(Menulis 109 Tahun Suara Muhammadiyah 2)
Oleh Mu’arif
Siapakah pembaca Suara Muhammadiyah sejak pertama kali diterbitkan hingga saat ini? Sepintas jawabannya amat mudah: jelas warga Muhammadiyah! Apalagi dengan status dan posisi sebagai media official, maka setiap pengurus, kader, dan bahkan anggota—termasuk simpatisan ataupun afiliasi—menjadi pembaca majalah ini. Tetapi terdapat perspektif lain yang mungkin dapat membuka wawasan baru berkaitan dengan fungsi media komunitas sebagai alat syiar (propaganda) Islam. Dengan kata lain, majalah Suara Muhammadiyah bukan hanya menjadi bacaan internal di Muhammadiyah, tetapi juga sekaligus menyasar pasar atau segmen pembaca baru.
Aktivitas propaganda menggunakan media massa seperti majalah Suara Muhammadiyah bukan sekedar karitas, tetapi terdapat faktor penting yang sering diabaikan oleh para peneliti. Yaitu, aktivitas produksi, khususnya pembiayaan cetak yang cukup mahal, jelas membutuhkan kekuatan ekonomi yang cukup. Memang benar majalah Suara Muhammadiyah pada tahun-tahun pertama diedarkan secara gratis—mengingat fungsinya sebagai alat propaganda—tetapi dari jajaran perusahaan media ini secara terang-terangan “meminta derma” kepada para pembaca dan umat Islam pada umumnya.
Para penyumbang (derma) dipublikasikan lewat list donatur yang dimuat dalam setiap edisinya. Ketika dinamika zaman telah berubah dan majalah Suara Muhammadiyah masih tetap bertahan terbit, maka ikhtiar menggalang derma yang semula bersifat filantropis akan menjadi amal usaha profit. Fakta historis 109 tahun Suara Muhammadiyah adalah pembuktian atas tesis ini.
Perluasan Segmen Pembaca
Ijinkan saya menyampaikan secuil analisis terhadap fakta historis majalah Suara Muhammadiyah sejak 1915-1923. Kuntowijoyo, sejarawan yang berhasil menemukan dokumen Suara Muhammadiyah (SM) edisi nomor 2 tahun 1915 (1333 H) di perpustakaan Leiden, Belanda pada sekitar tahun 1990-an mendapati majalah ini masih ditulis dengan bahasa dan huruf Jawa. Suara Muhammadiyah tahun pertama dipimpin oleh Hoofdredacteur Haji Fachrodin.
Sedangkan pada masa Hoofdredacteur AD. Hanie (1919-1921), majalah ini sudah mulai ditulis (meskipun hanya pada beberapa rubrik) menggunakan huruf latin tapi masih berbahasa Jawa. Sisanya masih seperti edisi sebelumnya: bahasa dan huruf Jawa. Hasil pengamatan langsung terhadap dokumen Suara Muhammadiyah 1922 atau ketika masa Hoofdredacteur Haji Fachrodin, pada beberapa rubrik sudah mulai menggunakan Bahasa Melayu dan huruf Latin, sedangkan sisanya menggunakan Bahasa Jawa dan huruf Latin. Sampai memasuki tahun penerbitan 1923, majalah ini sudah seluruhnya menggunakan Bahasa Melayu dan Huruf Latin.
Dengan fungsinya sebagai media propaganda, kita dapat mengetahui majalah Suara Muhammadiyah mengalami perkembangan dan perluasan segmen pembacanya, yaitu dengan cara kita analisis bahasa dan huruf yang digunakan. Sepintas, pada tahun-tahun awal penerbitan media ini (1915-1916), penggunaan bahasa dan huruf Jawa secara keseluruhan dalam tiap rubriknya menyiratkan makna ganda: media lokal dan segmen pembaca juga lokal (Jawa—khususnya Jogja). Dapat dikatakan bahwa radius peredaran majalah ini masih dalam skala lokal Jogja atau pembaca Suara Muhammadiyah adalah mereka yang menggunakan bahasa dan huruf Jawa, termasuk masyarakat di Solo.
Perubahan secara perlahan-lahan pada masa kepemimpinan Hoofdredacteur AD. Hanie sangat menentukan karena dengan menggunakan huruf Latin pada beberapa rubrik tetapi masih memakai Bahasa Jawa menunjukkan bahwa selain sebagai media lokal, pembacanya sudah mulai keluar dari radius masyarakat penutur Bahasa dan huruf Jawa. Artinya, segmen pembaca majalah ini sudah mulai merambah masyarakat yang menggunakan huruf Latin (para priyayi pribumi yang mengenyam pendidikan kolonial).
Sedangkan langkah revolusioner pada masa kepemimpinan Hoofdredacteur Haji Fachrodin (1922-1923) mulai menggunakan bahasa Melayu dan huruf Latin menunjukkan bahwa segmen pembaca majalah ini sudah keluar dari masyarakat dan kultur Jawa. Artinya, pembaca majalah ini sudah merambah segmen masyarakat penutur Bahasa Melayu—cikal-bakal Bahasa Indonesia. Dan benar saja, hasil kajian Burhanuddin Daja (1990) menyebutkan bahwa di antara media-media massa populer dan bergengsi yang turut membangkitkan gerakan perlawanan di Sumatra Barat pada awal abad ke-20 adalah majalah Suara Muhammadiyah.
Bisnis Berbasis Komunitas
Walaupun Suara Muhammadiyah pada tahun-tahun awal diedarkan “setjara pertjoema” tetapi kekuatan ekonomi yang menopang produksi ditanggu langsung oleh para pengelolanya yang memang dipandang berlebih. Taruhlah sosok Hoofdredacteur Haji Fachrodin, selain sebagai sosok jurnalis dan aktivis pergerakan, beliau adalah pengusaha batik, percetakan, hotel, dan pabrik rokok. KH. Ahmad Dahlan yang duduk sebagai redaktur majalah ini adalah khatib amin yang memiliki bisnis batik dengan jaringan pasar yang sangat luas, bahkan sampai ke luar pulau Jawa.
Haji Hisyam yang juga masuk jajaran redaksi adalah seorang pegawai pemerintah (Penghulu) dan memiliki bisnis batik di Kauman. Begitu pula Hadjid, redaktur yang paling muda pada waktu itu, adalah murid ideologis KH. Ahmad Dahlan yang juga berprofesi sebagai pengusaha batik di Kauman. Maka tidak heran apabila pembiayaan produksi majalah ini secara keseluruhan berasal dari dana swadaya sehingga produknya bisa dibagikan kepada publik secara gratis.
Zaman terus berubah dan perilaku masyarakat pengelola dan pembaca Suara Muhammadiyah juga berubah, tetapi nilai-nilai yang tertanam di internal Muhammadiyah masih tetap kokoh. Yaitu, fungsi majalah Suara Muhammadiyah sebagai alat propaganda atau syiar Islam masih tetap melekat ketika usianya telah memasuki 109 tahun. Status dan posisi sebagai “corong organisasi” (media komunitas) juga masih melekat sekalipun polanya telah berubah (mengikuti perkembangan organisasi dalam Muhammadiyah).
Jika pada tahun-tahun awal penerbitan majalah ini dikelola secara sederhana dengan menggunakan sumber daya manusia seadanya, tetapi tuntutan zaman dan persaingan di pasar pembaca media massa di tanah air menghendaki perubahan mekanisme dan manajemen yang profesional agar proses penerbitan terus berlanjut. Dinamika zaman juga mengubah perilaku pembaca yang menghendaki media massa ini sejajar dengan media massa nasional pada umumnya. Maka transformasi besar pertama dalam manajemen Suara Muhammadiyah terjadi pada masa kepemimpinan Prof. KH. Faried Ma’ruf dengan proyek “SM Gaya Baru.” Maka sejak saat itulah, status dan posisi majalah Suara Muhammadiyah sebagai “media komunitas” namun standard media massa profesional pada umumnya.
Dan transformasi kedua dalam sejarah 109 tahun Suara Muhammadiyah terjadi pada masa kepemimpinan Prof. Dr. Haedar Nashir, M.SI yang mengubah pola manajemen keredaksian dan perusahaan standar manajemen dan perusahaan profesional. Di bawah holding company PT. Syarikat Cahaya Media, majalah ini tetap bertahan melintasi usia seabad, bahkan kini telah memasuki 109 tahun. Yang cukup fenomenal mengiringi transformasi kedua media massa ini adalah revolusi di jajaran manajemen perusahaan dengan meluaskan berbagai segmen bisnis di bawah kepemimpinan Direktur Utama PT. Syarikat Cahaya Media Deni Asy’ari. Bahkan mungkin transformasi besar kedua yang fenomenal ini jauh dari perencanaan ataupun prediksi para pendiri media massa ini.
Nilai-nilai apakah yang tetap sekalipun majalah Suara Muhammadiyah telah mengalami perubahan besar? Dari aspek pembacanya yang unik dan khas telah membedakan dengan masyarakat pembaca media massa profesional pada umumnya. Apa yang unik dari pembaca media massa ini adalah “loyalitas” dan “sentiment ideologis” yang mengiringi setiap dinamika zaman. Bahwa pembaca Suara Muhammadiyah sangat loyal, bahkan mereka merasa menjadi bagian dari proses penerbitan majalah ini, sehingga aspek ini tidak ditemukan dalam industri media massa nasional pada umumnya.
Bahwa pembaca Suara Muhammadiyah adalah masyarakat yang terikat secara ideologis sebagai warga Muhammadiyah sehingga memilih untuk menjadi pelanggan atau pembaca majalah ini bagaimanapun kondisi dan kualitasnya. Hukum pasar biasanya menghendaki bahwa harga ditentukan oleh kualitas produk. Tetapi dalam siklus dan perputaran bisnis media Suara Muhammadiyah, pembaca atau pelanggan tampak irrasional karena mereka tidak terpengaruh oleh teori pasar. Sebab, orang Muhammadiyah membeli dan membaca majalah Suara Muhammadiyah bukan hanya karena faktor kualitas produk, tetapi dia merasa menjadi bagian dari proses mempertahankan warisan intelektual para pendiri Muhammadiyah ini.
Karakteristik pembaca atau pelanggan majalah ini memang beda dengan pasar pembaca media massa profesional pada umumnya. Dan sudah terbukti, dengan karakteristik segmen pembaca seperti ini, majalah Suara Muhammadiyah tetap bertahan hingga melintasi usia 109 tahun. Sejarah telah membuktikan. (Bersambung)