu strategi, fondasi epistemik, serta visi jangka panjang.
Strategi Praktis Mengelola Akun Sosial Media
Sesi terakhir menjadi ruang praktik. Ust. Bayu Dwi Cahyono menyampaikan materi yang bersifat teknikal namun strategis. Baginya, membangun kehadiran digital membutuhkan personal branding yang jelas. “Kalau Anda ingin menjadi pendakwah di media sosial, publik harus tahu siapa Anda, bidang apa yang Anda tekuni, dan apa yang bisa mereka pelajari dari Anda,” katanya.
Bayu mengajarkan peserta untuk memanfaatkan profil akun media sosial sebagai sarana dakwah. Bukan sekadar estetika, tapi juga positioning. “Jika Anda dosen, cantumkan itu. Jika Anda aktivis lingkungan, tampilkan dengan tegas. Ini akan memudahkan audiens memahami kapasitas Anda,” jelasnya.
Lebih dari itu, Bayu menekankan pentingnya konsistensi dalam menyampaikan konten. “Tidak ada kepercayaan publik tanpa konsistensi. Anda harus terus mengasah keahlian, memperkaya literasi, dan menyajikan konten yang berkualitas,” tuturnya.
Di tengah banjir konten hiburan, sensasi, dan provokasi, ia meyakinkan peserta bahwa konten yang mendidik tetap memiliki tempat. “Jangan khawatir dengan algoritma. Jika Anda punya nilai dan kualitas, audiens akan datang sendiri,” pungkasnya.
Melampaui Pelatihan: Misi Dakwah Literasi Digital
Pelatihan ini bukan sekadar transfer ilmu, melainkan peristiwa budaya. Ia memperlihatkan bahwa generasi muda Muhammadiyah sedang bergerak menuju medan baru: dunia digital. Tapi mereka tidak bergerak sembarangan. Ada nilai, strategi, dan etika yang dibawa serta.
Dengan benefit berupa relasi, ilmu yang aplikatif, dan e-sertifikat, forum ini juga menjadi ruang konsolidasi kader. Para peserta tidak hanya pulang dengan catatan, tetapi juga visi. Mereka menyadari bahwa berdakwah di media sosial adalah kerja yang kompleks—ia butuh ilmu, adab, dan keberanian.
Dalam penutupan acara, panitia menegaskan bahwa pelatihan ini adalah bagian dari gerakan jangka panjang untuk menyiapkan kader-kader digital Muhammadiyah yang progresif namun tetap otentik. Kami ingin mencetak mujahid-mujahid literasi digital yang tidak hanya melek teknologi, tapi juga melek nilai dan melek konteks.
Akhir Kata: Dakwah Adalah Perjalanan, Bukan Slogan
Momentum ini para peserta membawa kesadaran baru bahwa dakwah digital adalah panggilan zaman. Namun panggilan itu tidak serta merta dijawab dengan semangat semu. Ia harus dijawab dengan pengetahuan, akhlak, dan orientasi membangun peradaban.
Di dunia yang bising oleh suara, mungkin suara dakwah terasa lirih. Tapi justru dalam kelirihan itulah ada kekuatan: kekuatan untuk menginspirasi, menyatukan, dan memperbaiki. Sebab seperti yang diyakini oleh para pendakwah sejati: dakwah adalah cahaya yang berjalan perlahan, tapi tak pernah padam.