Menjaga Indonesia: Selera Rendah dan Krisis Karakter Pemimpin

Publish

2 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
1095
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menjaga Indonesia: Selera Rendah dan Krisis Karakter Pemimpin

Oleh: Agusliadi Massere

Menjaga Indonesia sebagai bangsa dan negara yang besar, dengan cara menjaga selera agar tetap tinggi dalam hal memilih pemimpin, mulai dari pemimpin daerah sampai pemimpin nasional tanpa kecuali yang memimpin kementerian, lembaga, dan institusi strategis lainnnya. Ketika hari ini, bangsa dan negara kita, Indonesia, masih diwarnai oleh berbagai problematika kebangsaan, salah satunya dan utama disebabkan oleh krisis karakter pemimpin. Dalam logika sederhana dan secara fenomenologis bisa dipastikan “selera rendah” sebagaimana yang telah ditegaskan, memberikan kontribusi besar-negatif terhadap krisis karakter pemimpin tersebut.

Saya punya selera yang sangat rendah dalam hal makanan. Puluhan kali menginap di hotel berbintang empat dan lima, terutama pada saat makan siang dan makan malam, saya hanya makan lombok biji ditambahkan garam yang saya racik sendiri beberapa detik sebelum makan, bersama kacang goreng yang senantiasa melengkapi bekal pada saat keluar daerah. Di rumah pun, menu rutin saya adalah nasi putih, tempe goreng, dan sambal tomat, hanya itu. Meskipun demikian, saya punya selera koleksi buku yang bernutrisi tinggi, dan termasuk dalam hal memilih pemimpin yang mengurusi daerah, bangsa serta negara. 

Bagi saya, dan seharusnya bagi kita semua anak negeri, memiliki selera yang tinggi dalam hal memilih pemimpin. Apatah lagi yang akan mengurusi bangsa dan negara Indonesia, yang tidak kecil, dan tidak boleh dipandang remeh. Nasib dan masa depan diri, dan anak cucu kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan ditentukan dari hasil pilihan kita terhadap sosok pemimpin tersebut. Masa depan dalam berbangsa dan bernegara harus menggunakan pendekatan kesadaran kritis, kesadaran dan nalar struktural. Kita tidak boleh mengedepankan cara pandang magis, yang seakan nasib bangsa dan negara sudah ditakdirkan seperti sekarang, lalu kita bersikap dan berperilaku taken for granted.

Selera, jika dicermati pengertiannya dari Kamus Ilmiah Populer karya Pius A. Partanto, dan M. Dahlan Al Barry (1994), dan Kamus Lengkap Bahasa Indonesia karya Tim Prima Pena, bukan hanya dimaknai sebagai “nafsu makan” semata, tetapi termasuk pula bermakna “kemauan untuk berbuat sesuatu”, “keinginan”, ”kegemaran”, dan “kesukaan”. Saya memaknai “selera rendah” dalam konteks tulisan ini adalah sikap dan perilaku dalam memilih pemimpin yang tidak menjadikan kapabilitas, integritas, prestasi, profesionalitas, rekam jejak positif, dan berbagai karakter yang relevan dengan nilai-nilai, cita-cita, dan tujuan bangsa dan negara, sebagai barometer utama. 

Selera rendah, bisa pula dimaknai ketika dalam memilih pemimpin, hanya pertimbangan pernah ditraktir minum kopi, ketebalan isi amplop dalam perspektif politik uang, dan termasuk pula jika semata-mata hanya mengandalkan sosok yang ada di belakangnya seperti orang tua, atau keluarga lainnya. Termasuk pula, ketika memilih pemimpin barometernya semata-mata hanya kepentingan pribadi secara personal, itu adalah selera rendah. 

Dampak buruk dan berkepanjangan dari “selera rendah”, relevan dengan yang telah ditegaskan di atas, bangsa dan negara kita masih seringkali dihuni oleh oknum-oknum pemimpin yang mengalami krisis karakter. Meminjam perspektif Dr. Asep Zaenal Ausop M.Ag., dalam buku karyanya Islamic Characterl Building, Karakter sama dengan akhlak, adalah kecenderungan hati (sikap, attitude) dalam mereaksi sesuatu dan diikuti oleh bentuk perilakunya (behavior). 

Meskipun, karakter maupun yang dimaknai dengan akhlak ada yang sifatnya baik atau positif, dan ada pula buruk atau negatif, tetapi dalam konteks tulisan ini, yang saya maksudkan mengalami krisis adalah karakter baik atau positif. Saya yakin, para sahabat pembaca telah mengetahui dan telah menyaksikan bersama, secara langsung maupun tidak langsung, adanya kondisi yang bisa dimaknai atau menunjukkan krisis karakter pemimpin tersebut. Yang saya maknai pemimpin di sini, adalah para elit daerah, elit bangsa dan negara, bukan hanya presiden semata, tetapi termasuk para pimpinan di lembaga legislatif, yudikatif, dan pimpinan lingkup eksekutif (kementerian, dan lembaga). 

Korupsi, kolusi, nepotisme, pelanggaran etik penyelenggara negara, pemanfaatan konstitusi dan berbagai regulasi lainnya sebagai instrument untuk memuluskan kepentingan pribadi, keluarga, dan golongan, serta, penyalahgunaan wewenang, penerapan hukum model pisau tumpul ke atas tajam ke bawah, adalah kristalisasi dari krisis karakter pemimpin. Ketika sumber daya alam yang kekayaannya melimpah ruah, dan ketika bumi dan air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalammya dikuasai oleh negara, tetapi tidak dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, ini bisa dipastikan para elit atau pemimpin bangsa sedang mengalami krisis karakter. 

Ketika Indonesia, sebagaimana refleksi Wijayanto, dkk., dalam buku karya bersamanya Demokrasi tanpa Demos: Refleksi 100 Ilmuwan Sosial-Politik tentang Kemunduran Demokrasi di Indonesia (2021), kemudian dikutip dan diulas ulang oleh Syamsul Arifin dalam tulisannya yang terbit di Kompas, tanggal 21 Oktober 2023, yang pada intinya bisa diparafrasekan bahwa hari ini Indonesia mengalami sejenis demokrasi tanpa demos, di mana demos (rakyat) yang seharus menjadi starting point, sekaligus ending point dalam merumuskan kebijakan dan program, dikalahkan oleh kepentingan elit oligarki, ini termasuk pula sebagai kristalisasi krisis karakter pemimpin. Ada banyak hal yang menggambarkan krisis karakter pemimpin. 

Selera rendah, selain bermuara pada krisis karakter pemimpin, juga menjadi ruang strategis nan subur bagi sikap dan perilaku sebagimana yang dikutip oleh Yudi Latif dari Montesquieu. Dikatakan bahwa “Prinsip demokrasi dikorup bukan saja ketika spirit kesetaraan hilang, melainkan juga ketika spirit kesetaraan yang ekstrem berlangsung-manakala setiap orang merasa pantas memimpin”. 

Saya yakin sebagaimana, para sahabat pembaca pun merasakan dan menyaksikan bahwa hari ini, banyak sekali orang-orang yang merasa pantas jadi pemimpin. Padahal mereka hanya bermodalkan uang, sedikit ketebalan muka yang dipoles pencitraan, dan kebesaran nama orang tua dan keluarga. Padahal mereka miskin wawasan kedaerah, wawasan kebangsaan dan kenegaraan. Mereka secara rekam jejak belum mengalami pergulatan dan pergumulan kehidupan sosial dalam memberikan kontribusi positif bagi yang akan dipimpinnnya. 

Model pemimpin yang seperti ini, Yudi Latif pun menyebutnya dengan istilah “Pemimpin plastik”, di mana mereka tidak memiliki isi hidup dan arah hidup. Relevan dengan ini Yudi Latif pun meminjam pandangan Soekarno bahwa “Pemimpin yang tidak memiliki isi hidup dan arah hidup adalah pemimpin yang cetek. Ia adalah pemimpin penggemar emas sepuhan, bukan emas murni. Ia cinta kepada gebyarya lahir[iah], bukan pada nurnya kebenaran dan keadilan. 

Untuk menjaga Indonesia, kita membutuhkan pemimpin yang memiliki the power of love (kekuatan cinta). Mereka berjuang menjadi pemimpin karena kecintaannya yang besar terhadap masa depan daerah, bangsa dan negaranya. Bukan justru sebaliknya, pemimpin yang mengedepankan the love of power (cinta kekuasaan). Yang terakhir ini sangat berbahaya, karena berpotensi menjadi lahan tandus bagi tumbuhnya nilai-nilai Pancasila, nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keadilan. 

Menjaga Indonesia, kita membutuhkan pemimpin sebagaimana yang secara substansial ditegaskan dalam QS. At-Taubah [9]: 128, dengan tiga karakter utama: ‘azizun ‘alaihi maa ‘anittum, memiliki sence of crisis (kepekaan, empati, dan simpati). Pemimpin yang melakukan korupsi dan berbagai penyalahgunaan wewenang lainnya, sesungguhnya adalah antitesa dari sence of crisis; harishun ‘alaikum, memiliki sence of achievement. Memiliki semangat yang menggebu-gebu termasuk dalam memantik semangat orang-orang yang dipimpinnnya; yang terakhir adalah rauufur rahim(un), yaitu pemimpin yang pengasih lagi penyayang.

Kasih sayang, dalam perspektif 5 tangga kepemimpinan Ary Ginanjar Agustian, adalah tangga kepemimpinan yang pertama, dengan pandangan bahwa “kita bisa mencintai orang lain tanpa memimpinnya, tetapi kita tidak akan bisa memimpinnya tanpa mencintai, menyayanginya”. Kasih sayang atau welas asih adalah karakter pemimpin yang telah ada sejak awal perjuangan kemerdekaan bangsa ini. Hal ini pula mampu menjadi prinsip darwinisme, di mana di dalamnya dicirikan dengan kompetisi dengan menonjolkan kekuatan, dan cenderunga tidak mau bekerjasama atau membantu kaum lemah. 

Menjaga Indonesia, dengan cara menjaga agar pemimpin tidak mengalami krisis karakter. Menjaga selera, dalam hal ini meninggikan selera dalam hal memilih pemimpin adalah cara terbaik dan utama untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter demi merintis masa depan Indonesia yang lebih baik.

Agusliadi Massere, Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PD. Muhammadiyah Bantaeng


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Agus Setiyono Indonesia, negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, memiliki sejarah pa....

Suara Muhammadiyah

28 October 2023

Wawasan

Dua Tahun Kepergian Sang Guru Bangsa Oleh: Rumini Zulfikar, Penasehat PRM Troketon "Kemerdekaan it....

Suara Muhammadiyah

27 May 2024

Wawasan

Oleh: Ayu Nadya, Mahasiswa S1 Akuntansi Tahun 2021 ITB Ahmad Dahlan Program KKN Plus Institut Tekno....

Suara Muhammadiyah

6 September 2024

Wawasan

Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Bagaimana seharusnya kita mensy....

Suara Muhammadiyah

11 September 2024

Wawasan

Menjadi Orang Tua Ideal (Bijak) di Era Digital Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si., Ketua Cabang &l....

Suara Muhammadiyah

26 October 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah