Milad 113 Muhammmadiyah, Menyemai Kesejahteraan untuk Semua
Oleh: Muhammad Taufiq Ulinuha, Aktifis JIMM, Mahasiswa Pascasarjana UAD
Tepat pada tahun 2025 ini, Muhammadiyah genap berusia 113 tahun. Usia yang panjang untuk sebuah gerakan Islam yang lahir di tengah keterpurukan bangsa dan ketertinggalan umat. Didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 di Yogyakarta, Muhammadiyah bukan sekadar organisasi keagamaan. Ia tumbuh menjadi gerakan pencerahan yang mengakar kuat dalam kehidupan sosial, pendidikan, kesehatan, hingga pemberdayaan masyarakat. Di usianya yang lebih dari satu abad, Muhammadiyah terus meneguhkan misinya: menebar rahmat bagi semesta, menyemai kesejahteraan untuk semua.
Sejak awal berdirinya, KH Ahmad Dahlan membawa visi besar: memajukan umat melalui amal nyata. Ia tidak hanya mengajarkan tafsir Al-Qur’an di serambi masjid, tetapi juga membangun sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan. Baginya, Islam bukan hanya soal ibadah ritual, tetapi juga tanggung jawab sosial. Dalam pandangan Ahmad Dahlan, menegakkan agama berarti menghadirkan kemanfaatan bagi kehidupan manusia. Prinsip inilah yang terus diwariskan dan dihidupi oleh Muhammadiyah hingga kini.
Kini, setelah lebih dari satu abad berkiprah, kontribusi Muhammadiyah terasa di berbagai lini kehidupan. Di bidang pendidikan, organisasi ini mengelola lebih dari 170 perguruan tinggi, ribuan sekolah, serta lembaga pendidikan nonformal di seluruh penjuru Nusantara. Di bidang kesehatan, ratusan rumah sakit dan klinik Muhammadiyah hadir melayani tanpa memandang agama, suku, atau status sosial. Semua itu menjadi bukti konkret bahwa Muhammadiyah memahami kesejahteraan sebagai hak setiap manusia.
Dalam konteks kekinian, kesejahteraan bukan hanya berarti terpenuhinya kebutuhan ekonomi, tetapi juga keterjaminan akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kehidupan yang bermartabat. Muhammadiyah mengartikulasikan kesejahteraan itu dalam bentuk kerja-kerja sosial yang berkelanjutan. Melalui Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu), gerakan ini menyalurkan bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan, mendampingi petani, mengembangkan UMKM, hingga memberdayakan penyandang disabilitas.
Selain itu, Muhammadiyah juga menjadi pionir dalam gerakan dakwah kemanusiaan global. Melalui Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC), Persyarikatan aktif memberikan bantuan kemanusiaan di dalam maupun luar negeri. Dari gempa Palu, banjir Pakistan, gempa Turkiye hingga konflik Palestina, relawan Muhammadiyah selalu hadir membawa semangat Islam berkemajuan yang menolong tanpa sekat. Kehadiran mereka menjadi wajah Islam yang menyejukkan, jauh dari stereotip ekstremisme yang sering disematkan pada Islam.
Namun, tantangan di usia ke-113 tahun tentu tidak ringan. Dunia kini memasuki era digital yang serba cepat, kompetitif, dan kompleks. Ketimpangan ekonomi, perubahan iklim, serta krisis nilai menjadi ujian bagi semua bangsa, termasuk umat Islam. Di tengah kondisi ini, Muhammadiyah dituntut tidak hanya bertahan, tetapi juga bertransformasi. Gerakan ini perlu terus memperkuat tata kelola organisasi, memperluas kolaborasi, dan memanfaatkan teknologi untuk mempercepat dakwah pencerahan.
Relevansi Muhammadiyah di abad kedua bergantung pada kemampuannya menjawab persoalan masyarakat modern tanpa kehilangan ruh keislaman. Semangat tajdid—pembaruan yang menjadi identitas gerakan Muhammadiyah—harus diterjemahkan dalam bentuk inovasi sosial dan digital. Misalnya, pengembangan ekosistem ekonomi syariah yang berbasis pemberdayaan, pendidikan vokasi yang menyiapkan generasi adaptif, dan gerakan filantropi yang responsif terhadap perubahan zaman.
Lebih jauh, kesejahteraan yang diperjuangkan Muhammadiyah tidak berhenti pada lingkup umat Islam. Prinsip “rahmatan lil ‘alamin” menjadi landasan moral bagi setiap langkah. Itulah mengapa rumah sakit, sekolah, dan lembaga sosial Muhammadiyah terbuka bagi siapa pun tanpa diskriminasi. Dalam praktiknya, semangat ini menegaskan bahwa Islam berkemajuan adalah Islam yang humanis, inklusif, dan solutif.
Di tengah derasnya arus globalisasi dan pragmatisme sosial, kehadiran Muhammadiyah menjadi pengingat bahwa kesejahteraan sejati tidak lahir dari akumulasi materi semata, tetapi dari kesadaran berbagi dan berbuat untuk sesama. Apa yang telah dirintis oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari satu abad lalu kini terbukti relevan: membangun bangsa melalui amal nyata.
Maka, memasuki usia ke-113 tahun, Muhammadiyah diharapkan terus memperluas cakupan dakwahnya, tidak hanya di masjid dan mimbar, tetapi juga di dunia digital, di ruang-ruang ekonomi kreatif, dan di panggung kemanusiaan global. Dengan semangat Islam berkemajuan, gerakan ini akan terus menanam kebaikan, memanen kesejahteraan, dan menebar manfaat bagi seluruh umat manusia.
Seperti yang sering dikatakan para tokoh bangsa, Muhammadiyah bukan sekadar milik warganya saja, melainkan milik bangsa dan umat manusia. Sebab, selama ruh Al-Ma’un dan semangat tajdid tetap menyala, Muhammadiyah akan terus menjadi pelopor gerakan yang menebar rahmat, menyemai kesejahteraan untuk semua.


