Menjadi Pemenang

Publish

21 November 2023

Suara Muhammadiyah

Penulis

0
342
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Menjadi Pemenang: Sudah Waktunya Muhammadiyah Menjadi Pemenang Bukan Follower

Oleh: Saidun Derani

Diskusi dengan topik “Arah Politik Muhammadiyah” dilaksanakan oleh Silaturrahmi Intensif dan Kajian Akademik (SIKA) II-3, Jumat, 17 November 2023 melalui On Line, pukul 19.30-21.30 WIB dengan pemandu acara Dr. Hery Kustanto, Praktisi Net TV dan Ketua PCM Serut, dengan pembicara tunggal Prof. Wahyudi Winarjo, Gubes Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang  (UMM), penulis lihat cukup menarik. Di mana letak menariknya sekurang-kurangnya sikap netral Muhammadiyah dalam menghadapi tahun politik 2024 mendatang dibicarakan secara akademik dan terbuka.

Diskusi itu menyimpulkan bahwa sikap PP Muhammadiyah dengan mengambil perumpamaan “kayak minum cap kaki tiga, tidak ada di mana-mana akan tetapi ada di mana-mana” dan dianggap sebagian peserta diskusi sebagai ambigu, sebuah istilah diartikan penuh keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan. Kalau ketidakjelasan hitam-putih sudah pas menurut narsum PP mengambil sikap memberi kebebasan kepada semua anggota untuk aktif atau sebaliknya dalam konteks kontestasi politik 2024 dengan berbagai pertimbangan terutama aspek prakmatis.

Akan tetapi menurut penulis sikap itu diambil lebih kepada keraguan berapa sebenarnya kekuatan riil anggota Muhammadiyah dalam arti luas sebenarnya yang tercermin dari hasil survey Denny JA yang menyebutkan bahwa angggota Muhammadiyah menurun dan NU bertambah signifikan. Hal ini jugalah yang dikritik Prof. Wahyudi Winarjo mengapa Muhammadiyah belum memiliki database anggota secara nasional sehingga dapat berhitung jika ingin “perang” kalah atau menang di lapangan.

Diskusi di atas, mengingatkan penulis pada mujadalah (diskusi dan dialog)Ahad malam dan Senin subuh, 28-29 Mei 2022 (1 tahun yang lalu) di Villa Pantai Batu Bedaun, Sungailiat Bangka,  berkumpul beberapa intelektual Babel, antara lain Syamsuni Soleh,  Syamsuri, Syafei,  Djailani AB, Nurmala, Azairina, Rossi Elfarida, dan Saidun Derani, mempertanyakan mengapa internal umat Islam mengalami carut marut dan sangat mudah diombang ambing gelombang suasana persoalan dunia yang ada di NKRI. Kayak buih mudah hanyut mengikuti ke mana arus air mengalir. Tidak punya perinsip hidup. Tidak memiliki falsafah hidup yang kokoh sebagai modal utama menjadi “khalifah fil ardhi”.

Fakta lapangan sebagaimana yang mereka sampaikan adalah persoalan-persoalan dalam pilpres dan pilkada misalnya mengapa umat Islam memilih pemimpin yang mereka pandang tidak begitu ideal dalam konteks kepentingan umat Islam. Bukankah  seharusnya orang Islam memilih pemimpin yang bisa menjadi imam sholat, timpal yang lain. 

Belum lagi kata mereka masalah ekonomi dan financial, konflik sesama di tingkat elite akibat kecintaan kepada dunia yang berlebihan menyebabkan kebingungan umat di bawah, gampang diadu domba, kelemahan pendidikan baik kualitas dan kuantitas sangat dirasakan dari ujung barat sampai timur. Contoh lain mereka berikan adalah umat Islam “akar rumput” sangat mudah “tumbang” akibat serangan fajar berupa fulus ketika memilih pemimpin baik di tingkat lokal maupun nasional. Kayak orang kesurupan. Kehilangan arah oreintasi hidup.

Hal-hal inilah yang mereka rasakan yang terjadi di tengah-tengah umat Islam. Apa masalah yang sebenarnya sehingga kondisi umat Islam menjadi pengikut “tetangga sebelah” yang sudah tentu berbeda filosofis dan way of life dalam memandang dunia apalagi Akhirat.

Jika merunut ke belakang 78 tahun yang lalu, tepatnya 22 Oktober 1945, para ulama dipimpin Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari di Jombang, Jawa Timur, melakukan musyawarah dengan mengutus Jend. Soedirman, alumni Guru dan Hizbul Wathon (HW) Muhammadiyah,  atas permintaan Presiden Pertama NKRI untuk menyelamatkan Proklmasi yang belum lama diproklamirkan. NICA Belanda yang dibonceng pasukan Sekutu dipimpin Inggris melakukan provokasi dan ingin menganeksasi kembali Indonesia.

Salah satu keputusan musyawarah itu bahwa NKRI adalah negara Dar al-Islam dilihat dari jumlah penduduknya. Dan karena Dar al-Islam, maka seluruh umat Islam wajib membela dan mempertahankan tumpah darah NKRI dari rongrongan negara lain, apalagi dari Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia.

Perhatikan karya peneliti Amerika,  Kewin W. Fogg, “Indonesia’s Islamic Revolution”, tahun 2020, walaupun tak semua pendapatnya penulis aminkan dan hasil penelitian Saidun Derani, dkk ,” Hizbullah: Kontribusi Untuk NKRI” tahun 2021. Kedua studi ini memperlihatkan betapa dahsyat pengaruh atau dampak fatwa “Rosolusi Jihad” tahun 1945 itu terhadap umat Islam dalam membela dan mepertahankan proklamasi NKRI sehingga Belanda terpaksa duduk di meja perundingan yang berujung pada pengakuan international terhadap Kemerdekaan Indonesia.

Dalam konteks inilah memahami fatwa Mbah Hasyim bahwa tanah, air dan udara harus dikelola umat Islam (Indonesia secara umum yang dipercayakan kepada pemeriantah yang syah) dan jangan kepada bangsa asing karena memang bumi NKRI adalah milik umat Islam. Dan ini jelas terpatri dalam UU Dasar 1945 pasal 33, bahwa seluruh kekayaan NKRI harus dikelola dan dipergunakan seluas-luasnya bagi bangsa.

Kenyataan NKRI Sekarang 

Pada tulisan dengan judul “Politik Oligarki dan Masa Depan Pancasila”, 13 Desember 2021 di Trasberita,  penulis telah mengatakan dengan menukil pernyataan Ir. Ciputra bahwa Asset NKRI dimiliki sebagian besar kelompok tertentu yang beliau contohkan salah satunya pada kepemilikan poperti. Secara teoritis bahwa kelompok yang menguasa asset bangsa maka kelompok itulah yang akan mengatur perjalanan bangsa. Bukan para Gubes, Doktor, DPR, Legislatif, dan Eksekutif. Bagaiman pula dengan kepemilikan minerba dan manufacktur yang lain.

Lalu menurut Ketua MUI Buya Anwar Abbas jika terjadi kepemilikan asset bangsa sebagian besar hanya dipegang sekelompok etnis dan orang tertentu saja, maka ada kecendrungan terjadi tirani minoritas dan menimbulkan persoalan bangsa yang serius. 

Dalam hubungan inilah menurut sebagian besar pendapat peserta diskusi di atas bahwa kelemahan umat Islam di atas  akibat dosa kolektif yang tidak menjalankan Amanah yang Allah berikan kepada mereka. Solusinya adalah meminta ampunan Allah dari segala dosa yang pernah dilakukan baik tampak nyata maupun yang tersembunyi, dan kedua, mengharap ridha, rahmat, barokah anugrah,  dan kasih sayang Allah Swt

Mengapa demikian bahwa Allah telah menitipkan kepada umat Islam Amanah (air, darat dan udara) supaya dikelola dengan  baik dan benar. Kenyataan di masyarakat ketiga titipan itu dijual dan dimiliki umat yang lain. 

Perhatikan bangunan-bangunan bersifat kantoran bisnis dan sosial yang ada di kota-kota besar  NKRI, khususnya yang ada di wilayah Jabodetabek misalnya dan sekarang tanah Ibu Kota Nusantara siapa ownernya.  Bukankah ini merupakan salah satu titipan Allah kepada umat Islam yang sekarang sudah berpindah tangan. Menyedihkan. Belum lagi asset bangsa yang lain baik liquid dan non-liquid dikuasai hanya 5 % kelompok  tertentu. Mengkhawatirkan masa depan bangsa ini.

Dalam Rahim Ibu para hamba Allah berjanji kepada Penciptanya akan menjaga Amanah itu. Kita diangkat   sebagai Khalifah untuk merawatnya. Tidak berbuat kerusakan  di muka bumi. Tidak menzalimi  diri sendiri dan  keluarga. Tidak melalaikan kewajiban sebagai anggota  masyarakat dan warga negara karena NKRI ini milik  umat Islam. 

Fakta integritas dan janji kepada Allah di atas  wujud dan bentuknya supaya menjaga, memelihara, lalu mengembangkan  (dalam arti luas) agama, akal, jiwa, nasab (keturunan) dan harta benda. Kelima hal itu wajib diikhtiarkan menjadi sebuah keharusan untuk mencapai kesejahteraan duniawi dan ukhrowi (sa’adatuddaraini) sebagai tujuan bergama Umat Islam.  

Inilah hajat yang sering diminta Nabi Muhammad dalam Surah Al-Baqarah, ayat 201: “ Ya Rabb berikanlah kami kesejahteraan di dunia dan kesejahteraan di Akhirat” ketika ditanya sahabat Abu Darda doa apa yang sering dibaca (w.625). Ini artinya Allah Swt melarang Umat Islam loba hutang di dunia dan miskin pula kehidupan Akhirat.

Firman Allah dalam Surah Al-‘Araf, ayat 172; “Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):”Bukankah Aku Rabbmu?”Mereka menjawab: “Betul (Engkau Rabb kami), dan kami menjadi saksi” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kalian tak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap keesaan Allah Swt.”

Makna ayat di atas kata Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsirnya bahwa setiap anak lahir dalam keadaan Islam (suci), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan atau Majusi. Hadis ini memberi warning (peringatan) kepada kita bahwa melahirkan anak itu susah  (menjadi generasi Islam yang tangnguh) dan akan lebih susah lagi memeliharanya. 

Memelihara di sini diartikan  mendidik imannya  menjadi kuat dan wajib diberi ilmu pengetahuan yang luas. Alquran mengatakan : “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”  (Surah al-Mujadilah, ayat 11). Jadi beriman dan berilmu pengetahuan merupakan kata kunci satu paket menjaga Amanah Allah.  

Kunci kedua menjaga Amanah Allah dengan memaksimalkan resources yang diberikan (hidung, mata, kaki, tangan, mulut, kuping, lidah, aqal, qalbun) melalui ketaatan menjalankan apa-apa yang disuruh dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya. Dengan tulus melaksanakan perintah-perintah-Nya, maka diharapkan Allah Swt  memberikan Ridha,  Rahmat, Barokah, Anugrah  dan Kasih Sayang-Nya. 

Banyak hadis Nabi menerangkan bahwa menyantuni anak yatim, menolong fakir miskin,  membantu ibnu sabil dan fi sabilillah, membangun infra-struktur jalan, bersatu dan jangan berpecah belah, memiliki asset  liquid dan non-liquid (Baitul Mal), mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, berkata benar dan santun, berbaik dengan tetangga, menjaga alam lingkungan, mengembangkan ekonomi dan financial ummat Islam, semua ini merupakan jalan-jalan Allah menurunkan Ridha, Rahmat, Barokah, Anugrah, dan Kasih Sayang-Nya kepada kaum Muslimin. 

Aspek kedua inilah mengapa Allah menyuruh umat Islam menguasai ilmu pengetahuan (IPTEK) yang sementara ini tertinggal jauh dari umat yang lain. Jadi jangan heran kalau sekarang kita melihat, mendengar dan merasakan umat Islam menjadi umat konsumen, menjadi umat pegawai, dan menjadi bangsa konsumen bukan bangsa produsen, bukan menjadi tuan  di negeri sendiri, dan menjadi follower. 

Dalam konteks ini Allah Swt menegur keras umat Islam (supaya hati dan jiwanya hidup) dalam Surat Al-A’raf, ayat 168: “Dan Kami coba mereka dengan (nikmat)  yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk agar kembali (kepada kebenaran)”.  “Kami coba” diartikan dengan malapetaka, kemalangan dan atau cobaan/ujian karena tidak menjaga Amanah yang Allah titipkan kepada mereka.

Demikianlah, kenyataan NKRI umat Islam belum menjadi pemain utama di rumahnya sendiri dan sementara ini menjadi “pecundang” di sektor  ekonomi dan financial serta politik. Sebenarnya banyak solusi dan cara bisa dikembangkan umat Islam pada  sektor ekonomi dan financial serta politik sehingga dapat mengalahkan raksasa-raksasa ekonomi yang sudah mapan now. 

 Ada kesan yang ada bahwa tokoh-tokoh ormas Umat Islam meanstrim di NKRI “dibuai” dengan jabatan-jabatan yang “empuk” (Dewan Pengawas Syariah dan komisaris-komisaris di BUMN misalnya) yang tidak perlu berfikir keras dan serius dalam masalah ekonomi dan financial akan tetapi menerima manfaat (cuan) yang cukup  bahkan berlebih berupa honor/gaji bulanan plus ada uang komisi/bonus tahunan tanpa harus berfikir dan bekerja keras.

Akibatnya para “tokoh ormas umat ini” karena sudah merasa cukup dan berlebih dengan apa yang diterima sehingga diduga kuat “malas” untuk berfikir lebih keras dalam upaya pengembangkan sektor  ekonomi dan financial ummat.  Padahal kita tahu umat Islam seperti ormas Islam NU dan Muhammadiyah memiliki Captive Market pasar yang jelas. Sayang sekali justru uangnya  diberikan kepada ummat yang lain mengelolanya, kata Ketua PWM Banten pada suatu kesempatan Safari Ramadhan tahun 1443 H di PDM Tangsel.  

Ke depan dan sekarang penulis pikir sudah waktunya ormas-ormas Islam (para elitenya) khususnya NU dan Muhammadiyah -ormas Islam yang lain juga- memperhatikan pengembangan sektor ekonomi dan financial ini secara sungguh-sungguh. Jangan sampai menjadi umat konsumen terus menerus dengan cara menjaga amanah yang diberikan Allah kepada umat Islam. Sebab itu asset yang sudah lepas harus diambil kembali umat Islam. 

Mari umat Islam kembali memegang erat Amanah yang menjadi tanggungjawabnya dengan kerja ikhlash, kerja cerdas, kerja keras dan kerja tuntas. Jadilah Ummat Pemenang bukan pengikut dan sebuah keharusan kritik internal atau muhasabah dengan pendekatan SWOT sangat diperlukan. Penulis pikir dalam konteks inilah memahami mengapa sikap PP Muhammdiyah  di atas yang diumpamakan dengan “Meminum Cap Kaki Tiga” sebuah sikap follower bukan sebagai pengambil keputusan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.  Tentulah sebuah harapan ditaruh di Pundak Muhammadiyah dan umat Islam yang lain menjadi garda terdepan untuk mengadakan pembaharuan Demokrasi Indonesia dan hukum tahun-tahun mendatang. Untuk itulah perlunya Menjadi Pemenang. Allah ‘Alam bi Shawab.

Saidun Derani, Dosen Pascasarjana UM-Surby dan pemerhati Sosial Ekonomi Keagamaan


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Sudarnoto Abdul Hakim  Gugatan heroik Afrika Selatan terhadap Israel di Mahkamah Interna....

Suara Muhammadiyah

27 January 2024

Wawasan

Oleh: Fathin Robbani Sukmana Beberapa Waktu lalu Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) melakukan penguk....

Suara Muhammadiyah

30 September 2023

Wawasan

Transformasi Kesehatan untuk Indonesia Maju Oleh: Wakhidah Noor Agustina, S.Si. Indonesia dengan k....

Suara Muhammadiyah

12 November 2023

Wawasan

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd  Islam adalah agama yang mencakup berbagai ajaran dan prinsip....

Suara Muhammadiyah

26 October 2023

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Baitul Arqam Camp Syd....

Suara Muhammadiyah

6 January 2024

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah