Benarkah Muhammadiyah Kekurangan Kader Ulama?

Publish

17 April 2024

Suara Muhammadiyah

Penulis

1
2212
Foto Istimewa

Foto Istimewa

Benarkah Muhammadiyah Kekurangan Kader Ulama?

Oleh: Muhammad Utama Al Faruqi, Penerjemah Bahasa Arab PP Muhammadiyah

Krisis “kader ulama” di Muhammadiyah menjadi isu yang selalu mudah viral di media sosial. Keluhan sebagian orang yang mengaku warga persyarikatan yang dituliskan di berbagai platform dengan mudah diakses dan tersebar sehingga menjadi isu umum. Isu kekurangan “kader ulama” ini kemudian disimpulkan bahwa kader muda Muhammadiyah harus mampu menguasai kitab-kitab turas berbahasa Arab, bahkan sebagian secara implisit diarahkan pada afiliasi ideologi tertentu.

Tidak hanya itu, Muhammadiyah dianggap “berdosa” karena seolah tidak peduli sama sekali pada isu ini. Banyaknya guru besar dan pakar dianggap tidak mampu menjawab krisis “kader ulama” ini. 

Isu ini sudah berkembang selama bertahun-tahun, diangkat di berbagai platform media sosial dan diviralkan pada beberapa momentum tertentu, dampaknya banyak lembaga pendidikan Muhammadiyah yang dibentuk dan didirikan sebagai respon atas isu ini.

Sehingga muncul berbagai varian lembaga pendidikan yang diklaim sebagai solusi atas masalah ini, mulai dari yang secara eksplisit membawa identitas persyarikatan, hingga yang didirikan oleh tokoh atau pengurus Muhammadiyah lokal, tanpa membawa identitas persyarikatan, untuk meminimalisir intervensi pada program yang dijalankan di lembaga tersebut. Varian ini akan terus berkembang seiring banyaknya warga persyarikatan yang berniat menjawab isu tersebut dengan beragam kecenderungannya, ada yang tradisional, konservatif, modern dan semisalnya. 

Ditambah lagi, ada tuntutan bahwa kader Muhammadiyah tidak boleh dibatasi dalam belajar Islam, terkhusus berinteraksi dengan berbagai ideologi Islam, bahkan yang transnasional sekalipun. Pembatasan kader dalam belajar Islam dianggap sebagai kesalahan fatal Muhammadiyah yang berakibat pada kurangnya “kader ulama”. 

Kurang Kader Ulama atau Kader Muballigh?

Keluhan bahwa kader Muhammadiyah dikenal tidak mampu membaca Al-Qur’an dengan baik dan semisalnya menjadi “pendahuluan” yang bermuara pada kesimpulan bahwa Muhammadiyah “harus” mempelajari kitab turas berbahasa Arab. Padahal, perlu dicermati bahwa ada “kader ulama” (istilah yang dibahas dimana-mana) dan kader muballigh (yang ditemukan dalam prakteknya). 

Untuk mencapai kriteria “kader ulama” membutuhkan proses yang tidak mudah, harus menghafal banyak dalil Al-Qur’an dan Hadits, harus mampu berbahasa Arab dengan aktif. Sedangkan kriteria kader muballigh, sebenarnya mampu dididik dan dibina oleh lingkup terkecil mulai dari keluarga, ranting, cabang masjid hingga sekolah.

Kriteria kader ulama Muhammadiyah secara lengkap yang dikeluhkan oleh banyak orang sendiri masih bersifat abstrak, terkadang kriteria yang dijelaskan oleh para pemberi keluhan adalah kriteria tentang dirinya sendiri, atau ideal secara subyektif. 

Kader ulama sendiri sebenarnya sudah banyak ditemukan di Majelis Tarjih dan Tajdid berikut berbagai program kaderisasinya, dibantu dengan keberadaan banyak pesantren Muhammadiyah yang tersebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi memang pesantren-pesantren ini membutuhkan sistem yang lebih terkonsep untuk meningkatkan efektifitasnya. 

Sedangkan yang sering berada dan ditemukan di lapangan adalah kader muballigh, yang menjadi imam, khatib, pemateri kultum, dan semisalnya. Mereka dituntut mampu membaca Al-Quran dengan baik, menyampaikan materi dengan baik, dan berinteraksi dengan baik pula bersama masyarakat. Ini sudah banyak ditemukan, bahkan sebagian tidak mendapat jadwal di bulan Ramadan.

Kalau masih diperrinci lagi adalah yang memiliki kemampuan mengakses kitab turas berbahasa Arab, itu berarti Muhammadiyah kekurangan penerjemah bahasa Arab, bukan kurang kader ulama atau muballigh

Keharusan “kader ulama” untuk menguasai kitab turas, apalagi diarahkan untuk mendalami Islam dengan kecenderungan berkiblat pada aliran tertentu, ini membutuhkan waktu yang lama, usaha yang lebih sistematis dan sangat rawan infiltrasi ideologi lain.

Pendidikan “kader ulama” yang tidak disertai dengan wawasan kemuhammadiyahan, pengalaman di lapangan sebagai kader dakwah dan organisasi otonom hanya akan memunculkan para ustadz di Muhammadiyah, bukan ustadz Muhammadiyah.

Sehingga mereka sangat dalam dalam ilmu agama Islam, tapi sangat minim dalam wawasan dakwah di tanah air, sangat terbuka dengan wawasan kitab turas tapi sangat tertutup bahkan menghindari wawasan ilmu rasional seperti filsafat, psikologi dan semisalnya.

Dalam memahami Islam mereka hanya menggunakan pendekatan bayani (tekstual) sebagai pendekatan tunggal dan menyingkirkan pendekatan burhani (rasional) dan irfani (intuisi) karena dianggap tidak relevan dan semisalnya. padahal tiga pendekatan ini merupakan tiga pendekatan khas Muhammadiyah dalam memahami Islam. 

Dalam memperhatikan realita di lapangan, seperti yang terjadi di banyak tempat, terlebih di cabang ranting di daerah, Muhammadiyah lebih cenderung kekurangan muballigh daripada kekurangan ulama. 

Kekurangan muballigh bisa diatasi dengan melakukan kaderisasi lingkup terdekat seperti keluarga dan ranting, begitu halnya sekolah atau masjid-musholla dengan mengenalkan wawasan kemuhammadiyahan, membuat pelatihan pidato, pelatihan imam dan khatib, latihan membaca Al-Qur’an, pelatihan menulis serta peningkatan minat baca literasi Islam dan semisalnya, tidak perlu harus dituntut untuk mampu mengakses kitab-kitab berbahasa Arab, apalagi diarahkan pada ideologi tertentu. Lebih baik lagi jika terstruktur dan sistematis dalam jangka waktu tertentu. Ini lebih sesuai dengan keluhan yang mudah ditemukan di banyak tempat.

Adapun “kekurangan ulama”, selama ini lembaga pendidikan Muhammadiyah yang sudah ada seperti pesantren perlu meningkatkan kualitasnya, begitupun efektifitas program pendidikan yang sudah dijalankan. Evaluasi secara jujur yang didasari dengan kemauan untuk berkembang dengan lebih baik adalah satu hal penting yang perlu dilakukan secara berkala.

 Sehingga dalam kurikulum yang telah disiapkan, wawasan kemuhammadiyahan, wawasan keislaman dan pendidikan bahasa Arab diberikan sekaligus dan tidak terpisah. Sehingga tidak perlu kader Muhammadiyah harus mencoba-coba menjadi kader lain dulu agar disebut ulama, apalagi sampai para kader muda ini pergi merantau, lalu kembali sebagai orang lain yang justru giat mengkritik Muhammadiyah tanpa menyajikan saran sebagai solusi.

Rasa kurang puas, tuntutan perfeksionis dengan standar organisasi dan kelompok lain, minimnya wawasan bermuhammadiyah, serta kepentingan tertentu adalah faktor intrinsik yang mendorong berbagai macam kritik yang rutin dimunculkan setiap tahun, dengan bantuan sosial media dan reputasi sekelompok orang tersebut, dan bukan realita lapangan.

Muhammadiyah tidak akan kekurangan kader muballigh, kader ulama, atau penerjemah bahasa Arab selama kader-kadernya sendiri mampu memahami Muhammadiyah itu sendiri, mengikuti dinamikanya dan berkomitmen dengan persyarikatan. Tentu saja dengan tidak mudah terpengaruh dengan komentar hingga standar keulamaan kelompok atau organisasi lain.


Komentar

Berita Lainnya

Berita Terkait

Tentang Politik, Pemerintahan, Partai, Dll

Wawasan

Oleh: Izza RohmanKetua Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah New South Wales Australia Alhamdulill....

Suara Muhammadiyah

2 January 2024

Wawasan

Mengatasi Bias Sektarian dalam Menafsirkan Al-Qur`an (2) Oleh: Donny Syofyan, Dosen Fakultas Ilmu B....

Suara Muhammadiyah

22 May 2024

Wawasan

Oleh: Dodok Sartono SE, MM  Muhammadiyah sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia terus ....

Suara Muhammadiyah

26 November 2024

Wawasan

Membangun Ekosistem Wirausaha Berkeadilan Oleh: Wahyudi Nasution, Ketua LP-UMKM PDM Klaten Ekosist....

Suara Muhammadiyah

12 October 2024

Wawasan

Membaca Realitas: Posisi Pemuda sebagai Pelopor Perubahan Oleh: Agusliadi Massere Dalam catatan se....

Suara Muhammadiyah

25 October 2023

Tentang

© Copyright . Suara Muhammadiyah