Menjaga Kewarasan dalam Relasi Pernikahan: Refleksi Etis, Psikologis, dan Spiritual
Oleh: Nur Amalia, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UHAMKA
Fenomena perceraian figur publik perempuan belakangan ini memunculkan diskursus luas di masyarakat tentang makna kegagalan, keberanian, dan kewarasan dalam kehidupan rumah tangga.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menilai individu tertentu, melainkan untuk merefleksikan makna etis, psikologis, dan spiritual dari keputusan berpisah ketika relasi pernikahan tidak lagi sehat dengan berpijak pada nilai kemanusiaan dan prinsip keislaman.
Ketahanan Perempuan dan Batas Kesabaran
Dalam realitas kehidupan, perempuan kerap menunjukkan daya tahan luar biasa dalam menjalani rumah tangga meskipun dihadapkan pada keterbatasan ekonomi, beban domestik berat, peran ganda, dan tekanan relasi sosial.
Ketahanan tersebut sering menjadi penopang utama keberlangsungan keluarga dan dipahami sebagai bentuk kesabaran serta tanggung jawab moral seorang istri dan ibu.
Namun demikian, ketahanan memiliki batas yang tidak boleh dilampaui tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan mental dan martabat kemanusiaan.
Dalam kajian psikologi keluarga dan etika relasi, terdapat perbedaan mendasar antara kesabaran dan pembiaran terhadap pola relasi yang bersifat destruktif.
Relasi yang secara berkelanjutan menimbulkan tekanan psikologis, ketidakamanan emosional, dan pelanggaran komitmen berpotensi merusak kesehatan mental pasangan serta berdampak pada perkembangan anak.
Pada titik ini, mempertahankan pernikahan tidak selalu sejalan dengan tujuan luhur pernikahan sebagai ruang tumbuh yang aman dan bermartabat.
Kewarasan sebagai Prinsip Kemaslahatan
Keputusan untuk mengakhiri pernikahan dalam kondisi relasi yang tidak sehat dapat dipahami sebagai upaya perlindungan terhadap akal (ḥifẓ al-‘aql) dan jiwa (ḥifẓ an-nafs) dalam kerangka maqāṣid al-syarī‘ah.
Dengan demikian, perpisahan tidak serta-merta merepresentasikan kegagalan moral, melainkan dapat menjadi ikhtiar rasional untuk mencegah kerusakan psikologis yang lebih luas dan berkepanjangan.
Refleksi para pendidik dan pemerhati sosial turut menyoroti konsep sunk cost fallacy, yaitu kecenderungan bertahan dalam situasi merugikan karena merasa telah terlalu banyak berinvestasi secara emosional dan pengorbanan.
Dalam konteks pernikahan, jebakan ini sering membuat seseorang mengabaikan realitas masa kini demi membenarkan masa lalu.
Padahal, pengorbanan yang telah terjadi tidak selalu harus ditebus dengan pengorbanan lanjutan yang justru memperdalam luka batin.
Perspektif Psikologi Relasi dan Nilai Keislaman
Dari sudut pandang psikologi relasi, keberlangsungan pernikahan menuntut keseimbangan antara komitmen, kedekatan emosional, dan rasa aman.
Ketika keseimbangan tersebut hilang secara sistemik dan berkelanjutan, keputusan untuk berpisah dapat dipahami sebagai upaya menjaga integritas diri serta melindungi anak dari paparan konflik yang berkepanjangan.
Islam memberikan ruang bagi pilihan tersebut dengan menegaskan bahwa kehidupan dunia bersifat sementara sebagaimana disebutkan dalam QS. Ghafir ayat 39.
Dalam relasi yang tidak lagi menghadirkan kemaslahatan, Islam memperkenankan perpisahan dengan prinsip tasrīḥun bi iḥsān sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 229.
Prinsip ini menegaskan bahwa menjaga martabat, kewarasan, dan menghindari kezaliman merupakan nilai yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam.
Dari refleksi ini dapat disimpulkan bahwa keputusan berpisah tidak selalu identik dengan kelemahan atau kegagalan iman.
Dalam kondisi tertentu, perpisahan justru merupakan keberanian etis untuk berhenti dari relasi yang tidak lagi menghadirkan kebaikan.
Keputusan tersebut juga dapat dipahami sebagai ikhtiar melindungi diri dan generasi berikutnya dari dampak psikologis yang lebih berat.
Tulisan ini mengajak pembaca untuk tidak mendewakan citra rumah tangga siapa pun di ruang publik.
Setiap relasi memiliki kompleksitas yang tidak selalu tampak di permukaan sosial.
Yang patut dijaga bukanlah penampilan harmonis, melainkan kewarasan, kejujuran batin, dan kemaslahatan jiwa sebagaimana nilai-nilai Islam yang menempatkan kemanusiaan dan keadilan sebagai fondasi kehidupan.

