Oleh: Mu’arif
Momentum milad Majalah Suara Muhammadiyah tahun ini diwarnai dengan berita menyedihkan bagai para insan jurnalis: PT. Era Media Informasi mengumumkan “penghentian operasional” Majalah Berita Mingguan Gatra (17 Juli 2024). Dan pada bulan Agustus sekitar delapan tahun lalu (2016), bertempat di salah satu hotel di Jalan Gejayan, Yogyakarta, sebuah perdebatan hadir mengiringi proses pemberkasan dan validasi data media Majalah Suara Muhammadiyah agar dapat terverifikasi oleh Dewan Pers. Perdebatan itu tentang status Majalah Suara Muhammadiyah antara media massa komunitas dan media massa profesional.
Di mata Tim Verifikasi, media massa komunitas dipandang sebelah mata, karena hanya dimiliki oleh kelompok atau segmen masyarakat tertentu yang sudah pasti sangat terbatas. Juga soal manajemen pengelolaan yang sering dipandang jauh dari kata profesional. Tentu ini menjadi penguat bagi persepsi mereka yang memandang media massa komunitas sebagai jenis “media massa kelas dua.” Berbeda dengan media massa profesional seperti Majalah Tempo, Gatra, dan lain sebagainya, karena dikelola dengan manajemen profesional sehingga dapat dikategorikan sebagai jenis “media massa kelas satu.”
Bahwa peristiwa sejarah terikat teori kausalitas, tetapi perlu dicatat di sini bahwa alurnya tidak selalu linier. Harus pula diingat bahwa yang punya sejarah itu manusia dengan ragam dimensi mentalnya yang kompleks. Manusia itu unik. Tidak hanya unik dalam penciptaannya (yang membedakan dengan makhluk lainnya), tetapi unik pula dalam kapasitas sebagai individu atau personnya. Individu-individu dengan ragam watak dan pola pikirnya telah menjadi penentu jalannya sejarah. Watak dan pikiran yang revolusioner itulah pengubah sejarah. Sejarah Majalah Suara Muhammadiyah bukan sekedar tumpukan data yang digali dari dokumentasi dan arsip, tetapi suatu alur cerita tentang macam-macam watak dan pikiran revolusioner telah mewarnai dinamika selama 109 tahun.
Sebelum Majalah Suara Muhammadiyah eksis berusia seabad, memang banyak persepsi timpang layaknya Tim Verifikasi Dewan Pers yang memandang media massa ini masih “kelas dua” atau hanya media partisan. Namun setelah sukses memasuki usia seabad, persepsi timpang berbalik menjadi pertanyaan-pertanyaan detektif yang ingin mengungkap, apa rahasia sukses majalah ini dan bagaimana kiat-kiat untuk bisa bertahan terbit di tengah tsunami informasi di era medsos seperti sekarang ini?
Maka menulis 109 tahun Suara Muhammadiyah adalah menjawab pertanyaan-pertanyaan detektif tentang rahasia sukses atau kiat-kiat bertahan sampai seabad lebih. Kalaupun tulisan ini tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekurang-kurangnya ini dapat menyuguhkan indikator-indikator yang nantinya dapat disimpulkan sendiri oleh pembaca artikel ini.
Media Official
Ketika Haji Fachrodin merintis penerbitan Suara Muhammadiyah pada 1915, mungkin belum terpikirkan media ini bakal menjadi “corong organisasi.” Sebab keterbatasan dana di jajaran Hoofdbestuur (HB) Muhammadiyah memaksa para pengelolanya membiayai secara individu aktivitas produksi. Menariknya, sang inisiator dan sekaligus hoofdredacteur (pemimpin redaksi) pertama bukanlah sosok yang duduk di jajaran teras HB Muhammadiyah. Ia masih melanglang buwana di jagad dunia pergerakan nasional sambil mengemban amanat sebagai kader ideologis Muhammadiyah.
Yang lebih menarik lagi, sang president HB Muhammadiyah yang tidak lain adalah K.H. Ahmad Dahlan, ketika terbit Suara Muhammadiyah pada 1915, malah duduk di jajaran redaksi (lihat SM nomor 2 tahun 1915). Jika memang status media ini sebagai official, mestinya beliau di posisi pucuk manajemen atau setidak-tidaknya hoofdredacteur, tapi faktanya hanya sebatas redaktur biasa. Artinya, media massa ini masih belum berstatus sebagai media official.
Sampai memasuki tahun 1920-an, yaitu ketika hoofdredacteur AD. Hanie, status dan posisi SM mulai bergeser, dari media massa independent menjadi media massa official. Masuknya tiga cabang pertama dalam struktur Muhammadiyah (Batavia, Solo, dan Surabaya) ke dalam struktur jaringan redaksi Suara Muhammadiyah menjadi indikator bahwa media massa ini sudah menjadi bagian dari agenda gerakan Muhammadiyah.
Kembalinya Haji Fachrodin sebagai hoofdredacteur Suara Muhammadiyah pada 1922 menguatkan peran dan posisi media massa ini sebagai media official. Fakta historis yang nyaris tak terbantahkan, dalam setiap momentum kongres Muhammadiyah sejak 1923-1940an program penerbitan majalah Suara Muhammadiyah selalu menjadi agenda pembahasan strategis dalam kongres. Maka sudah jelas bahwa pada masa-masa tersebut status dan posisi media massa ini sebagai media official. Dalam dinamika manajerial Suara Muhammadiyah selalu ada intervensi dari jajaran Hoofdbestuur Muhammadiyah pada waktu itu.
Walaupun penyebutan Suara Muhammadiyah secara resmi sebagai media official HB Muhammadiyah sejak 1930-an—pada masa kepemimpinan hoofdredacteur S. Tjitrosoebono—tetapi sebenarnya status media massa ini sudah resmi menjadi official ketika menjadi agenda program yang dibahas dalam setiap congress Muhammadiyah. Yaitu, sejak 1923 atau ketika Haji Fachrodin kembali memimpin penerbitan media massa ini. Roni Tabroni, dalam bukunya Haji Fachrodin: Lokomotif Literasi dan Pers Islam yang dibedah dalam rangkaian kegiatan milad Suara Muhammadiyah tahun ini, menyebut posisi media massa ini sebagai “pers corong organisasi.”
Sebenarnya, kehadiran media massa sebagai “corong organisasi” sudah menjadi ciri dari “zaman bergerak”—meminjam istilah Takashi Shiraishi. Bahasa populer pada masanya disebut orgaan official yang hampir dimiliki oleh organisasi-organisasi pergerakan bumiputra, tidak terkecuali Suara Muhammadiyah milik HB Muhammadiyah. Ratnadoemilah media afiliasi Studie Found milik Wahidin Soedirohoesodo, Sarotomo orgaan official Budi Oetomo (BO), Pembrita CSI organ official Centraal Sarekat Islam, Almanak Buning milik perkumpulan Teosofi di Jogja, dan lain-lain.
Di Solo, dua media massa penting, Medan-Moeslimin dan Islam-Bergerak, adalah orgaan official Perkumpulan Sidik Amanah Tabligh Vathonah (SATV)—belakangan diketahui perkumpulan ini memiliki akta notaris sehingga setara dengan organisasi-organisasi lain. Nah, sederetan media massa yang lahir sezaman dengan Majalah Suara Muhammadiyah di atas kini hanya bisa ditemukan di musium atau arsip nasional. Istimewanya, Suara Muhammadiyah kini masih eksis dan terus menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, tidak hanya di jajaran manajemen perusahaan tetapi juga di jajaran redaksinya (produksi).
Nah, ketika mendengar berita miris Majalah Gatra berhenti terbit, pikiran saya langsung teringat pada memori akhir bulan Agustus 2016 ketika tim Suara Muhammadiyah beradu argumen dengan tim verifikasi dewan pers. Walaupun Suara Muhammadiyah media komunitas, tetapi jejaring distribusi merata seluruh Indonesa, bahkan sampai luar negeri. pembaca Suara Muhammadiyah beda dengan pembaca media massa profesional layaknya Tempo dan Gatra. Sejarah sudah membuktikan. (Bersambung)